"Baik, sudah lengkap ini." Bidan Lilis mulai memberi aba-aba kepada Rini. Rini juga mulai semangat dan membuka matanya lagi. Sakit sudah tak dihiraukannya, yang penting dia berusaha mengeluarkan anaknya.Â
"Ayo Rin, pasti bisa, anak kita juga berjuang tu, kamu harus kuat ya." Agus menyemangati Rini. Semakin bertambah rasa sayangnya melihat pengorbanan Rini bertaruh nyawa demi melahirkan anaknya.Â
"Alhamdulillah, anaknya perempuan ya Pak." Tiga kali mengejan Bidan Lilis menarik bayi merah tersebut dan pecahlah tangisan si bayi tepat pukul 21.21 Wib.
"Alhamdulillah." Serentak Agus dan Ibunya mengucap syukur.Â
"Terima kasih ya Rin. Terima kasih sudah bersusah payah melahirkan anak kita." Agus tak tahan menahan air matanya yang penuh haru.
Rini lega dan tak peduli dengan rasa sakit bekas jahitan. Untungnya anak keduanya tak sebesar anak pertama, sehingga itu memudahkannya saat mengejan. Dari hamil pertama dia belajar bagaimana mengatur makan sehingga tak terlalu banyak mengandung karbohidrat. Selain itu kehamilan kedua ini memang seleranya hanya bisa makan sayur dan buah. Ngidam pun tak ada sama sekali. Hatinya bersyukur dan berdesir darahnya. Tiba-tiba teringat lagi kebodohannya dulu. Ah! Kenapa bayangan itu memgganggunya terus.Â
"Ternyata beneran perempuan Bang." Kecut hati Rini ternyata hasil USG tidak meleset sama sekali. Bahkan prediksi melahirkan juga benar. Kenapa rasanya masih mimpi.
"Peluk anakmu Nak." Ibu melihat Rini masih bingung dan terdiam lama melihat bayinya sendiri. Agus inisiatif memindahkan anak tersebut agar bisa dipeluk Rini.
"Ini anak kita Rin, dia butuh kehangatan kamu. Dia mirip kamu, cantik." Agus tak henti mengucap syukur.Â
Rini masih diam belum mau memegang anaknya. Matanya nanar setelah penat berjuang mengeluarkan anaknya. Masih belum percaya ada makhluk bernyawa berada di atas perutnya.
"Rin... ayo pegang.. ayo Rin.." Agus berusaha memujuk istrinya.