Mohon tunggu...
Rizki Maulana
Rizki Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pendidikan Ganesha

Instagram: materialism3

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Sektor Keuangan dan Energi Bersinergi: Say Good Bye to Emissi

25 Desember 2023   14:31 Diperbarui: 6 Februari 2024   16:18 1838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepakat atau tidak, sumber energi fosil memang jauh lebih matang dan efisien di bidang penyediaan energi teknologi saat ini, selain itu sumber daya teknologi dan manusianya lebih banyak dan secara operasional juga udah jelas kalkulasinya. 

Jadi jika kita hitung risiko jangka pendek proyek energi fosil ini dianggap lebih aman karena sisi teknologi dan operasionalnya sudah efisien.

Sementara sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) ini bisa dibilang masih pemain baru dan distrik energi infrastrukturnya masih belum matang, proses distribusinya juga belum efisien dan teknologi yang dipakai pastinya akan berbeda serta belum banyak dikenal oleh banyak orang. 

SDM yang akan berfokus di bidang EBT juga perlu belajar banyak hal tentang pemanfaatan sektor energi yang baru berjalan ini. Dengan kondisi seperti ini, model investasi di sektor energi baru diperkirain baru bakal balik modal setidaknya tujuh tahun lebih, yang mana hal ini akhirnya nyambung dengan tantangan yang ketiga yaitu aspek pemodalan. 

Membangun industri baru dari nol itu sangat merepotkan baik dari sisi teknis atau dari sisi pemodalan, teknologi yang masih baru dan SDM yang baru beradaptasi mengorientasi pada sedikitnya institusi keuangan yang berani ngambil risiko untuk mendonasikan pinjaman modal ke industri ini.

Disamping kebutuhan investasi untuk energi fosil memiliki perbandingan biaya dan kapasitas energi yang lebih efisien daripada sumber energi baru dan terbarukan, dimana pembangunan industri EBT butuh investasi 72,5 miliar untuk pembangunan kapasitas sebesar 35 GB. 

Sementara energi fosil itu cuma butuh 58 miliar dollar untuk kapasitas 47,5 GB. Itu artinya dengan kebutuhan dana yang lebih kecil sumber energi fosil itu justru masih bisa menghasilkan kapasitas energi yang lebih besar dari sumber energi baru terbarukan.

Gara-gara kondisi yang dilematis inilah proses peralihan menuju penggunaan EBT itu cendrung lambat. PLN masih punya tantangan tersendiri dari sisi pemodalan dan SDM. 

Padahal dari sisi potensi alam Indonesia punya banyak sumber energi terbarukan yang sangat kaya,

Misalnya kondisi tropis Indonesia yang mengharuskan matahari terik sepanjang tahun, memiliki garis pantai terpanjang di dunia yang bisa dimanfaatin tenaga ombaknya, belum lagi gas bumi yang tersedia melimpah, hingga tenaga angin yang juga cukup kuat di beberapa daerah di Indonesia. 

Kalau dihitung-hitung nih, potensi energi yang dihasilkan itu mencapai lebih dari 441 GB atau setara sama tujuh kali lipat produksi listrik nasional di tahun 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun