Mohon tunggu...
Rizki Vonna
Rizki Vonna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pendidik Sejarah

Pendidikan Sejarah Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Samudra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bambu Runcing: Tonggak Perjuangan & Pertahanan Kemerdekaan RI di Kota Langsa

11 Januari 2024   11:46 Diperbarui: 11 Januari 2024   11:49 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penjajahan yang dialami oleh bangsa Indonesia dengan rentan waktu yang begitu lama, banyak memakan korban akibat penjajahan yang dilakukan oleh para penjajah baik dari Eropa maupun Asia. Penjajahan ini tidak hanya merenggut harga diri, nyawa korban, hingga infrastuktur pemerintahan. Tidak hanya itu, berbagai macam kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia baik rempah-rempah maupun kekayaan alam lainnya, turut di rampas dan di angkut ke Negara-negara penjajah. Untuk menghadapi kekejaman para penjajah, bangsa Indonesia tidak tinggal diam, perlawanan dan peperangan terus sengit dilakukan oleh lapisan-lapisan masyarakat, mulai dari pelosok desa hingga diperkotaan, dari perlawanan yang bersifat kedaerahan kemudian menjadi perlawanan yang berskala nasional. 

Setiap makhluk baik individu maupun kelompok berkeinginan untuk memiliki kemerdekaan yang hakiki, yang mampu mengatur diri mereka sendiri tanpa harus bergantung dengan yang lain. Kata merdeka menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti bebas (dari penghambaan, penjajahan, dan sebagainya), berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, dan leluasa. Perang kemerdekaan adalah perang yang disambut oleh suatu Negara yang diserang untuk mengelakkan diri dari serangan atau untuk membebaskan diri dari serangan atau pemerasan dan penindasan dari Negara lain yang sudah berlaku (Thamrin dan Edy, 2007: 131).

Dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan sesuai dengan UUD 1945 alinea keempat yang berbunyi (Rudy, 2013):

"...untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...".

Perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, bangsa Indonesia melakukan berbagai hal yang dapat mengusir penjajah dari bumi Indonesia, mulai peperangan resmi maupun peperangan secara gerilya. Peperangan antara pihak Belanda dengan Kesultanan Aceh berawal ketika ditandatangani traktat Sumatra oleh Inggris pada tahun 1871 yang isinya (Rusdy sufi, 2008) "memberi kebebasan kepada Belanda untuk memperluas kekuasaannya di Pulau Sumatra", sehingga tidak ada hak dan kewajiban bagi Belanda untuk mengormati dan menghargai bangsa Aceh. Peperangan ini terus berlanjut sampai Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada Maret 1942. Penjajahan Indonesia diambil alih oleh bangsa Jepang, dengan rentang waktu yang sangat singkat, namun masa penjajahan Jepang sangat membekas kehidupan para pribumi baik dibidang ekonomi, sosial, maupun pemerintahan. Pada awal kedatangan Jepang, Jepang mampu mengambil simpati para cendikiawan, 'alim ulama, serta masyarakat Aceh pada umumnya, dengan melontarkan janji-janji kemerdekaan, seolah-olah Jepang menjadi saudara bagi rakyat Aceh demi tercapainya cita-cita kemerdekaan.

Perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dilakukan diseluruh Indonesia pada umumnya dan khususnya pada setiap daerah, yang terus memperjuangkan kemerdekaan dengan berbagai cara baik peperangan yang dilakukan dengan senjata pada umumnya yaitu kris, senapan, tombak, parang, dan benda tajam lainnya. Akan tetapi, sebahgian besar masyarakat juga menggunakan senjata tradisional yang berupa bambu runcing. Tulisan ini akan mengkaji persoalan bagaimana perjuangan rakyat Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan RI dikota Langsa dengan menggunakan senjata tradional Bambu Runcing? Apakah rakyat Aceh khususnya di kota Langsa mampu mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dengan menggunakan berbagai macam senjata tradisional khusus Bambu Runcing.

Awal Mula Pelopor Bambu Runcing

Setelah berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia, Jepang mulai menggantikan posisi Belanda. Kedatangan Jepang berawal dengan penyambutan yang baik, Jepang mengambil simpati ulama, uleebalang, serta masyarakat dengan menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Hal ini, dimanfaatkan oleh Jepang demi terwujudnya cita-cita, mensukseskan perang Asia Timur Raya. Pada awal kependudukan Jepang memang membawa dampak positif, mampu melepaskan pribumi dari kekangan Belanda. Namun, hal ini tidak berjalan secara terus menerus, Jepang hanya menggantikan nama sistem pemerintahan dari bahasa Belanda menjadi bahasa Jepang. Untuk menimbulkan kesan adanya demokrasi, penguasa Jepang membentuk bermacam-macam organisasi di Aceh, pada bulan Mei 1943 dibentuk Tokobetsu-kesatsutai (polisi Istimewa), bulan Agustus 1943 dibentuk Keibo-jieidan (badan penjaga keamanan), bulan November 1943 dibentuk pula Giyu-gun (Laskar Rakyat) dan Atjeh-syu-sangi-kai (Majlis Perwakilan Rakyat Daerah Aceh). Adapun tujuan dari seluruh pembentukan organisasi demi terwujudnya Asia Timur raya. 

Dalam proses pembentukan organisasi tersebut, Jepang membuat pelatihan militer baik laki-laki maupun perempuan, agar seluruh pribumi mampu mengikuti Asia Timur raya. Dengan keterbatasan senjata-senjata perang, Jepang mulai memperkenalkan dan mengembangkan bambu runcing untuk dijadikan sebagai senjata perang, dalam bahasa Jepang disebut dengan Takeyari. Senjata ini digunakan untuk menghadang pasukan payung musuh yang diterjukan dari udara.

Bambu Runcing merupakan senjata tradisional yang sangat fenomenal digunakan dalam medan perang oleh bangsa Indonesia dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Senjata ini sudah muncul sebelum masa kependudukan Jepang. Senjata tradisional bambu runcing pertamakali di pelopori oleh seorang ulama sepuh dari kota Parakan, Temanggung, Jawa Tengah yang bernama Kyai Subchi. Kyai Subchi menciptakan sejenis bambu runcing yang disepuh dengan doa, sehingga Kyai Subchi dijuluki dengan kyai Bambu Runcing. Pada tahun 1941, kyai Subchi mendapat firasat akan ada peperangan kedepannya, beliau mengumpulkan putra-putranya (Lurah Mas'ud, Ali, dan H. Noer) untuk mempersiapkan alat perang. Dari kesepakatan dengan putra-putranya, putra beliau mengusulkan ide untuk menggunakan senjata cucukan yang terbuat dari bambu dengan alasan bambu mudah untuk dibuat rakyat,tidak banyak biaya, dan bambu mempunyai sifat bila melukai sukar sembuh dan juga membahayakan. Usulan tersebut diterima oleh Kyai Subchi, kemudian diputuskan sebagai ciri khas senjata pasukan yang akan dibentuknya. Senjata Bambu Runcing ini, terbuat dari bambu yang ujungnya diruncingkan, senjata ini digunakan laksana senapan yang tersungkur. Bambu runcing melambangkan keberanian dan keteguhan dalam peperangan.

 Lintasan Sejarah Pembentukan Kota Langsa

Langsa didirikan pada paruh terakhir abad ke-18 oleh orang Minangkabau (Menangkabauner) yang bernama Datoe Dajang (Datok Alam Malelo). Dalam perkembangannya datoe Dajang digantikan oleh anak angkatnya sebagai pemimpin wilayah yang bernama Teungku Chik Bentara Blang (1875-1901). Pada Saat Belanda datang ke Langsa yang menjadi pemimpin wilayah Langsa (uleebalang) dikenegerian Langsa adalah Teungku Chik Bentara Blang (Aulia Rahman, 2020). Dalam masa kepemimpinannya, Beliau tidak menyetujui dan menantang kehadiran Belanda, kemudian beliau diasingkan ke pulau Jawa. Kemudian Kepemimpin wilayah Langsa di gantikan oleh saudara beliau yang bernama Teungku Chik Muda Lam Kuta (1901-1904), yang memiliki sikap lunak dan mendukung aktivitas Belanda di Kenegerian Langsa. Kemudian Teungku Chik Muda Lam Kuta digantikan oleh anaknya yang bernama Teuku Chik Banta Beureudan yang memipin langsa dari tahun 1904-1918. Pada tahun 1931 uleebalang Langsa dipimpin oleh Teuku Chik Ali Basyah sampai Langsa mencapai Kemerdekaan.

Langsa merupakan sebuah kota yang berada di provinsi Aceh. Kota langsa merupakan kota pemekaran dari Aceh Timur yang dimekarkan berdasarkan Undang-Undang No. 3 tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001, yang diresmikan pada tanggal 21 Juni 2001 oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden Republik Indonesia.

Perjuangan Bambu Runcing Dalam Mempertahankan Kemerdekaan RI di Kota Langsa

Pada tanggal 6 -- 9 Agustus 1945, pengeboman dua kota adidaya Negara Jepang, Hiroshima dan Nagasaki oleh sekutu. Pada tanggal 10 Agustus 1945 membuat Jepang menyerah tanpa syarat dan harus mundur dari pemerintahan Indonesia. Dengan demikian, kekosongan kekuasaan dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk melangkah lebih maju, dengan berbagai persiapan serta perlengkapan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada hari Jum'at tanggal 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno dengan didampingi oleh Mohammad Hatta di jalan pegangsaan Timur No. 56 Jakarta Pusat. Namun, kabar kemerdekaan Indonesia baru sampai ke Aceh pertamakali di Bireun pada tanggal 19 Agustus 1945, berita ini diketahui oleh Hoesin Yoesoef, yang pada waktu itu bekerja pada staf inteligen resimen Fojaka dengan pangkat letnan Gyugun melalui radio Jepang yang ditempatkan disana. Kemudian berita ini terus menyebar ke seluruh kota Bireun. Di Kutaraja berita kemerdekaan baru diketahui pada tanggal 21 Agustus 1945 melalui para pemuda yang bekerja pada kantor berita Jepang, Domei. Pada hari itu secara rahasia seluruh pemuda yang bekerja pada kantor penerangan Jepang (Hodka) dan harian Aceh Sinbun di Kutaraja telah mengetahui berita gembira tersebut.

Seiring dengan diterimanya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di tiap-tiap tempat di Kutaraja, dilakukan pula pengibaran sang saka Merah Putih diberbagai tempat, didepan kantor Keimubu (Kantor Polisi Jepang: Kantor Baperis sekarang) walaupun sempat terjadi cekcokan dengan tentara Jepang, pada tanggal 25 Agustus 1945 sang saka merah putih dikibarkan di depan kantor Sinbun, disini juga terdapat rintangan dari pembesar Jepang, namun dengan tekad yang kuat bendera merah putih tetap berada di puncak. Kegiatan pengibaran bendera merah putih semakin bersemangat dikibarkan di seluruh tempat di Kutaraja. Selama bulan September hingga awal bulan Oktober berita Kemerdekaan terus tersiar ke kota-kota lain di seluruh Aceh seperti Sigli, Meulaboh, Takengon, Tapaktuan, Lhokseumawe, Lhoksukon, Kuala Simpang, Idi, Langsa, dll (Sufi, 2008: 79).

Berita kemerdekaan Republik Indonesia tersampaikan di Langsa pada tanggal 30 September 1945, berita ini diketahui oleh para pemimpin pemuda di Langsa bahwa Jepang telah kalah perang dengan pihak sekutu dan Indonesia telah merdeka, selanjutnya pemimpin pemuda membentuk Komite Nasional, sebagai ketuanya dipilihlah saudara Wiriyo,sedangkan untuk jabatan Asisten Residen diangkatlah T.T Daoedsjah yang sebelumnya sebagai Guntyo. Para pemuda Langsa dapat menangkap siaran radio Bandung yang membicarakan berita proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Kemudian informasi bahwasanya Indonesia telah merdeka disebar luaskan kepada masyarakat Langsa oleh bapak Ghazali Idris, beliau memberanikan diri untuk menyiarkan informasi ini di gedung bioskop Dai Toa. 

Kemudian berita kemerdekaan dimanifestasikan dengan pengibaran bendera sang saka merah putih secara resmi pada tanggal 02 Oktober 1945 di lapangan Bambu Runcing. Hal ini selaras dengan perkataan salah seorang pelaku sejarah Langsa yaitu Usman Ams "Penaikan sang saka merah putih untuk pertamakalinya di Langsa adalah di lapangan yang sekarang disebut taman bambu runcing", dan dikuatkan juga oleh catatan harian Amir Luthan, seorang supir pada masa kemerdekaan, dalam catatan hariannya disebutkan "peristiwa sakral, monumental, dan bersejarah itu terjadi di lapangan Bambu Runcing pada tanggal 02 Oktober 1945 (buku: Menelusuri jejak Sejarah Langsa, edisi Revisi). Peristiwa pengibaran bendera merah putih di kota Langsa dipelopori oleh Teuku Chik Muhammad Daud Syah selaku Guntyo Langsa (bupati Aceh Timur pertama berkedudukan di Langsa periode 1945-1946) dengan pemimpin upacara Abdullah Husein (yang menjabat sebagai kepala polisi Langsa pada saat itu), kemudian diikuti oleh beberapa tokoh-tokoh lainnya Teungku Ismail Usman, Abdussuki, Ghazali Idris, Ahmad Abdullah, Usman Nurdin, Usman Anas, Peutuah Husen, serta para penduduk kota Langsa dan sekitarnya (Sufi, 2008: 166). 

Setelah Indonesia resmi mengibarkan bendera Merah Putih ke seluruh pelosok negeri tanpa terkecuali Aceh, tentara-tentara Jepang mulai diusir dari tanah rencong khususnya di kota Langsa serta peluncutan alat-alat perang yang berupa senjata, tank, senapan mesin, truk, karabin, meriam pantai, dan amunisi. Pelunjutan senjata-senjata Jepang di daerah Bireun, Lhokseumawe, Idi, dll. Sehingga pada tanggal 13 Desember 1945 membangkitkan keberanian masyarakat Langsa secara resmi menghidupkan sirine secara berulang-ulang sebagai tanda bahwa seluruh masyarakat Langsa telah siap untuk mengambil (merampas) senjata dari tangan tentara Jepang baik dengan cara negosisasi maupun dengan kekerasan. Bunyi Sirine ini juga menjadi pertanda bahwa Militer Jepang harus segera mengakhiri petualangan penjajahannya di Langsa dan tidak mempunyai pilihan lain jika tidak ingin mati sia-sia di Kota Langsa.

Tepatnya pada hari Senin tanggal 17 Desember 1945 seluruh tentara Jepang telah selesai di Intersit ke Medan dengan menungangi kereta api. Namun masyarakat Langsa masih menaruh dendam terhadap tentara Jepang, sehingga mereka tidak melepas Jepang begitu saja dan masyarakat Langsa menahan kereta api di sekitaran Titi kembar Langsa. Dalam insiden tersebut Teuku Ali Basyah (Ulee Balang Langsa) harus turun tangan dan memberi gambaran kepada warga untuk melepaskan dan membiarkan Jepang ke Medan. 

Berakhirnya kependudukan Jepang di Langsa menandai bahwa era penjajahan telah hilang dan menuju ke era kemerdekaan dan penuh dengan kedaulatan sebagai pemilik negeri. Tidak hanya itu, wajah-wajah masyarakat nampak gembira serta kesenangan menikmati indahnya kehidupan tanpa aroma penjajahan. Namun, hal ini tidak berlaku lama, peristiwa Kemerdekaan Republik Indonesia bukanlah batas akhir dari perjuangan serta perlawanan bangsa Indonesia, bahkan setelah peristiwa kemerdekaan Republik Indonesia masih ada tantangan dan hambatan yang terjadi di seluruh Indonesia tanpa terkecuali Aceh. Kembalinya sekutu yang diboncengi NICA (Nederlandsch Indische Civiele Administratie), serdadu Jepang yang awalnya telah minggat dari tanah rencong. Pada tanggal 24 Desember 1945 sirine meraung-raung yang menandakan bahwa kota Langsa dalam keadaan bahaya dan akan diserang kembali oleh tentara Jepang yang datang dari arah Medan atau Kuala Simpang (buku: Menelusuri jejak Sejarah Langsa, edisi Revisi). Jepang kembali dengan desakan sekutu, tanpa mempunyai pilihan serdadu Jepang kembali ke Langsa tepatnya berada di Kuala Simpang, mereka mengadakan penyerbuan disertai dengan jumlah personil yang lebih besar dengan persenjataan yang lebih lengkap yang terdiri dari 126 kendaraan tempur diantaranya tank tempur, truk angkutan bala tentara, sedan, dan lain-lain, dengan tujuan utamanya untuk menduduki kembali Kuala Simpang dan Kota Langsa, selain itu mereka juga berkeinginan untuk mengambil kembali senjata mereka yang telah dilucuti oleh masyarakat pada detik-detik berakhirnya kependudukan Jepang.

Pada tanggal 24 Desember 1945 terjadilah pertempuran sengit di Kampung Durian dan Kampung Meutuah, sehingga Jepang berhasil menduduki Kuala Simpang. Berselang satu hari tepatnya pada tanggal 25 Desember 1945 Jepang menyusul kota Langsa, pertempuran sengit kembali terjadi di kampung Upak dan bukit Meutuah. Pertempuran ini dipimpin oleh pimpinan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Langsa Mayor Bachtiar Dahlan dan letnan Abusamah, mereka beserta rombongan harus menghadapi Jepang dengan perlengkapan perang yang cukup lengkap. Namun dipihak TKR Langsa berjuangan dalam pertempuran dengan senjata yang sangat minim diantaranya senjata yang dilucuti dari Jepang, dengan jumlah senjata yang tidak memadai untuk seluruh TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang ikut berperang dalam melawan kembali penjajahan Jepang, semangat dan keberanian yang menggelora kaum pribumi menggunakan senjata sederhana sebagaimana yang telah di pelopori oleh Kyai Subchi yaitu dengan menggunakan bambu runcing. 

 Pasukan TKR dan rakyat mengalami kekalahan dengan jatuh 13 korban tewas dalam pertempuran ini, mayor Bachtiar Dahlan juga terkena tembakan Jepang dibahagian dadanya. Ke-13 korban tersebut adalah Mahadi Nasution, Basuki Badar, Muhammad bin Tgk Lan, Amir, Muhammad Zen, Usman, Gam Manyak, Ahmad Latif, Abdul Rani Budiman, Daud Husin, Abidin Husin, Ali Zaini, dan Idris Ibrahim. Para Syuhada yang gugur ini dikebumikan di pemakaman Kutupah. Namun dengan didasari semangat juang rakyat yang membara, sepanjang jalan Jepang terus mendapatkan perlawanan dari rakyat. Dalam pertempuran kampung Upah, pihak TKR dan rakyat Langsa menyusul rombongan yang kedua yang pimpin oleh Kapten Nurdin dan Sersan Abdurrahman (Jabatan terakhir Corp Pilisi Militer Langsa) diikuti juga Yusuf, Amri Tjut, Amir Luthan, dan lain-lain. Namun, mereka dapat kembali dengan selamat ke Langsa, meskipun truk yang ditumpangi mereka dirampas oleh tentara Jepang. 

Dalam perjalanan menuju Langsa serdadu Jepang kembali dihadang oleh perlawanan rakyat di Tualang Cut, pasukan serdadu Jepang terus melanjutkan perjalanannya ke Langsa, tetapi di Alue Merbau pasukan tentara Jepang kembali mendapat penghadangan dan perlawanan rakyat Alue Merbau yang dipimpin oleh Peutua Husin (Pimpinan Persatuan Supir Indonesia) dan kawan-kawannya. Dalam pertempuan ini kembali kembali memakan korban yaitu Peutua Husin dan Sadam, keduanya dimakamkan jalan menuju naik ke kebun PPN (Perusahaan Perkebunan Negara) di Alur Merbau dalam perkembunan karet diatas bukit. Kekejaman Jepang memang tidak diragukan lagi, dalam melanjutkan perjalanannya menuju Langsa banyak masyarakat yang tidak melakukan perlawanan pun dibunuh secara sangat kejam diluar batas perikemanusiaan baik perempuan maupun laki-laki. Pembunuhan itu dilukiskan dalam catatan Amit Luthan bahwa setelah ditembak mati, lalu diseluruh kujur badannya ditusuk-tusuk dengan menggunakan bayonet (buku: menulusuri Jejak kota Langsa, edisi revisi).

Dalam buku yang berjudul Menelusuri Jejak Kota Langsa dilukiskan oleh catatan seorang Anggota Persatuan Supir Indonesia yaitu Amir Luthan, banyaknya makam para pahlawan diberbagai kampung yang menandakan bahwa Jepang telah berhasil menjelajahi dan menyerbu kembali masyarakat kota Langsa, diantaranya: makam di Batu Putih sebelah rel kereta api (sekarang depan SMAN 2 Langsa terdapat 3 makam pahlawan, makam di Paya Bili II terdapat 2 makam pahlawan, makam dekat Titi Kembar (Langsa Lama) terdapat 3 makam pahlawan, makam pahlawan yang berlokasi di tanah kebunmilik Engku Malik terdapat 5 makam, kampung Daulat Langsa, makam di masjid Kampong Teungoh, makam pahlawan di Kampung Jawa, makam di kampung Blang Paseh Langsa. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Langsa memiliki keberanian, pengorbanan, serta anti penjajah dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan RI di Kota Langsa. Namun perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan didapatkan secara paripurna dan berdaulat untuk selamanya setelah Indonesia diakui kemerdekaannya baik secara de jure maupun secara de fakto oleh Negara-negara yang ada didunia.

Kesimpulan

Kemerdekaan RI di Kota Langsa dimanifestasikan dalam wujud pengibaran sang saka Merah Putih di Lapangan Bambu Runcing tepatnya pada tanggal 02 Oktober 1945. Bentuk perjuangan TKR dan Rakyat Langsa tidak terlepas dari peranan senjata tradisional Bambu runcing, jika hanya dengan menggunakan senjata yang dilucuti dari Jepang, sungguh tidak memadai untuk seluruh rakyat dan TKR langsa. Perjuangan masyarakat dalam mempertahankan Kemerdekaan di Kota Langsa digambarkan dalam bentuk salah satu ikon kota Langsa yaitu Tugu Bambu Runcing, Tugu Bambu Runcing yang diujungkan dicat dengan warna Merah Putih yang melambang kan bendera Indonesia berapa pada pucuk perjuangan bamboo runcing. Tugu Bambu Runcing memaknai semangat dan pengorbanan masyarakat Langsa dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Kota Langsa.Taman bambu runcing terletak dijantung kota Langsa tepatnya di jalan Jendral Ahmad Yani, Langsa Kota, kota Langsa. Yang menjadi salah satu ikon kota Langsa yang bersifat sejarah.

Referensi:

Darban, Ahmad Adaby. 1988. Sejarah Bambu Runcing. Yogyakarta: Laporan Penelitian UGM.

https://kbbi.web.id/merdeka di akses pada tanggal 02 Agustus 2022.

Rahman, Aulia., Mufti Riyani, dan Hanafiah. 2020. "Cagar Budaya dan Memori Kolektif: Membangun Kesadaran Sejarah Masyarakat Lokal Berbasis Peninggalan Cagar Budaya di Aceh Bagian Timur". Mozaik Humaniora. Volume 20, Nomor 01, Juni 2020. 

Rudy. 2013. "Kedudukan Dan Arti Penting Pembukaan UUD 1945". Jurnal Fiat Justisia Ilmu Hukum. Vol. 7, Nomor 2. Agustus 2013.

Sekretariat daerah Pemerintahan Kota Langsa. 2017. Menelusuri Jejak Sejarah Kota Langsa. Pemerintah Kota Langsa.

Sufi, Rusdi., dan Agus Budi Wibowo. 2007. Perlawanan-perlawanan Rakyat aceh Terhadap Pendudukan Jepang. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Sufi, Rusdy. 2008. Sejarah Kabupaten Aceh Timur Dari Masa KOlonial Hingga Kemerdekaan. NAD: Badan Arsip dan Perpustakaan

Syamsuddin, Helius. 2012. Metedologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Z. Thamrin, H.M., dan Edy Mulyana. 2007. Perang Kemerdekaan Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun