Mohon tunggu...
Rizki Saputra
Rizki Saputra Mohon Tunggu... Guru - Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam

Rizki Saputra: Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab yang menyukai kisah-kisah serta buku-buku klasik yang bersumber dari negeri Timur.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Kesempatan yang Hilang

28 Maret 2020   21:02 Diperbarui: 28 Maret 2020   21:09 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kesempatan_yang_hilang - ILUSTRASI PRIBADI

            Keesokan harinya, Gibran kembali menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Pagi hari ia mengajar dan sekitar jam sebelas ia tidur untuk istirahat, karena ia selalu kurang tidur di malam hari. Jam setengah satu ia bangun dan mengerjakan beberapa pekerjaan, kemudian dilanjutkan dengan membaca beberapa buku untuk menghabiskan waktu siangnya. Beberapa menit sebelum jam satu smartphone nya bergetar, dengan segera ia meletakkan buku bacaannya di meja karena ia sama sekali belum melihat smartphone nya hari ini. Beberapa pesan sudah menunggu untuk dibuka, ia membaca semua pesan tersebut satu persatu. Beberapa pesan dari teman-teman yang sejurusan dengannya berisi pertanyaan-pertanyaan seputar materi perkuliahan, dan beberapa pesan lainnya hanya berisi forward berita yang sedang hangat di media sosial, yaitu Covid19.

            Sekitar sepuluh menit setelah merespon beberapa pesan tersebut, satu pesan baru membuat smartphone nya kembali bergetar. Ternyata pesan dari Selma, ia membuka dan membaca pesan tersebut. Selma merespon pesan Gibran semalam, yaitu "dan tak akan pernah salah". Tapi kali ini, pesan Selma lebih tidak biasa dari pesan yang dikirimkan malam tadi "Makin cinta..." tulis Selma.

            Pesan tersebut lebih ringkas namun menyimpan banyak pertanyaan, jantung Gibran berdenyut kencang tidak karuan. Ia berusaha keras untuk mengetahui maksud pesan tersebut, matanya melirik ke beberapa buku sastra di atas meja sambil bergumam, "bisakah pesan Selma tersebut dianalisa seperti sya'ir-sya'ir yang menyimpan banyak keindahan setelah dianalisa?". Batinnya beranjak menimpali "Bukankah Layla mampu mendengar Sya'ir Majnun dan Layla juga bisa merasakan penderitaannya dari tempat yang sangat jauh? Ini bukan ranah pengetahuan, ini soal rasa".

            Jarum jam masih berputar namun sangat lambat, apakah jarum jam yang sedang bermasalah atau karena detak jantungnya yang terlalu cepat? Ataukah karena dia sedang terbenam jauh ke dalam pikiran dan renungan untuk memahami makna cinta yang sesungguhnya? Pesan singkat dari Selma bagaikan hembusan angin yang membawa jiwanya ke taman bunga yang sangat indah untuk mengajarinya makna cinta yang tidak pernah ia pahami sebelumnya. Perasaan aneh itu sudah mengganti kegelisahan menjadi kegembiraan, perasaan itu juga sudah memenuhi keheningan malamnya dengan lantunan musik syahdu yang tidak jelas dari mana datangnya. "Apakah perasaan ini yang sudah membuat Umrul Qais tergila-gila (Majnun) ketika mendengar nama Layla?", hatinya bertanya-tanya penuh keheranan. Sepertinya perasaan itu sudah membuat Gibran merasa tenang dan nyaman yang tidak bisa diterjemahkan dengan tutur bahasa atau diuraikan dengan rangkain kata.

            Di tengah perasaan yang mulai larut dalam angan-angan keindahan, ia kembali teringat dengan dua pecinta yang menjadi sastrawan kesukaannya, Umrul Qais (majnun) dan Khalil Gibran. "Bukankah kedua sastrawan tersebut berusaha menghampiri kebahagian? Bukankah keduanya memahami makna cinta melalui kekasih mereka? Apakah hidupku juga akan berakhir seperti mereka? Penuh dengan penderitaan dan pengorbanan, namun sang takdir tak pernah menhargai penderitaan dan pengorbanan kedua pujangga tersebut", ungkap Gibran dalam hati.

            Sepertinya dia sudah benar-benar terbelenggu dengan kisah pilu kedua pujangga tersebut hingga tak mampu melepaskan belenggu tersebut dengan akal sehatnya bahkan perasaan cinta yang sedang mekar dalam hatinya. Gibran tidak menggunakan momen itu untuk mengungkapkan seluruh isi hatinya, ia lebih memilih menghindar dari pesan itu.

"Sedang galau Bu Selma? Kalau benar sedang galau, coba baca buku ini" balas Gibran sambil merekomendasikan buku Bumi Tere Liye.

Selma mencoba untuk membuat Gibran serius menanggapi pesannya tadi, "Buku itu tidak akan bisa menghilangkan kegalauan dan perasaan ini".

Gibran masih saja menghindar, "Coba ke dokter, mungkin dia bisa membantu menghilangkan kegalauanmu".

"Tidak mau. Apapun sarannya, pokoknya tetap tidak mau. Lagi pula... Ini bukan penyakit, tidak ada urusannya dengan dokter" timpal Selma dengan sedikit geram, mungkin...

Gibran kembali mengirimkan gambar sampul buku al-Adab al-Arabi, sambil memberi keterangan, "Mungkin ini bisa memindahkan kegalauan Bu Selma dari hati ke kepala, he he he..." Gibran mencoba untuk mengalihkan topik obrolan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun