Mohon tunggu...
Rizky Febrinna S.Pd
Rizky Febrinna S.Pd Mohon Tunggu... Guru - Love Your Sweet Life

Write all about life, believe in your heart...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesal Tiada Akhir (14)

10 Februari 2021   10:15 Diperbarui: 10 Februari 2021   10:41 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pukul 07.05 semua pekerjaan yang berhubungan dengan dapur sudah selesai dengan Rini. Memasak, menyapu, mencuci piring dan mengurus Edo dan Yusri.

Rini mencoba menelpon kakaknya, rindu ingin melihat Tiara. Namun beberapa kali dicoba tak ada respon sama sekali. Dicobanya lagi namun tetap tak diangkat. Biarlah fikirnya, mungkin nanti saja coba telepon lagi. 

"Bu, Edo hari ini diantar nenek lagi ya. Seru dengan nenek, sepanjang jalan cerita tentang Lulu."

"Hm? Lulu siapa Nak."

"Ups! Ketahuan deh. Aduh Edo keceplosan Bu. Hihi."

"Hayo siapa Lulu?"

"Lulu itu kucing warna putih. Cantik loh Bu. Tapi nenek bilang gak boleh bawa pulang ke rumah. Padahal Edo mau pelihara di rumah."

Rini seketika teringat tentang Tiara. Dulu pernah ada kucing kampung yang datang main di teras rumah. Tiara asyik bermain juga, lalu Tiara menarik ekornya, kucing tersebut reflek mencakar pipinya hingga mengucur darah, Tiara menangis histeris berlari mencari Ibunya. Sejak saat itu Agus dan Rini tak pernah mau izinkan kucing masuk ke dalam rumah.

"Oh gitu, emang Lulu tinggal di mana Nak?"

"Dia di jalanan Bu. Kasihan gak ada keluarga. Nenek bilang biarin aja. Kalau ada makanan kasi aja. Nenek bilang harus sayang kucing, karena kucing kesayangan Nabi Muhammad."

Rini terharu Edo yang masih kecil sangat menyayangi makhluk mungil tersebut. Dia jadi malu, jarang mengajarkan masalah agama atau akhlak kepada Edo. Dia sangat bersyukur Ibu mertuanya mendidik Edo dengan baik.

"Nah Edo sarapan dulu di sini ya, Ibu mau liat adik dulu. Adik kan mau sarapan juga."

"Iya Bu."

Rini bergegas ke kamar, Yusri tak ada. Dia pergi ke ruang tamu, ternyata sedang main dengan bang Agus. Melihat Rini datang Yusri bergegas meminta gendong dengan Rini.

"Ohh adik lapar ya, yuk mamam dulu. Yok Bang, sarapan dulu."

"Panggil Ayah dan Ibu juga Rin."

"Iya Bang. Oh iya, tadi coba telepon Tiara tapi belum diangkat."

"Terus? Udah coba lagi? Siapa tau sinyal, kan jarak kita jauh Rin."

"Udah coba lagi Bang, tapi mungkin pagi-pagi begini mereka sibuk semua. Kita doakan aja semoga urusan Tiara di sana lancar ya Bang."

"Aamiin ya Allah." Agus menutup pembicaraan dan segera bergabung dengan Ayah dan Ibu untuk sarapan. Semuanya hening hingga selesai makan.

Selesai sarapan Rini bergerak cepat mengemas piring kotor. Ibu bergerak pelan karena lututnya masih terasa sakit jika dibawa jalan cepat.

"Nek, ayok." Edo menarik tangan neneknya, namun neneknya mengerang sakit.

"Tunggu Do, nenek duduk bentar ya."

"Ibu masih sakit?" Agus khawatir melihat wajah Ibunya yang seperti menahan sakit.

"Iya Gus, tapi Ibu kamu tu keras kepala. Dari semalam Ayah ajak periksa malah gak mau." Ayahnya mengeluh pada Agus yang sudah bersiap untuk berangkat kerja.

"Ya Allah Bu. Agus temenin periksa ya?"

"Gak mau Gus. Ibu mau baring aja ya. Badan Ibu mau dibawa tidur di kamar. Edo, maafin nenek ya hari ini belum bisa antar Edo." 

"Yaahh nenek, gak maulah. Maunya sama nenek terus pulangnya kan janji mau beli es krim." 

"Nanti Ibu antarin kamu Nak. Udah jangan gitu, kasihan nenek lagi sakit." Rini segera menenangkan Edo agar moodnya tetap terjaga baik menjelang berangkat sekolah sebentar lagi.

"Yah, kalau Ibu nanti mau berobat telepon Agus ya. Agus berangkat kerja dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Serentak dijawab Ayah dan Rini.

"Yah, Rini bawa Yusri dan Edo ke TK dulu ya. Ayah tak apa sendiri di rumah?"

"Iya pergilah Nak. Hati-hati ya. Ayah bawa Ibu ke kamar dulu."

***

"Yah, Ibu tu kangen Tiara. Ayah gak kangen apa?"

"Iya ya Bu. Bapak masih tak habis fikir, bisa-bisanya mereka menjauhkan Tiara dari kita. Padahal Tiara tu cucu kita juga. Tapi Agus sudah memutuskan, kita bisa apa Bu?"

"Ya sudahlah Yah, percuma juga. Ayah tau Agus dari dulu anaknya keras."

"Ayah sudah tak perduli itu, yang Ayah mau Ibu sembuh seperti dulu. Jangan bikin Ayah khawatir."

"Ibu udah makin tua Yah. Mau sembuh gimana." Nada istrinya seperti putus asa.

"Ibu gak boleh ngomong gitu. Ingat Bu, janji kita sama-sama terus." 

Mereka menangis berdua sambil saling menggenggam erat kedua tangan seakan tak ingin dilepas.

"Iya Ibu janji sama-sama Ayah terus kan? Sampai saat ini juga kan? Ayah jangan sedih lagi."

Suaminya tersenyum meski air matanya terus mengalir melihat keadaan istrinya yang semakin terkulai lemah.

"Ayah mau Ibu kuat berjalan lagi. Janji ya Bu?"

"Tapi rasanya Ibu makin lemah Yah. Kaki tu seperti mati rasa."

"Ingat cucu-cucu kita. Mereka butuh sosok neneknya. Ibu harus kuat."

"Iya Yah. Ayah jangan khawatir ya. Ibu mau tidur dulu."

"Ayah lihat tanaman di belakang dulu ya."

***

Sepulang kerja Agus segera bersih-bersih. Karena sejak siang dia kerja tak tenang, dia segera ke kamar Ibunya. Ingin cari tahu keadaan Ibunya.

"Bu, udah makan belum. Ayah mana?"

"Ibu baik-baik aja Gus. Udah sana mandi kasihan istri dan anakmu udah nungguin. Ayah kamu tadi ke mesjid. Mungin bentar lagi makan. Ibu gak bisa ke dapur. Takut lauk gak cukup Nak."

"Ayok duduk Bu. Agus ada belikan Bihun Goreng Pak De kesukaan Ibu. Ayok Bu."

Di meja makan semua makan dengan khidmat. Sesekali Edo bertanya dan membuat tertawa semuanya.

Rini senang malam ini semua makan dengan ceria. Namun hatinya menangis karena yang terbayang dari tadi hanya Tiara. Apa Tiara sudah makan? Apa Tiara tau bahwa Neneknya saat ini sakit? Tiara... ibu kangen kamu Nak. Apa Ibu masih bisa ketemu kamu. Hati Rini nelangsa menahan rindu terhadap anak gadisnya.

Bersambung..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun