Mohon tunggu...
Rizki Saputra
Rizki Saputra Mohon Tunggu... Guru - Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam

Rizki Saputra: Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab yang menyukai kisah-kisah serta buku-buku klasik yang bersumber dari negeri Timur.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel: Kesempatan yang Hilang

28 Maret 2020   21:02 Diperbarui: 28 Maret 2020   21:09 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Kisah kehidupan dan percintaan Khalil Gibran tidak jauh berbeda dengan Umrul Qais, kehidupan yang mereka jalani dengan penuh air mata penderitaan, karena takdir tidak mau memberikan sedikit kebahagiaan kepada mereka.

            Ia berfikir bahwa pohon mawar yang ia rawat dan ia siram hanya akan menyakitinya dengan duri dan tak kunjung merekah untuk menghiasi dan mengharumi taman, seperti halnya pohon mawar yang dirawat oleh Umrul Qais dan Khalil Gibran.

            Hari-hari Gibran terus berlalu dengan perasaan gundah gulana yang menyelimuti hatinya, ia melihat rembulan namun tak melihat cahayanya, ia memandang bintang namun tak bisa merasakan keindahannya, ia membaca buku namun tak berbekas di pikirannya. Mungkin keadaanya yang seperti itu akan terus berlanjut sampai usia senja menghampiri, tak ada kejadian yang bisa mengubah hatinya dan tak ada pengetahuan yang bisa menghidupkan hatinya.

            Dalam keadaan gundah gulana, smartphone miliknya bergetar, pertanda beberapa pesan tertuju padanya. Ia membuka smartphone nya dan membaca pesan tersebut satu persatu serta merespon ringan semua pesan tersebut, pesan-pesan tersebut ternyata dari kawan laki-laki nya yang sedang dalam Kuliah Pengabdian Masyarakat. Sesaat setelah merespon pesan-pesan tersebut, ia melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan jam sebelas malam. Ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur karna sangat lelah dengan perasaan bingung dan gelisah yang menyelimuti hatinya. Tapi matanya seolah-olah tak mengenal kata lelah, ia tak mau terpejam walaupun untuk sesaat.

            Gibran memutuskan untuk membaca beberapa e-book dengan beberapa batang rokok yang senantiasa menemani malamnya, halaman demi halaman terus berlalu seiring dengan putaran jarum jam. Keindahan sya'ir yang dibacanya telah mencengkram hati dan perasaannya, hingga ia lupa kalau malam sudah sangat larut. Keindahan sya'ir yang terus mencengkram hati dan perasaannya tiba-tiba terlepas begitu saja, sepertinya kelelahan sudah menghampiri matanya. Keindahan sya'ir yang sangat menyilaukan tak lagi mampu ditatapnya.

            Gibran menandai halaman terakhir yang telah dibaca kemudian menutup e-book tersebut, namun ia tidak beranjak dari meja kerja tersebut karna sebatang rokok yang tertancap di tangan kirinya masih menyala untuk menemani malamnya. Sambil menghabiskan sisa rokok yang ada di tangannya, sesekali ia menoleh ke arah jam yang memberitahukan bahwa malam sudah sangat larut.

            Suasana hening tersebut membuat hatinya kembali diselimuti perasaan gundah karna mengingat beban dan masalah yang sedang dihadapinya serta duka bisu yang sedang menimpanya. Tiba-tiba smartphone nya bergetar lagi, mungkin pesan tersebut dari salah satu kawannya yang sedang mengikuti Kuliah Pengabdia Masyarakat. Gibran bertanya dalam hati, "kenapa mereka belum tidur? Bukankah aktivitas mereka besok akan sangat padat?" Ia berfikir untuk menyuruh temannya itu tidur, karena besok temannya harus berhadapan dengan aktivitas yang akan sangat melelahkan.

            Sesaat setelah ia membaca pesan tersebut, ia terdiam bagaikan laut tenang yang menyimpan banyak palung. Ternyata pesan tersebut dari Selma (nama samaran diambil dari novel Sayap-sayap Patah) seorang mahasiswi yang sejurusan dan seangkatan dengannya. Gibran melayangkan pandangannya ke jam dinding yang terus berputar dan kembali melirik pesan yang hanya terdiri dari empat kata tersebut, "malam sudah sangat larut". Selama beberapa menit ia memandang pesan tersebut dengan penuh rasa ingin tahu, mencoba menyingkap rahasia tersirat dibalik pesan tersebut. Ekspresi wajahnya memperlihatkan bahwa dia sangat penasaran akan maksud pesan tersebut, karna tidak biasanya Selma mengirimkan pesan seperti itu kepadanya. Percakapan yang terjadi diantara mereka sebelumnya selalu dibuka dan ditutup dengan candaan.

            Karena ini bukan kali pertama ia menerima pesan dari Selma, ia mencoba untuk merespon pesan tersebut dengan sedikit candaan. "Saya hanya mengajar di waktu pagi, sore dan awal malam, tidak mengapa jika malamnya kurang istirahat. Yang harus banyak istirahat itu kalian (yang sedang KPM), karna aktivitas besok akan sangat melelahkan", balas Gibran.

Selma hanya menanggapi dengan singkat, "prof memang tak pernah salah. Baiklah, good night". Karena malam sudah larut, Gibran juga hanya membalas singkat "dan (prof) tak akan pernah salah".

            Selma selalu memanggil Gibran dengan panggilan prof ketika berbincang lewat pesan teks, dan sesekali panggilan tersebut terbawa ke dunia nyata. Karena tidak nyaman dengan panggilan tersebut, sesekali Gibran memanggil Selma dengan Bu (guru) Selma atau Kakak Selma walaupun usia mereka sama. Hanya Selma yang tahu kenapa ia memanggilnya dengan prof, panggilan Bu Selma atau kakak Selma jelas hanya untuk memancing kejengkelan Selma.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun