"Tok...tok...tok.." Suara pintu rumahku sepertinya diketuk seseorang. Ku buka pintu dan terlihat salah satu siswaku yang bernama Jodi sudah berdiri dengan wajahnya yang cemas.
"Eh, Jodi masuk. Duduk dulu. Ada apa kamu datang ke rumah ibu?"
"Jodi bingung bu. Semalam Jodi dapat telepon dari pihak sekolah agar orang tua Jodi datang ke sekolah untuk melunasi administrasi sekolah. Ibu Jodi bilang apa boleh ditangguhkan dulu."
"Hmm, biasanya sekolah kita memberi keringanan bahkan khusus untuk anak yang berprestasi namun kurang mampu selalunya diberi bantuan meski tak full jumlahnya."
"Tapi Jodi bukan siswa berprestasi bu." Ucapnya melemah dengan matanya yang mulai memerah.
"Iya ibu paham. Untuk itu alangkah lebih baiknya kamu ke sekolah saja besok bersama orang tua kamu."
"Apa ibu bisa bantu Jodi? Jodi mohon bu. Nanti Jodi ganti bu." Ucapnya memelas.
Sebenarnya aku pun pegang uang pas-pasan karena kebutuhan sekolah dan makan anak akhir-akhir ini meningkat drastis. Aku tidak ingin suamiku bertanya nantinya. Namun rasa kasihanku pada Jodi membuatku ingin membantunya. Tak apalah aku bantu sedikit saja. Yang penting orang tuanya tak sampai datang ke sekolah..
"Ini ibu hanya bisa bantu sedikit. Hari sudah malam, kamu segera pulang ya."
"Alhamdulillah makasih bu. Jodi janji akan segera kembalikan uang ibu."
"Ya sudah tiati pulangnya."
Aku kembali ke ruang tengah duduk bersama suami.
"Siapa bun?"
"Jodi Yah, siswa Bunda. Udah kelas XII namun masih ada hutang sekolah beberapa bulan lagi. Bunda kasi bantu untuk dua bulan saja tadi, gak apa-apa kan yah?"
"Yang penting kebutuhan sekolah dan makan anak kita jangan terganggu ya bun, kasihan anak-anak nanti."
"Siap Yah, makasih ya."
***
Hingga beberapa bulan aku mendengar bahwa Jodi diterima di salah satu Universitas di kotaku. Aku bersyukur akhirnya dia lulus dengan nilai yang bagus.
Pagi ini aku harus mempersiapkan bahan ajar sebelum masuk ke kelas dan memulai kegiatan pembelajaran. Di kelas aku begitu menikmati peranku sebagai guru. Siswa mendengar penjelasan secara seksama, sesekali bercanda jika rasa jenuh datang. Selalu melakukan pendekatan jika mereka mulai menunjukkan nilai yang tak sesuai standar. Tiada hari yang ku lalui tanpa diisi dengan kegiatan mengajar, tak ku sadari waktu berlalu begitu saja.Â
Setiap tahun siswa datang silih berganti bahkan sudah tak terhitung berapa banyak yang sudah sukses ketika berkunjung ke sekolah saat memperkenalkan visi misi Universitasnya.Â
Hari sudah hampir jam empat sore. Saatnya aku kembali ke rumah berganti peran menjadi seorang istri dan ibu. Banyak PR yang sudah menunggu juga.Â
Saat memasuki teras rumah ada seseorang yang duduk memakai seragam polisi lengkap dengan atributnya. Jantungku berdetak dan takut jika mendengar berita buruk. Ku beranikan menyapa namun pemuda berseragam tersebut malah tersenyum. Aku semakin bingung.
"Ada apa ya Pak?" Biasanya polisi tugasnya menangkap orang jahat. Hatiku semakin risau.
"Ya Allah ibu. Ini Jodi bu. Jodi rindu ingin jumpa bu guru Jodi yang paling baik."Â
Suara dan wajahnya mengingatkanku beberapa tahun yang lalu. Saat itu tubuhnya kurus, tinggi dan kulit sawo matang. Saat ini tubuhnya berisi dan kulit semakin cerah sehingga terlihat dia semakin dewasa. Aku pangling jadinya.
Dia mengambil tanganku dan menyalamiku. Teringat saat aku mengajar dia dulu, anak yang pendiam dan sangat sulit memahami pelajaran. Bahkan aku beberapa kali memberikannya remedial agar nilainya bisa bagus.Â
Bahkan pas rapat kenaikan kelas pun namanya disebut-sebut karena hanya memiliki nilai yang di bawah rata-rata. Tak menyangka di detik-detik terakhir di kelas tiga Jodi mulai giat belajar dan mengerjakan soal-soal latihan. Usahanya berbuah manis. Namun aku tak menyangka dia memilih profesi sebagai seorang polisi.
Saat aku mengajaknya masuk ke dalam rumah dia menolak karena masih ada tugas katanya.
"Kamu sudah berhasil Jodi, jadilah aset bangsa yang bermanfaat. Ibu bangga dengan kamu."
"Jodi yang harusnya mengucapkan terima kasih kepada ibu, dan Jodi juga ingin meminta maaf jika baru sekarang Jodi bisa menemui Ibu."
"Kenapa minta maaf?"
"Ibu lupa ya, Jodi masih punya hutang, sekarang Jodi bayar lunas ke Ibu."
"Astaghfirullah ibu saja sudah lupa. Udahlah jangan dibahas lagi." Ucapku merasa malu.Â
"Ini bu."
Jodi menyerahkan amplop cokelat beserta tas yang berisi bungkusan. Aku buka di depannya ternyata isinya mukena dan Al quran. Aku menangis terharu. Bukan karena diberi sesuatu namun lebih kepada rasa bangga bisa melihat dengan nyata kesuksesan anak didikku. Meski satu di antara seribu tetaplah ada rasa haru menyeruak di hati ini.
"Terima kasih ya Jodi."
"Siap bu, mohon diterima dengan ikhlas. Jodi mohon diri dulu."
Jodi pamit dan segera pergi demi tugasnya. Dalam hati aku berdoa untuk kesuksesannya dan selalu bermawas diri terhadap lingkungan sekitar.Â
Percayalah ikhtiar yang baik insyaa Allah akan menghasilkan sesuatu yang baik pula.Â
Meski saat ini begitu sulit rintangan hidup, percayalah kemudahan akan datang bersama orang-orang yang sabar. Semangat dan bersyukurlah untuk orang-orang yang berprofesi sebagai guru.
Sekian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H