Mohon tunggu...
Rizki Saputra
Rizki Saputra Mohon Tunggu... Guru - Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam

Rizki Saputra: Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab yang menyukai kisah-kisah serta buku-buku klasik yang bersumber dari negeri Timur.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Kesempatan yang Hilang

28 Maret 2020   21:02 Diperbarui: 28 Maret 2020   21:09 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kesempatan_yang_hilang - ILUSTRASI PRIBADI

Menghindar dari Perasaan

            Masa kanak-kanan dengan segala kesenangannya adalah masa telah berlalu, dan tentu semua orang sangat menyesalkan berlalunya masa tersebut. Karna hanya di masa itu orang-orang bebas tertawa tanpa beban setelahnya, tanpa tanggungjawab yang dipikulnya, dan tanpa harapan yang membuatnya hilang arah dan tujuan. Masa kanak-kanak bagi Gibran (nama samaran karena penikmat karya Khalil Gibran) adalah masa keemasan yang bebas dari rasa duka dan kekecewaan.

            Namun waktu tak kenal masa-masa itu, ia terus berputar meninggalkan semua itu seolah-olah tak terjadi apa-apa di sana. Baru menginjak usia dewasa, Gibran merasa dunia ini dengan segala permasalahan dan beban menimpa dirinya. Bagaimana tidak... Di detik-detik terakhir perkuliahannya, ia malah melakukan tindakan yang sangat merugikan bagi dirinya serta akan membuat sedih keluarga dam teman-temannya. Sebagai salah satu mahasiswa dengan nilai yang selalu tinggi (cumlaude), dia harus gagal dalam mata kuliah Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) karena kehadirannya sangat tidak mencukupi. Ditambah lagi, ia gagal mendaftar Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM). Teman-temannya merasa sangat sedih setelah mengetahui dua hal tersebut, namun ia tetap tegar seolah-olah itu bukan masalah besar baginya.

            Semakin hari gairah hidup Gibran semakin berkurang, ia sering menghabiskan waktu dengan membolak-balikkan halaman buku ditemani secangkir kopi dan rokok. Rutinitas kesehariannya berlalu tak tentu arah, ia tidak pernah lagi melihat jadwal kegiatannya. Gibran hanya ingat bahwa dia harus mengajar di waktu pagi, sore, dan malam hari. Adapun selebihnya, seolah-olah terhapus permanent dari ingatannya.

            Hari-harinya berlalu dengan hati yang gelisah, ia takut kedua orang tuanya akan sangat sedih ketika mengetahui dua kegagalan yang menimpa putra semata wayang mereka. Ia merasa sangat kebingungan memikirkan bagaimana ia menjelaskan kegagalan tersebut kepada orang tuanya. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak memberitahu mereka tentang kegagalannya, ia menunggu waktu yang tepat untuk memberitahukan hal tersebut kepada mereka.

            Di tengah-tengah kegelisahan tersebut, Gibran berfikir bahwa, bukankah semua kegagalan dan permasalahan ini bagaikan tanaman mawar berduri yang harus disiram dan dirawat agar nantinya bisa merekah menghiasi dan mengharumi taman dengan keindahan dan keharumannya? Bukankah semua orang mengatakan demikian? Setelah merenungi analogi tersebut, hatinya mulai tenang dan ia kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Hari-harinya kembali berlalu seperti biasanya, ia mengajar dengan tenang seperti biasanya. Di waktu luang, ia kembali bisa berbincang bersama teman-temannya tanpa terganggu dengan beban dan masalah yang sedang dipikulnya.

            Setiap kali ia bosan dengan rutinitas sehari-harinya yang monoton, ia beranjak ke kamar dan membaca beberapa buku sastra untuk menghilangkan kebosanannya. Ia membaca buku al-Mu'allaqat as-Sab'a yang memuat sya'ir-sya'ir fenomenal dari sastrawan Arab klasik. Halaman demi halaman ia baca dengan teliti dan penuh penghayatan hingga bacaannya mulai memasuki sya'ir-sya'ir Umrul Qais (lebih dikenal dengan Majnun dalam kisah Layla dan Majnun). Baru beberapa bait (baris) ia membaca sya'ir Umrul Qais, ia langsung teringat dengan akhir kisah penyair tersebut, seorang pujangga yang telah menuturkan sya'ir-sya'ir cinta dengan segala keindahannya, namun hidupnya harus berakhir dengan tangisan untuk kekasih yang tak kunjung ia miliki di dunia ini.

            Hatinya sangat terenyuh memikirkan penyair tersebut. Bagaimana tidak, seluruh kehidupan pujangga tersebut sudah dikorbankan untuk satu perempuan yang sangat dicintainya, namun sang takdir tetap tak merestui hubungan keduanya hingga ajal menjemput.

            Hatinya kembali seperti dulu, ia menganggap masa dewasa adalah masa yang penuh dengan berbagai macam masalah dan penuh dengan duka bisu yang jatuh ke dalam hati dan tak dapat mencari jalan keluar, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan sekalipun tak dapat menyelesaikan dan menghilangkan masalah serta duka bisu tersebut. Sepanjang hari, logikanya mencoba untuk melawan hatinya, logikanya berusaha untuk meyakinkan hatinya bahwa hidup akan berjalan sebagaimana mestinya.

            Walaupun logika sudah mencoba untuk melawan kata hatinya, namun hati tetap pada pendiriannya. Setiap kali Gibran memejamkan matanya, yang terlihat hanyalah permasalahan dan beban yang sedang dipikulnya, kegelisahan hati benar-benar sudah mengalahkan logikanya. "Bukankah salah satu penulis buku kesukaanku Khalil Gibran harus tutup usia dengan penuh penderitaan karna perempuan yang ia cintai tak bisa dimiliki. Betapa malangnya perempuan tersebut, ia harus meninggal sebagai seorang istri yang penuh dengan derita disebabkan ulah suami yang diberikan takdir kepadanya", tutur Gibran dalam hati.

            Kisah kehidupan dan percintaan Khalil Gibran tidak jauh berbeda dengan Umrul Qais, kehidupan yang mereka jalani dengan penuh air mata penderitaan, karena takdir tidak mau memberikan sedikit kebahagiaan kepada mereka.

            Ia berfikir bahwa pohon mawar yang ia rawat dan ia siram hanya akan menyakitinya dengan duri dan tak kunjung merekah untuk menghiasi dan mengharumi taman, seperti halnya pohon mawar yang dirawat oleh Umrul Qais dan Khalil Gibran.

            Hari-hari Gibran terus berlalu dengan perasaan gundah gulana yang menyelimuti hatinya, ia melihat rembulan namun tak melihat cahayanya, ia memandang bintang namun tak bisa merasakan keindahannya, ia membaca buku namun tak berbekas di pikirannya. Mungkin keadaanya yang seperti itu akan terus berlanjut sampai usia senja menghampiri, tak ada kejadian yang bisa mengubah hatinya dan tak ada pengetahuan yang bisa menghidupkan hatinya.

            Dalam keadaan gundah gulana, smartphone miliknya bergetar, pertanda beberapa pesan tertuju padanya. Ia membuka smartphone nya dan membaca pesan tersebut satu persatu serta merespon ringan semua pesan tersebut, pesan-pesan tersebut ternyata dari kawan laki-laki nya yang sedang dalam Kuliah Pengabdian Masyarakat. Sesaat setelah merespon pesan-pesan tersebut, ia melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan jam sebelas malam. Ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur karna sangat lelah dengan perasaan bingung dan gelisah yang menyelimuti hatinya. Tapi matanya seolah-olah tak mengenal kata lelah, ia tak mau terpejam walaupun untuk sesaat.

            Gibran memutuskan untuk membaca beberapa e-book dengan beberapa batang rokok yang senantiasa menemani malamnya, halaman demi halaman terus berlalu seiring dengan putaran jarum jam. Keindahan sya'ir yang dibacanya telah mencengkram hati dan perasaannya, hingga ia lupa kalau malam sudah sangat larut. Keindahan sya'ir yang terus mencengkram hati dan perasaannya tiba-tiba terlepas begitu saja, sepertinya kelelahan sudah menghampiri matanya. Keindahan sya'ir yang sangat menyilaukan tak lagi mampu ditatapnya.

            Gibran menandai halaman terakhir yang telah dibaca kemudian menutup e-book tersebut, namun ia tidak beranjak dari meja kerja tersebut karna sebatang rokok yang tertancap di tangan kirinya masih menyala untuk menemani malamnya. Sambil menghabiskan sisa rokok yang ada di tangannya, sesekali ia menoleh ke arah jam yang memberitahukan bahwa malam sudah sangat larut.

            Suasana hening tersebut membuat hatinya kembali diselimuti perasaan gundah karna mengingat beban dan masalah yang sedang dihadapinya serta duka bisu yang sedang menimpanya. Tiba-tiba smartphone nya bergetar lagi, mungkin pesan tersebut dari salah satu kawannya yang sedang mengikuti Kuliah Pengabdia Masyarakat. Gibran bertanya dalam hati, "kenapa mereka belum tidur? Bukankah aktivitas mereka besok akan sangat padat?" Ia berfikir untuk menyuruh temannya itu tidur, karena besok temannya harus berhadapan dengan aktivitas yang akan sangat melelahkan.

            Sesaat setelah ia membaca pesan tersebut, ia terdiam bagaikan laut tenang yang menyimpan banyak palung. Ternyata pesan tersebut dari Selma (nama samaran diambil dari novel Sayap-sayap Patah) seorang mahasiswi yang sejurusan dan seangkatan dengannya. Gibran melayangkan pandangannya ke jam dinding yang terus berputar dan kembali melirik pesan yang hanya terdiri dari empat kata tersebut, "malam sudah sangat larut". Selama beberapa menit ia memandang pesan tersebut dengan penuh rasa ingin tahu, mencoba menyingkap rahasia tersirat dibalik pesan tersebut. Ekspresi wajahnya memperlihatkan bahwa dia sangat penasaran akan maksud pesan tersebut, karna tidak biasanya Selma mengirimkan pesan seperti itu kepadanya. Percakapan yang terjadi diantara mereka sebelumnya selalu dibuka dan ditutup dengan candaan.

            Karena ini bukan kali pertama ia menerima pesan dari Selma, ia mencoba untuk merespon pesan tersebut dengan sedikit candaan. "Saya hanya mengajar di waktu pagi, sore dan awal malam, tidak mengapa jika malamnya kurang istirahat. Yang harus banyak istirahat itu kalian (yang sedang KPM), karna aktivitas besok akan sangat melelahkan", balas Gibran.

Selma hanya menanggapi dengan singkat, "prof memang tak pernah salah. Baiklah, good night". Karena malam sudah larut, Gibran juga hanya membalas singkat "dan (prof) tak akan pernah salah".

            Selma selalu memanggil Gibran dengan panggilan prof ketika berbincang lewat pesan teks, dan sesekali panggilan tersebut terbawa ke dunia nyata. Karena tidak nyaman dengan panggilan tersebut, sesekali Gibran memanggil Selma dengan Bu (guru) Selma atau Kakak Selma walaupun usia mereka sama. Hanya Selma yang tahu kenapa ia memanggilnya dengan prof, panggilan Bu Selma atau kakak Selma jelas hanya untuk memancing kejengkelan Selma.

            Keesokan harinya, Gibran kembali menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Pagi hari ia mengajar dan sekitar jam sebelas ia tidur untuk istirahat, karena ia selalu kurang tidur di malam hari. Jam setengah satu ia bangun dan mengerjakan beberapa pekerjaan, kemudian dilanjutkan dengan membaca beberapa buku untuk menghabiskan waktu siangnya. Beberapa menit sebelum jam satu smartphone nya bergetar, dengan segera ia meletakkan buku bacaannya di meja karena ia sama sekali belum melihat smartphone nya hari ini. Beberapa pesan sudah menunggu untuk dibuka, ia membaca semua pesan tersebut satu persatu. Beberapa pesan dari teman-teman yang sejurusan dengannya berisi pertanyaan-pertanyaan seputar materi perkuliahan, dan beberapa pesan lainnya hanya berisi forward berita yang sedang hangat di media sosial, yaitu Covid19.

            Sekitar sepuluh menit setelah merespon beberapa pesan tersebut, satu pesan baru membuat smartphone nya kembali bergetar. Ternyata pesan dari Selma, ia membuka dan membaca pesan tersebut. Selma merespon pesan Gibran semalam, yaitu "dan tak akan pernah salah". Tapi kali ini, pesan Selma lebih tidak biasa dari pesan yang dikirimkan malam tadi "Makin cinta..." tulis Selma.

            Pesan tersebut lebih ringkas namun menyimpan banyak pertanyaan, jantung Gibran berdenyut kencang tidak karuan. Ia berusaha keras untuk mengetahui maksud pesan tersebut, matanya melirik ke beberapa buku sastra di atas meja sambil bergumam, "bisakah pesan Selma tersebut dianalisa seperti sya'ir-sya'ir yang menyimpan banyak keindahan setelah dianalisa?". Batinnya beranjak menimpali "Bukankah Layla mampu mendengar Sya'ir Majnun dan Layla juga bisa merasakan penderitaannya dari tempat yang sangat jauh? Ini bukan ranah pengetahuan, ini soal rasa".

            Jarum jam masih berputar namun sangat lambat, apakah jarum jam yang sedang bermasalah atau karena detak jantungnya yang terlalu cepat? Ataukah karena dia sedang terbenam jauh ke dalam pikiran dan renungan untuk memahami makna cinta yang sesungguhnya? Pesan singkat dari Selma bagaikan hembusan angin yang membawa jiwanya ke taman bunga yang sangat indah untuk mengajarinya makna cinta yang tidak pernah ia pahami sebelumnya. Perasaan aneh itu sudah mengganti kegelisahan menjadi kegembiraan, perasaan itu juga sudah memenuhi keheningan malamnya dengan lantunan musik syahdu yang tidak jelas dari mana datangnya. "Apakah perasaan ini yang sudah membuat Umrul Qais tergila-gila (Majnun) ketika mendengar nama Layla?", hatinya bertanya-tanya penuh keheranan. Sepertinya perasaan itu sudah membuat Gibran merasa tenang dan nyaman yang tidak bisa diterjemahkan dengan tutur bahasa atau diuraikan dengan rangkain kata.

            Di tengah perasaan yang mulai larut dalam angan-angan keindahan, ia kembali teringat dengan dua pecinta yang menjadi sastrawan kesukaannya, Umrul Qais (majnun) dan Khalil Gibran. "Bukankah kedua sastrawan tersebut berusaha menghampiri kebahagian? Bukankah keduanya memahami makna cinta melalui kekasih mereka? Apakah hidupku juga akan berakhir seperti mereka? Penuh dengan penderitaan dan pengorbanan, namun sang takdir tak pernah menhargai penderitaan dan pengorbanan kedua pujangga tersebut", ungkap Gibran dalam hati.

            Sepertinya dia sudah benar-benar terbelenggu dengan kisah pilu kedua pujangga tersebut hingga tak mampu melepaskan belenggu tersebut dengan akal sehatnya bahkan perasaan cinta yang sedang mekar dalam hatinya. Gibran tidak menggunakan momen itu untuk mengungkapkan seluruh isi hatinya, ia lebih memilih menghindar dari pesan itu.

"Sedang galau Bu Selma? Kalau benar sedang galau, coba baca buku ini" balas Gibran sambil merekomendasikan buku Bumi Tere Liye.

Selma mencoba untuk membuat Gibran serius menanggapi pesannya tadi, "Buku itu tidak akan bisa menghilangkan kegalauan dan perasaan ini".

Gibran masih saja menghindar, "Coba ke dokter, mungkin dia bisa membantu menghilangkan kegalauanmu".

"Tidak mau. Apapun sarannya, pokoknya tetap tidak mau. Lagi pula... Ini bukan penyakit, tidak ada urusannya dengan dokter" timpal Selma dengan sedikit geram, mungkin...

Gibran kembali mengirimkan gambar sampul buku al-Adab al-Arabi, sambil memberi keterangan, "Mungkin ini bisa memindahkan kegalauan Bu Selma dari hati ke kepala, he he he..." Gibran mencoba untuk mengalihkan topik obrolan.

"Kamu sangat menjengkelkan Gibran. Tapi... baiklah, saya akan mencoba menghilangkan kegalauan ini dengan membaca buku-buku tadi" dilengkapi dengan stiker yang menggambarkan kekecewaan di akhir pesannya.

            Pesan singkat pertama yang dikirimkan Selma kepadanya hari ini, sedikit demi sedikit mulai menghilang dari layar smartphone nya karena tergeser oleh beberapa pesan baru dari keduanya.

            Beberapa jam sudah berlalu, ia baru menyesali apa yang telah ia lewatkan. Sudah lama ia menaruh hati pada Selma, ia menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan seluruh isi hatinya. 

Namun apa yang telah ia lakukan? Ia menyia-nyiakannya ketika waktu itu tiba. Dengan perasaan sedih dan penuh penyesalan, ia meletakkan smartphone-nya dan merenungi percakapan mereka tadi. Ia bagaikan seekor burung kecil yang sayapnya patah oleh kesalahannya sendiri, ia tak tahu harus berbuat apa, ia hanya mendambakan percakapan mereka terulang kembali dan memperbaiki semuanya. Jarum jam akan terus berputar kedepan dan matahari akan tenggelam untuk membiarkan malam memenuhi semesta, hidupnya akan terus berjalan dan kesempatan yang disia-siakan akan hilang untuk mempersilahkan penyesalan menyelimuti hatinya.

Air mata dan penyesalan tak dapat mengembalikan kesempatan yang telah disia-siakan


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun