Mohon tunggu...
Rizky D. Rahmawan
Rizky D. Rahmawan Mohon Tunggu... Entrepreneur -

Menyukai jalan-jalan. Mencari inspirasi, mengulik potensi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

“Sang Tamu” Penyerobot Rumah

8 Mei 2016   15:02 Diperbarui: 8 Mei 2016   15:11 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu yang lalu Ioanes Rakhmat, seorang Pengamat dan pemapar perkembangan sains modern mencoba mengungkapkan tafsirnya atas sekutip ucapan Cak Nun yang ia dapati di media online berikut ini :

“Ada tamu datang membersihkan rumah, dan secara canggih dan tegas mengusir tikus-tikus. Kami sekeluarga terpesona. Kami menerimanya sebagai keluarga. Karena tamu itu lebih menguasai pengelolaan rumah dibandingkan kami sekeluarga. Akhirnya, rumah kami menjadi rumahnya. Dan kami numpang. Berkat kebaikan hatinya.”

Ioanes nampak begitu antusias mendapati kutipan tersebut. Sontak, ia seperti menemukan korelasi antara kutipan tersebut dengan situasi kontemporer yang sedang riuh di senatero negeri saat ini: DKI 1. Ioanes menafsiri bahwa subyek yang di maksud di dalam kutipan tersebut adalah Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Berikut kutipan penafsiran Ioanes tersebut :

Nah, saya kini bisa memastikan bahwa “tamu” yang dimaksud EAN pada meme-nya di atas adalah Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dipanggil Ahok. Maaf, jika saya salah mengidentifikasi! Tapi, Apakah ada sosok lain yang pas selain Ahok, katakanlah misalnya Hary Tanoe, atau mungkin Samadikun Hartono yang baru pulang ke Indonesia setelah “berlibur sangat panjang” lebih dari 10 tahun di RRC ketika presiden NKRI sudah berganti?

Kemudian dalam imajinasi penafsirannya, Ioanes membandingkan bayangan situasi kedatangan tamu pada kutipan itu adalah sama seperti kedatangan para pekabar Injil di Afrika Selatan. Mereka datang dengan kedok mengajarkan kitab suci sambil diam-diam mengambil alih pemilikan tanah. Pada paragraf dibawahnya Ioanes menulis :

Para pekabar injil yang datang ke Afsel di era gerakan Desmond Tutu, dan di era jauh sebelumnya, adalah memang orang-orang asing, para tamu, yang bertujuan menjajah Afsel dengan mula-mula memakai jubah agama dan membawa aksesoris agama. Tidak ada cinta dalam diri mereka terhadap rakyat Afsel.

Sebaliknya, Gubernur Ahok sama sekali bukan tamu, bukan orang asing, bukan pendatang, juga bukan penjajah berjubah agama. Ahok itu WNI yang mencintai NKRI dan bangsa Indonesia, khususnya penduduk DKI dan lebih khusus lagi rakyat miskin di Jakarta yang semula tidak punya tempat tinggal yang sah dan tidak punya rumah sendiri yang layak.

Bagi saya, penafsiran yang dibuat Ioanes ini menarik. Konteks yang ditarik sangat relevan dengan pemberitaan kontemporer saat ini. Terlebih ia nampak demikian percaya diri dengan pendapatnya tersebut, bahkan tak tanggung-tanggung ia pun sampai memasti-mastikan pendapatnya tersebut.

Menurut saya, Ionaes sah-sah saja menghadirkan kasus di masa Desmond Tutu di dalam imajinasinya sebagai alat komparasi bagi konstruksi penafsirannya tersebut. Pun demikian, ia sah-sah saja menggunakan produk penafsirannya itu untuk menyiratkan dukungan pribadinya kepada Ahok sebagaimana ia ulas panjang dan lebar pada paragraph-paragraf selanjutnya.

Kemudian, dalam paragraf pamungkasnya, Ioanes menyampaikan :

Ya, tentu boleh-boleh saja setiap orang mengambil peran berganda-ganda dalam masyarakat manapun di dunia ini. Tetapi, jika mereka mau dapat dipercaya dan dijadikan rujukan, hendaklah pendapat-pendapat mereka yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan dunia yang lebih luas didasarkan pada data dan fakta-fakta objektif dan kajian-kajian ilmiah yang otoritatif yang sudah dilakukan para pakar di bidang-bidang mereka masing-masing.

Maka saya berharap, penafsiran Ioanes tersebut dapat menjadi pemicu pengembaraan ilmu kita bersama, yang obyektif dan tidak meninggalkan kaidah-kaidah kepakaran. Karena khawatirnya, penafsiran tersebut justru akan melahirkan stigma, sentimen dan tendensi tertentu, bukannya obyektivitas ilmu.

Beberapa hal dibawah ini mungkin dapat berguna untuk membantu Ioanes melanjutkan eksplorasinya dalam hal memberikan produk penafsiran dan pendapat yang lebih obyektif berangkat dari antusiasmenya terhadap kutipan Cak Nun tersebut.

Pertama : Seyakin apapun saya atas penafsiran tertentu saya kepada sebuah obyek tafsir, saya pribadi tidak berani memasti-mastikan. Ada disiplin jarak yang mesti dijaga antara produk tafsir dengan obyek tafsirnya. Kita harus menyadari keniscayaan adanya disparitas presisi, akurasi, sudut pandang, sisi pandang, cakrawala pandang dan subyektivitas kepentingan yang menjaraki antara sebuah penafsiran dengan obyek tafsirnya.

Kedua : Saya pribadi tidak merasa perlu untuk terburu-buru, untuk menduga-duga tamu yang dimaksud dalam identifikasi terhadap etnis tertentu. Sehingga terkaan alternatif yang dimunculkan Ioanes jatuh pada mereka yang se-etnis pula, Harry Tanoe dan Samadikun Hartono.

Berangkat dari term tamu saja, entah ada berapa jumlah kasus dimana kita dirugikan oleh kedatangan tamu. Diantara contohnya adalah, mereka para investor asing yang membeli garis pantai bahkan pulau-pulau kita untuk dijadikan privat resort. Kemudian kedatangan pemilik modal dan oknum aparat yang bersekongkol merongrong hak ulayat penduduk asli suatu wilayah di berbagai pelosok negeri ini. Serta masih banyak lagi kasus-kasus yang masih membutuhkan kehadiran Desmond Tutu masa kini.

Ketiga : Kalau Ioanes terkesan menggiring opini bahwa subyek yang dimaksud di dalam kutipan tersebut adalah Ahok, harus dipastikan dulu Ioanes tidak menjadi bagian yang berhasil digiring oleh media massa. Dimana kita tahu, sebulan lebih kemarin media massa kita seolah habis-habisan memasang kacamata kuda terhadap persoalan 17 pulau buatan dan seolah menutup terhadap persoalan yang terjadi di 17.000 pulau lainnya yang ada di negeri ini. Ulah entah siapa dibalik media massa yang berimbas menjadikan Ahok demikian populer menjadi pusat perhatian.

Keempat : Seandainya maksud kutipan tersebut memang betul Ahok. Sebaiknya kita tidak bias ruang hingga mengarah pada isu-isu SARA. Kita tidak bisa melupakan bagaimana kontribusi nyata Cak Nun dalam perjuangan keberagaman atau pluralisme. Ia telah secara mati-matian mempertaruhkan nama dan martabatnya sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, bahkan hingga ia menjadi salah seorang yang paling banyak ditimpa fitnah dalam hal perjuangan keberagaman atau pluralisme.

Atau memang kemajuan pluralisme di masyarakat kini, didapati sudah kebablasan sehingga perlu di rem agar tidak mengarah pada situasi kontraproduktif.

Kelima : Argumen paling logis bila yang dimaksud sebagai tamu itu memang Ahok adalah bukan tentang baik atau tidak baik program-program sang Gubernur. Bukan juga soal baik atau tidak baik perangai dari figur seorang Basuki Tjahaja Purnama. Akan tetapi yang perlu kita telisik lebih mendalam adalah jenis potensi hidden message seperti apa yang sedang dirancang oleh para sutradara dan penulis skenario di balik pagelaran dengan lakon DKI 1 ini?

Keenam :Semenjak pementasan teater “Presiden Balkadaba”, dalam catatan saya Cak Nun sudah tak lagi acuh terhadap persoalan pemerintahan. Cak Nun & Kiai Kanjeng memprioritaskan pelayanan kepada persoalan-persoalan kemanusiaan, waka ia konsetrasikan bagi keluarga dan masyarakatnya.

Arena Pilgub, apalagi arena voter vs hater terlalu remeh bagi peran global Cak Nun. Dalam berbagai website, jejaring sosial dan portal berita kita dapat menyaksikan bagaimana kaliber paradigma dan kapasitas kepengasuhan Cak Nun tersebut.

Di Tahun 80-an Cak Nun membuat tulisan berjudul “Tamu Entah Siapa”. Tulisan itu kemudian diterbitkan di dalam buku “Slilit Sang Kiai” pada tahun 1991. Berikut ini kutipan tulisan yang dibuat semasa Ahok bahkan belum lulus kuliah di Trisakti kala itu :

Tamu itu datang, tiba-tiba saja ia sudah berada di ruang dalam rumahku. Siapa ia?

Ketika kami mulai bicara, ia sudah tahu hampir semua hal tentang diriku, bahkan tentang seluk beluk rumahku, kebunku, kolam di belakang, juga apa-apa yang ada di bawah tanahnya, bahkan ia seperti tahu persis kata-kata dalam batinku.

Lebih dari itu, dengarlah katanya, “Di bawah tanah rumahmu ini terdapat barang yang amat berharga. Tetapi karena engkau tak mampu dan tak punya biaya untuk menggalinya sendiri, maka sebaiknya akulah yang mengerjakannya. Cuma ada beberapa syarat yang kuminta…”.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun