"Ya Allah... ya Allah... sakiitt.. sakiit Bang.." Wajah Rini sudah pucat dan berkeringat dingin. Kakinya sudah lemas hanya tersandar di ranjang tidurnya. Adzan Isya berkumandang. Beberapa menit kemudian Bidan Lilis datang bersama suaminya.
"Bu tolong Bu." Secepat mungkin Bidan Lilis memeriksa Rini yang meringis menahan sakit.
"Tahan sedikit Bu."Â
"Aw!" Air mata Rini keluar ketika bukaannya diperiksa Bu Lilis.
"Istighfar Nak." Ibu mertuanya juga cemas melihat menantunya.Â
"Astaghfirullah." Rini menggenggam tangan suaminya. Sakit itu semakin menyiksanya.Â
"Alhamdulillah ternyata cepat juga bukaannya Pak. Insyaa Allah cepat keluarnya ini. Tuh kepalanya sudah kelihatan. Oke Bu dengarkan saya ya, ambil nafas panjang, buang sekuat tenaga, lakukan berulang."
"Alhamdulillah, ayo Rin, pasti bisa Rin! Ayo ambil nafas buang nafas."
"Arghhhh sakiiitt...!" Sekuat tenaga Rini mencengkeram tangan Agus.
Agus cemas melihat Rini teriak seperti itu. Dia tahu bagaimana dulu mengeluarkan Edo Rini harus berjuang selama satu hari satu malam menangis menahan sakit. Hingga Rini trauma tak mau hamil lagi. Saat itu tak ada biaya sama sekali hingga terpaksa kesannya memaksa Rini untuk melahirkan secara normal. Padahal Rini sudah hampir menyerah dan ingin dioperasi saja. Jangan ditanya soal jahitan, meski normal namun jahitan sudah tak terhitung karena Edo termasuk bayi yang besar. Makin bertambahlah traumanya.
"Istighfar Rin." Agus mengusap keringat Rini yang mulai sebesar biji jagung.
"Baik, sudah lengkap ini." Bidan Lilis mulai memberi aba-aba kepada Rini. Rini juga mulai semangat dan membuka matanya lagi. Sakit sudah tak dihiraukannya, yang penting dia berusaha mengeluarkan anaknya.Â
"Ayo Rin, pasti bisa, anak kita juga berjuang tu, kamu harus kuat ya." Agus menyemangati Rini. Semakin bertambah rasa sayangnya melihat pengorbanan Rini bertaruh nyawa demi melahirkan anaknya.Â
"Alhamdulillah, anaknya perempuan ya Pak." Tiga kali mengejan Bidan Lilis menarik bayi merah tersebut dan pecahlah tangisan si bayi tepat pukul 21.21 Wib.
"Alhamdulillah." Serentak Agus dan Ibunya mengucap syukur.Â
"Terima kasih ya Rin. Terima kasih sudah bersusah payah melahirkan anak kita." Agus tak tahan menahan air matanya yang penuh haru.
Rini lega dan tak peduli dengan rasa sakit bekas jahitan. Untungnya anak keduanya tak sebesar anak pertama, sehingga itu memudahkannya saat mengejan. Dari hamil pertama dia belajar bagaimana mengatur makan sehingga tak terlalu banyak mengandung karbohidrat. Selain itu kehamilan kedua ini memang seleranya hanya bisa makan sayur dan buah. Ngidam pun tak ada sama sekali. Hatinya bersyukur dan berdesir darahnya. Tiba-tiba teringat lagi kebodohannya dulu. Ah! Kenapa bayangan itu memgganggunya terus.Â
"Ternyata beneran perempuan Bang." Kecut hati Rini ternyata hasil USG tidak meleset sama sekali. Bahkan prediksi melahirkan juga benar. Kenapa rasanya masih mimpi.
"Peluk anakmu Nak." Ibu melihat Rini masih bingung dan terdiam lama melihat bayinya sendiri. Agus inisiatif memindahkan anak tersebut agar bisa dipeluk Rini.
"Ini anak kita Rin, dia butuh kehangatan kamu. Dia mirip kamu, cantik." Agus tak henti mengucap syukur.Â
Rini masih diam belum mau memegang anaknya. Matanya nanar setelah penat berjuang mengeluarkan anaknya. Masih belum percaya ada makhluk bernyawa berada di atas perutnya.
"Rin... ayo pegang.. ayo Rin.." Agus berusaha memujuk istrinya.
Rini memeluk dengan perlahan bayi perempuan tersebut. Dipandanginya lama. Kepalanya mencari-mencari seperti haus.
"Edo mana Bang. Aku mau peluk Edo juga."
"Edo dah tidur di kamar Ayah. Ini sudah malam, besok saja ya."
"Lapar Bang, aku mau makan."
Agus segera keluar kamar meninggalkan Ibunya dan Istri dan anaknya.Â
"Rin, muka kamu kenapa. Senyum Nak. Sekarang sudah sepasang anakmu. Kenapa Ibu lihat wajahmu malah sedih. Cerita ke Ibu Nak."
"Rini takut Bu. Takut belum bisa menyusui, takut tak bisa adil terhadap Edo."
"Jangan berfikir begitu. Itu tak akan terjadi. Ada Agus,Ibu dan Ayah. Kita sama-sama membesarkan mereka. Itu tugas kita bersama. Kamu jangan takut ya. Kami semua sayang sama kamu Nak." Rini tak menyangka Ibu mertuanya bisa bicara seperti itu. Selama ini dia telah salah menilai. Bertambah rasa sesalnya. Andai kedua orang tuanya masih hidup, mungkin Ibunya akan marah jika tahu dia pernah berfikiran buruk terhadap mertuanya.
Agus datang membawa sepiring nasi dan lauk lengkap dengan sayur. Dia duduk di samping Rini dan segera menyuapinya.
"Makan yang  banyak ya, biar banyak ASI kamu. Coba kamu sambil kasih sekarang, semoga udah ada ASInya. Kasian tu haus kayanya Rin."
"Iya Bang." Rini tak menyangka ternyata sudah ada ASInya meski sedikit. Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Namun masih ada yang mengganjal di hatinya, hatinya belum tenang sama sekali. Sesuatu yang sulit dijelaskannya.
"Kita belum kasi nama Rin."
"Terserah bang aja. Aku tak tau juga mau kasi nama apa." Agus terus menyuapi Rini hingga hampir habis.
"Gimana jika Mutiara? Panggilannya Tiara?"
"Bagus Bang. Tanya Ibu dan Ayah juga, siapa tau mereka ada saran juga."Â
"Iya nanti Aku tanyakan. Nih minum dulu. Aku taruk piring dulu ke belakang ya."
"Iya Bang."
Rini melihat bayinya. Mutiara, Tiara. Hatinya memanggil-manggil bayinya. Begitu pandai bang Agus mencari namanya fikir Rini. Tiara sudah tertidur. Mungkin sudah mengantuk fikirnya. Dilihatnya wajah bayi itu. Masih tak menyangka dia sudah melahirkan dua orang anak. Rambutnya ikal mirip rambutnya.Â
"Tiara... maafin Ibu Nak.. " Air mata Rini mengalir melihat wajah tak berdosa Tiara.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H