Mohon tunggu...
Rizki Vonna
Rizki Vonna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Unsam

Pendidikan Sejarah Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Samudra

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Aceh: Modal Kemerdekaan RI

19 Mei 2021   10:19 Diperbarui: 19 Mei 2021   10:26 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aceh dahulu dikenal dengan Negara yang memiliki kedaulatan tersendiri, Aceh pernah menjadi sebuah Kesultanan yang sangat berpengaruh didunia, bahkan menjadi salah satu dari lima kerajaan terbesar dunia. Kejayaan kerajaan Aceh terjadi pada masa Sultan Iskandar Muda, yang berkuasa pada tahun 1606-1636.

Keadaan Aceh yang sangat mendukung, berada pada letak yang sangat strategis, yaitu diujung pulau Sumatra yang menghubungkan jalur perdagangan Internasional pada masa itu. Ramainya aktivitas pada masa itu, sangat mempengaruhi perkembangan kesultanan Kerajaan Aceh baik dari aspek social, ekonomi, politik, dan budaya. 

Tidak hanya ini, perdagangan rempah-rempah yang menjadi suatu kebutuhan khusus, Aceh menjadi peran yang sangat dibutuhkan oleh kebanyakan masyarakat Eropa, sehingga mendorong mereka mencari tempat asal usul rempah-rempah. Hal ini sangat mendorong bangsa Barat terutama Belanda untuk menjelajahi Samudra khususnya Aceh. Kekayaan alam yang berlimpah, kekuasaan yang begitu meningkat, menggiur bangsa Belanda untuk terus hadir, terus mencari celah agar mampu menjadikan Aceh sebagai taklukannya.

Kekayaan alam yang berlimpah, cengkeh, lada, bahkan dijuluki sebagai pusat produksi lada terbesar di Asia. Tidak hanya itu, gas alam, minyak bumi, serta barang tambang yang hampir merata diseluruh pelosok negeri. Itupun menjadi daya tarik mereka ingin menduduki negeri yang dijuluki dengan serambi Mekkah.

Belanda mulai membina hubungan baik dengan aceh agar masyarakat Aceh mau menerima Belanda di Aceh, sehingga hubungan ini terus dijaga sampai Belanda mendapat Kedaulatan Kemerdekaan dari Aceh. Namun, seiring berjalannya waktu sifat ketamakan Belanda Nampak, Belanda ingin menjadi tonggak pemimpin di negeri Serambi Makkah ini.

Peperangan sengit terus berlangsung antara Aceh dan Belanda mulai dari tahun 1873 sampai tahun 1904, namun perang Gerilya terus berlanjut sampai Jepang kalah pada sekutu. Akan tetapi, Aceh tidak mampu dikalahkan, bahkan sampai perang kemerdekaan berlangsung pada tahun 1945-1949. Dengan demikian, Aceh mendapat julukan sebagai daerah Modal.

Kita sering mendengar dengan julukan Aceh sebagai Daerah Modal, apakah sebutan ini hanya mengarah kepada apa yang Aceh sumbangkan kepada Indonesia? atau hanya mengarah kepada perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Aceh. Kurangnya informasi yang diperoleh bahkan kisah ini sangat minim tercantum dalam pembelajaran sekolah.

Perihal sejarah, bukankah presiden pertama kita bapak Ir. Soekarno pernah mengatakan "jangan sekali-kali melupakan Sejarah" atau sering di sebut dengan sebutan JasMeRah. Dari kata ini sangat penting bagi kita untuk tetap menjaga dan melestarikan sejarah, walaupun sejarah kecil dari perjuangan suatu daerah.

Aceh Dalam Perang Kemerdekaan 1945-1949

Kebanggaan masyarakat Aceh terhadap kegemilangan sejarah perjuangan masa lalu dalam menghadapi peperangan dengan bangsa Belanda, tahap demi tahap, walau banyak rintangan dan perjuangan diseluruh pelosok negeri bahkan di hutan belantara. Sultan pun menyerah, namun perjuangan bangsa Aceh tetap berjalan dalam mempertahankan bangsa Aceh. Tak cukup melakukan perang secara resmi bangsa Aceh juga melakukan perang Gerilya di seluruh daerah yang dipimpin oleh masing-masing tokoh daerah.

Kegemilangan terhadap hasil perjuangan menjadikan motivasi dan semangat dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Alhasil, rakyat Aceh menjadi togak perjuangan yang tidak dapat dikalahkan, satu-satunya daerah yang tidak berhasil dimasuki kembali oleh Belanda pada masa Perang setelah Kemerdekaan di tahun 1945-1949. Hal ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi rakyat Aceh, namun hal ini bukanlah didapatkan dengan tangan kosong melainkan penuh perjuangan dan perlawanan.

Pengalaman pahit Belanda dalam perang Aceh menyebabkan Belanda memperhitungkan dengan seksama untuk tidak kembali menduduki daerah Aceh. Sifat Keacehan yang dikenal dengan sebutan Aceh gila (Aceh Pungoe), tidak pernah berhenti sebelum tujuan berhasil diraih, pertahanan dan perjuangan kian berputar dari satu daerah ke daerah berikutnya. Aceh memiliki pandangan sesuai yang tersirat dalam makna hikayat perang sabil, perang suci yang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang di lakukan.

            Aceh berpengaruh besar dalam revolusi medan area. Partisipasi rakyat Aceh dalam perempuran di Sumatra Timur juga telah dibuktikan,

banyaknya tentara-tentara dan lascar rakyat dari Aceh yang dikirimkan ke Sumatra Timur melawan Belanda di front Medan Area (M. Ibrahim, 1991: 216). Tidak hanya itu, Aceh menyumbangkan berbagai macam keperluan untuk menegakan perjuangan kemerdekaan RI, seperti makanan, ekonomi, pakaian, serta hal-hal lain yang mendukung perjuangan.

            Hal lain yang mendukung Aceh dijuluki dengan daerah modal. Aceh memiliki alat komunikasi yang dapat menyiarkan serta mengetahui hal apa yang dibutuhkan dalam perlawanan. Sejak awal masa perang kemerdekaan tahun 1946, Aceh telah memiliki alat penyiar Radio yaitu radio Kutaraja, memiliki peran penting pada saat agresi militer Belanda I, bahkan pada saat para lascar-laskar yang sedang berjuang di Medan Area.

Namun terlepas dari radio kutaraja, pada tahun 1947 Aceh telah mendirikan sebuah pemancar lagi yang didirikan di Aceh Tengah, Takengon, yang dinamai dengan Radio Rimba Raya. Hari demi hari Kekuatan Radio Rimba Raya semakin kuat. Ketika radio Batavia (Jakarta) dan radio Hilversum di negeri Belanda memberitakan bahwa Indonesia tidak ada lagi, karena Yogyakarta telah berhasil direbut oleh Belanda, maka dengan tegas Radio Rimba Raya membantah semua berita yang dapat merugikan RI di mata Internasinal (Rusdi sufi, 1999:71). Disinilah peran yang sangat mendalam tersiarlah suara dari radio Rimba Raya bahwa Republik Indonesia masih ada, tentara RI masih ada, Pemerintah RI masih ada, serta wilayah RI masih ada.

Tepat pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melakukan agresi Belanda I di Aceh, dengan melakukan serangan udara terhadap lapangan terbang Lhok Nga. Dalam menghadapi agresi Belanda I masyarakat Aceh sama-sama memperkuat kekuatan dan kepercayaan agar tidak bisa di adu domba, bahkan di pecah belah oleh strategi Belanda.

Kemudian Belanda mencoba menguasai Aceh melalui Sumatra Timur, namun Aceh pun dapat mempertahankan bahkan tentara dan lascar Aceh di kerahkan. Serangan-serangan yang dilakukan Belanda dapat dipatahkan. 

Pada masa Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh menjabat sebagai Gubernur Militer, beliau berkuasa atas Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, terjadilah agresi Militer II tepatnya pada tanggal 19 Desember 1948, hari pertama agresi militer II, sebagian besar wilayah Indonesia di duduki oleh Belanda, keresidenan Yogyakarta di ambil alih, Presiden Soekarno dan Moh Hatta, beserta beberapa mentri dan tokoh pahlawan lainnya di tawan.  

Pemerintah memberi intruksi kepada Mr. Syariffudin Perwiranegara agar membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Adapun pembentukan pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra adalah berdasarkan Intruksi Presiden RI, 19 Desember 1948 yang ditandatangani pada tahun 1949 oleh Presiden Soekarno dan Mohd. Hatta, pada saat agresi militer II, yang member mandate kepada MR. Syariffudin untuk membentuk PDRI di Sumatra yang berkedudukan di Bukit Tinggi (M. Ibrahim, 1991: 217). Kemudian di Pindah ke Kutaraja (sekarang Banda aceh ) setelah Tebing Tinggi diambil alih oleh Belanda. Guna melancarkan roda pemerintahan.

Ketika Soekarno Berada di Aceh

Kesetiaan rakyat Aceh terhadap Negara Republik Indonesia terus berlanjut sampai di bacakan teks proklamasi oleh bapak Soekarno-Hatta. Setelah Indonesia di proklamasikan, Negara sekutu, Belanda, tidak dapat menerima peristiwa tersebut, sehingga datangnya sekutu yang diboncengi NICA, dan mulailah agresi Belanda I dan II.

Belanda kembali melakukan agresinya di daerah bekas jajahannya. Setelah tiga tahun Indonesia Merdeka,  tepatnya pada bulan Juni 1948 di hotel Atjeh, Banda Aceh. Setelah melakukan rapat akbar di halaman Masjid Baiturrahman, Banda Aceh. Terjadilah dialog serius antara Presiden Soekarno dengan sejumlah tokoh masyarakat Aceh.

Dalam pertemuan dengan sejumlah anggota Gabungan Saudagar Indonesia bagian Aceh (GASIDA), Bung Karno menjelaskan berbagai persoalan yang dihadapi Indonesia saat Itu. Dalam pembicaraan itu, Bung Karno menyinggung tentang upaya-upaya konsolidasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Konon, pada saat itulah muncul ungkapan Bung Karno yang mengisyaratkan perlunya Indonesia memiliki pesawat yang dapat membuka jaringan hubungan antara Jawa dan Sumatra yang masih berada dalam kungkungan colonial Belanda (Satya D, 2006: 34). Tercatat dalam buku Aceh Merdeka dalam perdebatan (1999:7), Presiden Soekarno sendiri memberikan julukan kepada Bangsa Aceh, "Berkat dominannya perjuangan rakyat Aceh itu pada tahun 1948, yaitu dalam pertemuan dengan rakyat Aceh, Presiden Soekarno menyebutkan Aceh sebagai Daerah Modal Republik Indonesia".

Ungkapan tersebut disambut dengan penuh rasa simpati oleh masyarakat dan para GASIDA. Maka dalam dua hari digalangkanlah upaya pengumpulan dana tersebut. Alhasil,  terkumpullah sebanyak 24 dolar dan 20 kg emas. Dana tersebut diserahkan langsung oleh ketua Gabungan Saudagar Indonesia bagian Aceh, Muhammad Juned Yusuf kepada Presiden pertama RI, Ir. Soekarno.

Tidak hanya menyumbang uang dan emas, masyarakat Aceh juga menyumbang kepada pemerintah Republik Indonesia berupa senjata, makanan, serta hal-hal lain yang mendukung perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatra Timur.

Beberapa bulan kemudian, atas sumbangan masyarakat Aceh tersebut dibelilah dua buah pesawat Dakota yang bernama Seulawah dengan nomor seri RI-001 dan RI-002. Seulawah Dakota RI-001 menjadi pesawat pertama yang dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang berfungsi untuk menjembatani pulau Sumatra dan Jawa, selain itu untuk menerobos blockade Belanda menerbangkan tokoh-tokoh politik Indonesia.

Seulawah RI-002 dihadiahkan kepada pemerintahan Birma, sebagai tanda terima kasih atas semua fasilitasbyang diberikan perwakilan Garuda beroperasi di Birma. Menurut A. Hasjmy, bahwa penyelewengan terhadap pembelian pesawat yang kedua, beliau mengatakan bahwa penyelewengan ini dilakukan di Singapura, tetapi pelakunya belum di ketahui.

Dengan pesawat inilah pada tahun 1949, wakil presiden Muhammad hatta berkunjung ke Aceh. Pada saat ini, aceh kembali menyumbang sejumlah emas batangan, uang, dan perabotan kantor kepada pemerintahan pusat yang sedang mengalami krisis keuangan.

Kesimpulan

Aceh merupakan salah satu wilayah yang setia kepada NKRI. Masyarakat Aceh merupakan masyarakat yang sangat berperan dalam perjuangan terhadap pertahanan kemerdekaan Republik Indonesia. Sifat keberanian yang terdapat dalam jiwa raga orang-orang Aceh sangatlah panas sehingga Aceh disebut dengan Aceh Pungoe (Aceh Gila), sifat kegigihan, keberanian, serta sifat tidak takut mati. Mereka dimotivasi dengan makna hikayat prang Sabil, artinya perang melawan kafir. Dalam hikayat perang sabil tersirat makna bahwa siapa saja yang gugur dalam perang tersebut akan mendapatkan pahala syahid.

Partisipasi masyarakat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan RI dapat dibuktikan dengan berbagai macam hal, seperti mengerahkan tentara-tentara serta lascar-laskar ke medan Area, menyumbangkan harta, senjata, pangan, sandang, serta hal lain yang mendukung dalam peperangan. Aceh merupakan satu-satunya modal NKRI yang dapat mewakili seluruh wilayah Indonesia di Den Haag dalam konferensi Meja Bundar, karena satu-satunya wilayah yang tidak diduduki oleh Belanda. Aceh dijuluki dengan daerah modal bukan hanya kekuatan-kekuatan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan, namun partisipasi rakyat Aceh Aceh juga sama besarnya, terlepas dari itu di Aceh juga terdapat alat komunikasi yang dapat mempermudah hubungan antar pemerintahan dalam perjuangan kemerdekaan.

Refferensi:

Ibrahim M, dkk. 1991. Sejarah Daerah Propinsi Daerah istimewa Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dharma, Satya. M. Arief Rahman. 2006. Aceh Lon: Damai Aceh, Merdeka Abdi. Jakarta: SATKER SEMENTARA BRR.

Nurdin Abdul G, dkk. 1999. Aceh Merdeka Dalam Perdebatan. Jakarta: Cita Putra Bangsa.

Sufi Rusdi. 1999. Perkembangan Media Komunikasi Di Daerah Radio Rimba Raya di Aceh. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun