Ya, tentu boleh-boleh saja setiap orang mengambil peran berganda-ganda dalam masyarakat manapun di dunia ini. Tetapi, jika mereka mau dapat dipercaya dan dijadikan rujukan, hendaklah pendapat-pendapat mereka yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan dunia yang lebih luas didasarkan pada data dan fakta-fakta objektif dan kajian-kajian ilmiah yang otoritatif yang sudah dilakukan para pakar di bidang-bidang mereka masing-masing.
Maka saya berharap, penafsiran Ioanes tersebut dapat menjadi pemicu pengembaraan ilmu kita bersama, yang obyektif dan tidak meninggalkan kaidah-kaidah kepakaran. Karena khawatirnya, penafsiran tersebut justru akan melahirkan stigma, sentimen dan tendensi tertentu, bukannya obyektivitas ilmu.
Beberapa hal dibawah ini mungkin dapat berguna untuk membantu Ioanes melanjutkan eksplorasinya dalam hal memberikan produk penafsiran dan pendapat yang lebih obyektif berangkat dari antusiasmenya terhadap kutipan Cak Nun tersebut.
Pertama : Seyakin apapun saya atas penafsiran tertentu saya kepada sebuah obyek tafsir, saya pribadi tidak berani memasti-mastikan. Ada disiplin jarak yang mesti dijaga antara produk tafsir dengan obyek tafsirnya. Kita harus menyadari keniscayaan adanya disparitas presisi, akurasi, sudut pandang, sisi pandang, cakrawala pandang dan subyektivitas kepentingan yang menjaraki antara sebuah penafsiran dengan obyek tafsirnya.
Kedua : Saya pribadi tidak merasa perlu untuk terburu-buru, untuk menduga-duga tamu yang dimaksud dalam identifikasi terhadap etnis tertentu. Sehingga terkaan alternatif yang dimunculkan Ioanes jatuh pada mereka yang se-etnis pula, Harry Tanoe dan Samadikun Hartono.
Berangkat dari term tamu saja, entah ada berapa jumlah kasus dimana kita dirugikan oleh kedatangan tamu. Diantara contohnya adalah, mereka para investor asing yang membeli garis pantai bahkan pulau-pulau kita untuk dijadikan privat resort. Kemudian kedatangan pemilik modal dan oknum aparat yang bersekongkol merongrong hak ulayat penduduk asli suatu wilayah di berbagai pelosok negeri ini. Serta masih banyak lagi kasus-kasus yang masih membutuhkan kehadiran Desmond Tutu masa kini.
Ketiga : Kalau Ioanes terkesan menggiring opini bahwa subyek yang dimaksud di dalam kutipan tersebut adalah Ahok, harus dipastikan dulu Ioanes tidak menjadi bagian yang berhasil digiring oleh media massa. Dimana kita tahu, sebulan lebih kemarin media massa kita seolah habis-habisan memasang kacamata kuda terhadap persoalan 17 pulau buatan dan seolah menutup terhadap persoalan yang terjadi di 17.000 pulau lainnya yang ada di negeri ini. Ulah entah siapa dibalik media massa yang berimbas menjadikan Ahok demikian populer menjadi pusat perhatian.
Keempat : Seandainya maksud kutipan tersebut memang betul Ahok. Sebaiknya kita tidak bias ruang hingga mengarah pada isu-isu SARA. Kita tidak bisa melupakan bagaimana kontribusi nyata Cak Nun dalam perjuangan keberagaman atau pluralisme. Ia telah secara mati-matian mempertaruhkan nama dan martabatnya sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, bahkan hingga ia menjadi salah seorang yang paling banyak ditimpa fitnah dalam hal perjuangan keberagaman atau pluralisme.
Atau memang kemajuan pluralisme di masyarakat kini, didapati sudah kebablasan sehingga perlu di rem agar tidak mengarah pada situasi kontraproduktif.
Kelima : Argumen paling logis bila yang dimaksud sebagai tamu itu memang Ahok adalah bukan tentang baik atau tidak baik program-program sang Gubernur. Bukan juga soal baik atau tidak baik perangai dari figur seorang Basuki Tjahaja Purnama. Akan tetapi yang perlu kita telisik lebih mendalam adalah jenis potensi hidden message seperti apa yang sedang dirancang oleh para sutradara dan penulis skenario di balik pagelaran dengan lakon DKI 1 ini?
Keenam :Semenjak pementasan teater “Presiden Balkadaba”, dalam catatan saya Cak Nun sudah tak lagi acuh terhadap persoalan pemerintahan. Cak Nun & Kiai Kanjeng memprioritaskan pelayanan kepada persoalan-persoalan kemanusiaan, waka ia konsetrasikan bagi keluarga dan masyarakatnya.