Mohon tunggu...
Rizky Febrinna S.Pd
Rizky Febrinna S.Pd Mohon Tunggu... Guru - Love Your Sweet Life

Write all about life, believe in your heart...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesal Tiada Akhir (16)

12 Februari 2021   10:45 Diperbarui: 12 Februari 2021   11:19 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rini merasa bersalah mendengar ucapan Edo pagi ini. Baru saja hatinya bahagia melihat perkembangan Tiara yang sangat bagus melalui telepon, Edo malah menghancurkan hatinya. 

"Edo, ayok kita sarapan dulu. Jangan bicara gitu Nak."

"Edo gak mau makan!" Edo segera balik ke kamarnya dan duduk di meja belajarnya. Rini berlari mengejarnya. Tak disangkanya Edo begitu marah. Namun apa yang membuatnya menjadi begitu marah? Rini melihat jam tangannya, sebentar lagi jam tujuh. Tak ada waktu untuk bicara dengan Edo. Nanti saja, fikirnya. Rini ke meja makan lagi dan bergabung dengan  Agus dan Yusri.

"Gimana Rin? Mana Edo? Udah dibujuk belum?"

"Ini jam berapa Bang? Aku telat nanti,  kamu aja coba bicara dengan Edo."

Yusri hanya diam melihat Ibunya bicara pada Ayahnya.

"Anakmu lebih penting. Kalau dia tak mau makan terus sakit, siapa juga yang pusing?"

"Please Bang, ini juga aku cuma minum teh dan sepotong roti."

"Udah anak nanti sakit, kamu juga mau ikutan sakit gitu? Telat sedikit biasalah. Konfirmasi dulu kalau perlu."

"Gak bisa bang, bang tau kan atasanku gimana orangnya? Aku berangkat. Yusri, ibu berangkat kerja ya. Itu lauk dimakan pulang sekolah nanti ya. Assalamualaikum." Rini menyalami anak dan suaminya. Agus hanya termenung bingung mau bagaimana menghadapi Edo. Biasa Rini yang pandai melunakkan hatinya jika mulai marah gitu. Namun daripada Edo sakit tak sarapan dicobanya juga ke kamar Edo.

"Yusri makan cepat ya, Ayah ke kamar abang dulu."

"Iya Yah." Yusri segera menyuap sarapan buatan Ibunya. Agus berjalan menuju kamar Edo dan Yusri. Mereka memang tidur dalam satu kamar, namun di kasur yang berbeda. Agus membuka pintu kamar Edo, terlihat Edo seperti habis menangis.

"Anak ayah kenapa Nak? Kenapa nangis?"

"Ayah dan Ibu jahat. Udah gak sayang Edo. Semua sibuk kerja. Semenjak nenek dan kakek meninggal rumah ini jadi gak seru lagi."

"Ayah dan Ibu sayang sekali dengan Edo."

"Bohong! Buktinya Ibu gak peduli dengan Edo lagi. Baju Edo belum disetrika, celana Edo juga udah kekecilan. Edo malu ke sekolah dikatain sama kawan-kawan." Edo terus meraung meratapi kesedihannya.

"Udah Nak, anak cowok gak boleh nangis, mana sini baju kamu. Kamu lihat Ayah nyetrika ya. Hati-hati pegangnya, begini ni. Pelan-pelan aja dan jangan sampai tangan kamu kena panas ya. Nanti kamu bisa setrika sendiri. Tak perlu nunggu Ibu." Edo asyik memperhatikan Ayahnya menyetrika baju sekolahnya. Edo malu, ternyata Ayahnya masih sayang padanya.

"Besok ajarin Edo lagi ya Yah. Eh Ayah telat gak?" Edo senang pagi ini bajunya rapi dan licin. Membuatnya semangat datang ke sekolah.

"Oke anak ayah yang Sholeh. Tadi sholat shubuh gak?"

Edo garuk-garuk kepalanya yang tak gatal, itu artinya dia tak sholat lagi.

"Kesiangan Yah."

"Ya sudah besok dengar Yusri bangun Shubuh kamu ikut bangun ya, jangan malas. Yok cepat sarapan, adik kamu udah nungguin dari tadi tu."

Ayah dan anak bujangnya sarapan bersama semakin menghangatkan suasana pagi. Ada rasa sedih di hati Agus, andai Mutiara ada di sini sarapan bersama pasti lebih menyenangkan lagi. Tiba-tiba terfikir olehnya tentang Rini. Nanti malam dia harus bicara pada Rini. Rini harus lebih mengutamakan rumah dan anak-anak. Meski beranjak besar Edo dan Yusri masih butuh kasih sayang orang tuanya terutama Ibu. Pekerjaan di kantor membuat Rini lalai dengan kebutuhan sekolah Edo dan Yusri. Semoga Rini mau paham nantinya. Pagi ini dia terlambat lagi. Agus segera membereskan piring kotor dan bersiap-siap berangkat kerja. 

"Biar Yusri yang cuci nanti pulang sekolah Yah. Ayah langsung berangkat aja."

"Hati-hati ya Yah." Agus tersenyum pagi ini Edo mendoakannya sebelum berangkat kerja. 

"Iya Nak, Edo dan Yusri tolong baik-baik ya, jaga rumah dan kunci pas pulang nanti. Di sekolah yang pintar belajarnya. Ada orang tak dikenal datang jangan dibuka. Paham?"

"Siap Ayah!" Edo dan Yusri saling tersenyum menjawab ayahnya secara serentak.

***

Agus pulang kerja dan langsung ke kamar untuk bersih-bersih. Namun Rini belum ada. Tak mungkin dah malam begini belum pulang juga. Dicobanya telepon. Sepertinya hp Rini mati. Dicobanya tenang dan segera ke kamar Edo dan Yusri. Ternyata mereka lagi membuat PR. Agus ke dapur, sisa lauk siang tadi masih ada sepotong lagi. Apa anak-anak sudah makan? Akhirnya karena keroncongan Agus membuat telur dadar. Saat memasak dua anak bujangnya datang berlari dengan membawa piring. 

"Mau Yah, wangi banget telur dadarnya. Tadi habis Maghrib makan sedikit aja. Gak selera ya Yus?" 

"Iya Yah. Abang sama Yusri ikutan makan ya. Hehe."

"Boleh, ayuk, ni udah siap. Yuk kita makan!" Agus begitu semangat melihat keceriaan anaknya. Mereka bertiga makan dengan lahapnya. Setelah beres-beres Rini muncul dengan wajah penuh make up dan wangi parfum yang menyengat.

"Wah habis makan nih, gak ajak Ibu Do?"

Edo melihat Ibunya langsung teringat kejadian tadi pagi. Edo berlari ke kamar disusul Yusri adiknya. Agus menarik tangan Rini ke kamar.

"Kamu gak lihat wajah kamu Rin? Habis dari mana hah?"

"Aku tadi udah mau ngasi tau tapi hp langsung mati Bang, aku pulang kerja ada acara kenaikan jabatan temenku, gak enak udah diundang gitu. Semua ikut kok."

"Kamu makan enak-enak, anak dan suami gak kamu fikirkan."

"Kan aku udah masak tadi. Kurang ya Bang?"

"Rini! Jangan bikin aku marah ya!"

"Aku salah apa Bang? Kenapa Aku yang dimarah?"

"Ternyata kamu belum sadar juga ya. Edo dan Yusri tu butuh perhatian kamu! Jika pekerjaan kamu bikin kamu jauh dari anak-anak, tak usah kamu kerja lagi. Urus anak saja di rumah. Mereka lebih penting!"

"Apa? Terus bayar listri dan keperluan dapur gimana? Gaji bang habis untuk ngirim ke Tiara dan bantu adik kamu yang sudah tak ada suami itu. Untuk aku mana? Untuk anak-anak mana? Jajan dan ngemil anak juga dari Aku kan? Aku gak mau berhenti!" Rini menangis tak disadarinya Edo dan Yusri mendengar pembicaraan mereka dari tadi.

"Aku kepala rumah tangga. Biar itu aku yang fikirkan!"

"Gak bisa! Nanti kami bertiga juga yang kekurangan uang di rumah. Mau beli ini itu harus minta kamu dulu. Gak mau Bang!"

Agus terduduk di ranjang tidurnya. Kenapa Rini terlalu pintar menjawabnya? Kenapa Rini begitu mudah membuatnya lemah tak berdaya? Tiara.. bantu ayah nak.. coba kamu di sini nak.. Agus terus berfikir di depan Rini yang masih terisak menangis. Mungkin karena suaranya sudah terlalu tinggi tadi sehingga membuat Rini sedih. Ya Allah, apalagi yang harus dilakukan. Apalagi yang bisa membuat Rini bisa paham segalanya. Apakah dia sebagai suami telah gagal....

Bersambung...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun