Mohon tunggu...
Rizki Maulana
Rizki Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pendidikan Ganesha

Instagram: materialism3

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Sektor Keuangan dan Energi Bersinergi: Say Good Bye to Emissi

25 Desember 2023   14:31 Diperbarui: 6 Februari 2024   16:18 1838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bukan kabut, itu polusi." Ucap beberapa warga yang mengamati langit kota Jakarta pagi itu.

Tidak dapat dinafikan, belakangan ini publik memang dihebohkan dengan kondisi udara di kota-kota besar di Indonesia yang semakin hari semakin buruk. Jakarta misalnya, data IQ Air menyebutkan indeks kualitas udara di kota ini mencapai 155 AQI US dengan tingkat polusi udara tidak sehat.

Kecendrungan yang sama juga dirasakan oleh kota-kota besar lainnya seperti Makassar, Surabaya, Medan, Denpasar, dan Yogyakarta.

Menurut Data International Energy Agency (IEA), 51 % emisi CO2 di Indonesia berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Porsi batu bara dalam bauran energi Indonesia sebesar 30 % pada 2021.

Sementara secara sektoral, kontributor terbesar emisi CO2 adalah sektor kelistrikan (44 %), diikuti sektor industri (24 %), transportasi (24 %), dan rumah tangga (5 %). Itu artinya dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penyebab polusi udara yang semakin meresahkan ini sektor energi lah yang menjadi biangkeroknya.

Maka dari itu saat ini kita sangat membutuhkan langkah solutif berupa transisi sumber energi. Transisi sumber energi ini bakalan ngubah semua elemen dalam ekonomi kita mulai dari perdagangan, pasar, keuangan, dan juga peradaban modern.

Kenapa? karena cepat atau lambat, suka atau nggak suka, transisi energi ini bakalan ngaruh ke kehidupan kita semua.

Oke tapi sebelum berlari terlalu jauh perlu disimak dulu nih beberapa informasi pendukung untuk pemahaman awal dari pertanyaan-pertanyaan, apa itu transisi energi? Kenapa transisi sumber energi ini penting? Kalau emang penting kenapa sih transisi energi nggak secepatnya dilaksanakan? dan apa aja tantangan yang perlu dipertimbangin dalam proses transisi sumber energi?

Yang pertama kita mulai dari apa sih sumber energi itu?

Sederhananya, semua teknologi modern yang kita nikmatin sekarang itu membutuhkan energi. Di setiap lampu yang nyala, di setiap gadget yang memantulkan cahaya, di segala bentuk kendaraan angkutan baik itu darat, laut, dan udara semuanya butuh energi.

Nah kemudian muncul pertanyaan energi-energi tersebut dapat dari mana sih?

Jadi, sumber energi yang digunakan bisa berasal dari bermacam-macam sumber, yang paling populer itu adalah energi fosil seperti batubara dan minyak bumi. kedua material ini ada di dalam perut bumi dan sifatnya mudah terbakar, hasil pembakaran inilah yang nantinya dikonversi menjadi listrik dan bensin.

Selain sumber energi fosil ada juga nih alternatif lain, namanya sumber energi EBT (Energi Baru dan Terbarukan) seperti panas matahari, sumber energi dari angin, dari kekuatan air, dan juga dari nuklir.

Terus apa hubungannya dengan transisi sumber energi?

Tanpa kita sadari hampir semua sumber energi yang menopang peradaban manusia bergantung pada sumber energi yang ketersediaannya terbatas.

Sumber energi fosil perlu jutaan tahun untuk terbentuk, maka dari itu sifatnya terbatas, saking terbatasnya diprediksi cadangan sumber energi fosil dianggap sudah nggak bisa lagi menopang kebutuhan energi di seluruh dunia dalam beberapa tahun ke depan.

Sudahlah sifatnya terbatas, menghasilkan zat polutan pula.

Berdasarkan data kandungan zat polutan di atmosfer, disebutkan konsentrasinya tiba-tiba aja dalam 100 tahun terakhir kadarnya malah melonjak jadi 43 PPM. Itu terjadi sejak manusia mulai mengkonversi energi fosil jadi listrik dan BBM.

Kenaikan zat polutan ini juga diiringi dengan kerusakan lingkungan lain yang ujung-ujungnya berdampak pada sektor kehidupan manusia seperti sumber air bersih, rusaknya ketahanan pangan, dan juga lingkungan tempat kita mendapatkan sumber-sumber makanan.

Coba bayangin deh, di setiap lampu yang menyala di seluruh dunia, di setiap keramaian lalu lintas dan kemacetan, dan di setiap distribusi perdagangan di seluruh dunia, rupanya ada harga nggak kasat mata yang harus dibayar oleh peradaban kita, dan harganya itu mahal banget.

Harga yang dimksud yaitu kerusakan lingkungan. Jika suatu negara mengalami kerusakan lingkungan maka ini bisa jadi bencana ekonomi di masa mendatang.

Sekarang sudah tau kan seberapa pentingnya transisi energi untuk kehidupan di masa depan?

Oke, mungkin sekarang kita sudah mulai memikirkn solusinya.

"Yasudah kalau begitu tinggal ganti aja sumber energinya."

Ya betul, solusinya emang transisi energi, yaitu pemanfaatan energi dari yang tadinya bersifat terbatas dan merusak lingkungan jadi sumber energi yang terbarukan dan lebih ramah lingkungan.

Tapi masalahnya tidak semudah itu proses transisi ke sumber energi baru dan terbarukan (EBT) ini. Menciptakan sesuatu yang besar tidak didapatkan secara instan.

Ada banyak tantangan yang perlu PLN hadapi dan perlu dipertimbangkan sebelum hijrah ke transisi energi.

Tantangan yang pertama adalah kebutuhan energi seluruh dunia saat ini masih sangat bergantung pada energi fosil.

Melalui data Electricity generation worldwide from 1990 to 2022 di bawah ini kita bisa lihat nih dominasi penggunaan sumber energi fosil dalam kebutuhan listrik dan bahan bakar secara global.

Sedangkan di Indonesia sendiri berdasarkan data Inside center dan asosiasi produsen listrik swasta Indonesia baru memproduksi EBT tahun 2018 sekitar 14 % dari produksi energi nasional. 

Dengan kondisi energi fosil yang masih sangat dominan ini tentu transisinya perlu berproses secara bertahap, itu tantangan yang pertama. Selanjutnya tantangan yang kedua yaitu dari dimensi bisnis dan keuangan. 

Untuk membangun sebuah industri baru tentu butuh biaya yang diperlukan jauh lebih besar dibanding melanjutkan industri yang sudah ada yang manajemen operasionalnya sudah berjalan secara efisien. 

Sepakat atau tidak, sumber energi fosil memang jauh lebih matang dan efisien di bidang penyediaan energi teknologi saat ini, selain itu sumber daya teknologi dan manusianya lebih banyak dan secara operasional juga udah jelas kalkulasinya. 

Jadi jika kita hitung risiko jangka pendek proyek energi fosil ini dianggap lebih aman karena sisi teknologi dan operasionalnya sudah efisien.

Sementara sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) ini bisa dibilang masih pemain baru dan distrik energi infrastrukturnya masih belum matang, proses distribusinya juga belum efisien dan teknologi yang dipakai pastinya akan berbeda serta belum banyak dikenal oleh banyak orang. 

SDM yang akan berfokus di bidang EBT juga perlu belajar banyak hal tentang pemanfaatan sektor energi yang baru berjalan ini. Dengan kondisi seperti ini, model investasi di sektor energi baru diperkirain baru bakal balik modal setidaknya tujuh tahun lebih, yang mana hal ini akhirnya nyambung dengan tantangan yang ketiga yaitu aspek pemodalan. 

Membangun industri baru dari nol itu sangat merepotkan baik dari sisi teknis atau dari sisi pemodalan, teknologi yang masih baru dan SDM yang baru beradaptasi mengorientasi pada sedikitnya institusi keuangan yang berani ngambil risiko untuk mendonasikan pinjaman modal ke industri ini.

Disamping kebutuhan investasi untuk energi fosil memiliki perbandingan biaya dan kapasitas energi yang lebih efisien daripada sumber energi baru dan terbarukan, dimana pembangunan industri EBT butuh investasi 72,5 miliar untuk pembangunan kapasitas sebesar 35 GB. 

Sementara energi fosil itu cuma butuh 58 miliar dollar untuk kapasitas 47,5 GB. Itu artinya dengan kebutuhan dana yang lebih kecil sumber energi fosil itu justru masih bisa menghasilkan kapasitas energi yang lebih besar dari sumber energi baru terbarukan.

Gara-gara kondisi yang dilematis inilah proses peralihan menuju penggunaan EBT itu cendrung lambat. PLN masih punya tantangan tersendiri dari sisi pemodalan dan SDM. 

Padahal dari sisi potensi alam Indonesia punya banyak sumber energi terbarukan yang sangat kaya,

Misalnya kondisi tropis Indonesia yang mengharuskan matahari terik sepanjang tahun, memiliki garis pantai terpanjang di dunia yang bisa dimanfaatin tenaga ombaknya, belum lagi gas bumi yang tersedia melimpah, hingga tenaga angin yang juga cukup kuat di beberapa daerah di Indonesia. 

Kalau dihitung-hitung nih, potensi energi yang dihasilkan itu mencapai lebih dari 441 GB atau setara sama tujuh kali lipat produksi listrik nasional di tahun 2018.

Nah pertanyaannya sekarang. Mau sampai kapan kita nunda pendanaan ke industri EBT?

Ketika negara-negara lain sudah mendahului dan mulai berani mengambil risiko. Mau sampai kapan industri keuangan kita menunda pendanaannya untuk kehidupan di masa depan. 

Mau sampai kapan kita menyia-nyiakan potensi alam negara kita yang justru diberkahi banyak sumber Energi Baru Terbatrtukan (EBT)  yang jadi tren di masa depan. 

Hingga pada akhirnya kita harus sadar bahwa tidak semua hal harus berorientasi dengan uang  dan kita juga harus sadar bahwa ada saatnya kita harus melakukan perubahan dengan menghadapi risiko kegagalan serta ikhlas mendapat keuntungan finansial yang lebih dikit demi meraih tujuan yang jauh lebih besar dan jauh lebih bermanfaat untuk jangka panjang.

Saat ini kita memerlulan sinergitas antar kedua sektor baik sektor energi maupun keuangan. Sejauh ini emang masih belum banyak sih sektor keuangan yang berani menyalurkan dana ke sektor EBT. 

Tapi setidaknya sudah ada beberapa bank yang mulai mengambil langkah positif untuk proyek pembiayaan industri yang bergerak di transisi energi bersih sektor industri ramah lingkungan. 

Beberapa contoh proyek yang sudah dikembangkan yaitu PLTA Malea dengan kapasitas 90 megawatt, PLTA Kerinci dengan kapasitas 515 megawatt, dan ada juga pembangkit listrik tenaga bumi dengan kapasitas 672 megawatt. 

Secara keseluruhan proyek ini telah menopang 1,1 juta kebutuhan listrik rumah tangga di Indonesia dengan energi total sebesar 4,6 juta megawatt selama 1 tahun. Prestasi ini mampu mengurangi emisi gas rumah kaca setara 1,8 juta ton CO2. 

Jika seluruh sektor keuangan bersinergi secara kolektif menyalurkan dananya kepada PLN, maka tidak dapat dipungkiri istilah Net Zero Emission di Tahun 2030 akan segera terealisasi bukan sekedar halusiasi. 

Dengan Membangun Pembangkit Listrik Berbasis EBT kita akan memahami bagaimana alam bekerja untuk kita yang bekerja untuk alam. Atau dalam arti sederhana "Dari Alam Kembali ke Alam." 

Dengan diterbitkannya artikel ini pula penulis berharap semakin banyak lagi institusi keuangan yang turut berkontribusi pada proses transisi energi ini, karena cuma dengan upaya dari semua pihak proses peralihan sumber energi yang lebih bersih sehat dan bertanggung jawab ini bisa benar-benar terealisasi. 

Terima Kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun