Bangunan semi kolonial berdiri tegap di atas bukit, tembok-temboknya memantulkan sinar matahari sore. Tahun --tahun dimana pandemi kelak melanda, hari-hari berjalan biasa seperti biasanya.
Para guru berusaha mendidik murid-murid dengan semangat, meski sebagian besar siswa hanya hadir untuk memenuhi absen. Mungkin setara dengan niat yang dihadirkan.
Sorot tajam tertuju pada sebuah ruang kecil di pojok, Jeprut duduk di kursi kayu yang masih kokoh. Di meja masih setengah gelas kopi tersaji. Wajahnya serius, matanya menatap HP yang layarnya sudah retak, tetapi entah ia menggulirkan apa, sepertinya ia tak paham dengan apa yang dilihatnya itu.
Jeprut baru setahun mengajar di sekolah ini. Di usianya yang 28 tahun, ia membawa dua beban besar: menjadi guru baru yang harus dihormati dan menjadi pria yang baru saja melewati perceraian pahit. Baru saja 2 pekan yang lalu, ia menyandang status duda. Kesedihannya memang tidak terlihat, tetapi mungkin ia sedang bingung.
Sebagai lulusan kampus populer, ia dikenal tegas, disiplin, dan aktif di perguruan silat sebagai aktivitas sampingannya. Tetapi, semua itu tidak cukup untuk mengisi kekosongan di hatinya kini.
Temperamental lamanya, memang terlihat sudah mulai mereda dalam beberapa tahun terakhir ini, ia tampaknya siap bangkit kembali memenuhi tujuan yang pernah tertancap saat masih berkuliah, memberikan pengajaran demi mencerdaskan kehidupan bangsa, katanya sih begitu.
Dan di sinilah Sekut muncul.
"Pak, tugas ini nggak ada gunanya," kata Sekut di ruang BK. Suaranya berat, penuh ejekan.
"Bapak tahu, kan? Orang tua saya bisa bayar guru lain buat ngajarin hal ini lebih baik."
Jeprut mengepalkan tangan di bawah meja.
"Sekut, tugas ini bukan soal uang. Ini soal tanggung jawab."