Mohon tunggu...
Rizki Maulana
Rizki Maulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pendidikan Ganesha

Instagram: materialism3

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sinergitas Pemerintah dan Masyarakat dalam Membangun Konsep Tata Ruang Kota Berlandaskan Nilai Etika dan Estetika

1 Desember 2023   17:22 Diperbarui: 1 Desember 2023   20:38 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Foto operasi satpol PP sumber: Kotomono.co

Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Setiap perencanaan tata ruang di Indonesia harus berlandaskan kepada tujuan tata ruang yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2007 yaitu terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam (SDA) dengan sumber daya manusia (SDM) untuk kehidupan berkelanjutan yang harmonis. 

Namun faktanya Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM menilai konsep tata ruang di Yogyakarta hanya mengedepankan nilai estetika saja tanpa mempertimbangkan etika sosial dan makin meninggalkan konsep pembangunan berkelanjutan dibuktikan dengan maraknya pengemis dan gelandangan di kota ini.

Gunawan (2018) mendeskripsikan keberadaan komunitas pengemis di Kota Yogyakarta dikarenakan kesalahan tata ruang di daerah setempat. Untuk menekan masalah itu maka pemerintah dan masyarakat perlu merealisasikan Perda No 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis dalam revitalisasi tata ruang di Kota Yogyakarta.

Peran  Pemerintah  dan  Masyarakat  dalam  Membangun  Konsep  Tata  Ruang  Kota Yogyakarta yang Berlandaskan nilai Etika dan Estestika.

“Pengemis di kawasan Malioboro raup 2 juta per hari, lebih besar dari UMR Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2023.” Ulas berita Hariane (2023). Berita itu secara nyata telah mencederai urgensi Perda No 1 Tahun 2014 tentang penanganan gelandangan dan pengemis di Yogyakarta. 

Bagaimana tidak? Perda yang secara tegas mengatur penanganan serta pemberdayaan pengemis dan gelandangan selama 9 tahun terakhir telah gagal menunjang visi- misinya. Penyebab fundamentalnya adalah pengelolaan tata ruang yang masih memberi akses untuk reputasi pengemis di kawasan ramai kota, terutama pada tempat wisata. 

Malioboro contohnya, di sepanjang trotoar kita akan disajikan formasi pengemis nasional dengan berbagai motif defisitas sesuai kesepakatan komunitas. Ada yang memakai pakaian lusuh, cacat fisik, cacat indera, hingga memakai kostum-kostum tertentu. Temuan ini didukung dengan penelitian Gunawan (2018) yang mendeskripsikan keberadaan komunitas pengemis di Kota Yogyakarta sebagai sebuah bentuk budaya kemiskinan dikarenakan kesalahan tata ruang di daerah setempat. 

Selain itu perencanaan tata ruang di Yogyakarta hanya terlihat pada tujuan ekonomi saja, namun dari sisi konsep pembangunan berkelanjutan dan pembangunan kualitas hidup manusia makin menurun. Atau dalam arti lain, konsep tata ruang di Yogyakarta mengedepankan nilai estestika saja tanpa mempertimbangkan etika sosial. 

Kasus ini berbanding lurus dengan temuan dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM mengkultuskan arah pembangunan tata ruang Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami penurunan secara kualitas bahkan makin meninggalkan konsep pembangunan berkelanjutan. 

Sementara tujuan perencanaan tata ruang menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007 ialah mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan dengan menunjang keterpaduan SDA & SDM dan keharmonisan antarlingkungan. Insiden ini menjadi salah satu pemicu mengapa banyak bermunculan pengemis dan  gelandangan di  Yogyakarta.  

Meski terdengar seperti distorsi, karena sejatinya mereka adalah korban dari keegoisan tata ruang kota, namun pilihan menjadi pengemis justru mengorientasi mereka menjadi pelaku dari tidak tercapainya tujuan tata ruang di Yogyakarta. 

Keberadaan komunitas pengemis ini menjadi isu yang menarik untuk dikaji karena ada indikasi pengemis di berbagai titik terutama pada tempat wisata telah melibatkan sindikat tertentu  yang dengan sengaja memperjual belikan komoditas rasa iba untuk kepentingan mereka. 

Padahal melalui tata ruang yang baik Kota Yogyakarta sebagai etalase pariwisata DIY seharusnya terbebas dari kondisi seperti ini bukan? Tetapi pada kenyataannya justru tata ruang Kota Yogyakarta belum mampu mencapai tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan.

Perlu kita ketahui bahwa prencanaan tata ruang kota yang baik akan menentukan perkembangan dan kemajuan kota selama 20 tahun ke depan. Namun setiap wilayah atau kota pasti mengalami perkembangan dan perubahan setiap tahunnya, maka dari itu dalam merencanng tata ruang, pemerintah daerah acapkali merevisi perda dengan mempertimbangkan beberapa dinamika pendukung. 

Dinamika tersebut mencakup perencanaan struktur ruang, pola ruang, serta penetapan dan pengendalian ruang wilayah yang pelaksanaannya membutuhkan koordinasi dengan seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota di DIY. 

Salah satu rancangan yang terbaru ialah Raperda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2023-2043. Ini merupakan gebrakan inisiatif Pemda DIY guna memperbaiki tata ruang wilayah di DIY. 

Namun lagi-lagi melalui perda terbaru ini penulis tidak menemukan strategi khusus untuk mengikis jejak langkah pengemis dan gelandangan di wilayah ini. Padahal dari fakta-fakta di atas secara jelas mengidentifikasikan bahwa kesalahan dari tata ruang lah yang menjadi sebab fundamental dari maraknya pengemis dan gelandangan di Kota Pelajar ini.

Oleh karena itu teramat penting bagi pemerintah kedepannya merencanakan rancangan tata ruang yang akomodatif terhadap pembebasan kota dari gelandangan dan pengemis. 

Melalui pendekatan tata ruang yang dikemas dengan ide-ide brilian, diharapkan perencanaan tata ruang Kota Yogyakarta dapat menjangkau tujuannya untuk kesejahteraan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan.

Gerakan visioner ini haruslah representatif pada Perda N0 1 Tahun 2014. Dimana penanganan gelandangan dan pengemis ini wajib menjunjung tinggi asas: a) penghormatan pada martabat dan harga diri; b) non diskriminasi; c) non kekerasan; d) keadilan; e) perlindungan; f) kesejahteraan; g) pemberdayaan; dan h) kepastian hukum. 

Seluruh asas ini perlu diperhatikan dalam perencanaan tata ruang, dengan demikian konsep tata ruang Kota Yogyakarta tidak hanya berlandaskan pada nilai estestika saja tetapi juga menjunjung tinggi etika sosial. 

Adapun langkah strategis yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengikis gelandangan dan pengemis berbasis tata ruang antar lain:

  • Pemerintah bersama Dinas Sosial harusnya menambah jumlah Rumah Perlindungan Sosial (RPS) sebagai sarana pembinaan dan perlindungan bagi gelandangan dan pengemis. Turunan dari strategi ini adalah operasi sigap dari satpol PP yang hendaknya beroperasi tidak pada jadwal tertentu saja yang mudah diprediksi oleh gelandangan dan pengemis. Karena dari beberapa kasus saat operasi dimulai para gelandangan dan pengemis sudah hilang jejak karena sudah mengetahui pola dari operasi satpol PP.
  • Melalui rekonstruksi tata ruang yang baru pemerintah diharapkan dapat membangun ruang publik borjuasi anti gelandangan seperti di Tiongkok dan Inggris dengan bersenjatakan paku-paku atau elemen lain yang membuat gelandangan dan pengemis enggan menempati lokasi tersebut. Mulai dari halaman muka dan sela-sela gedung apartemen, beberapa titik di tempat wisata, kolong jembatan, sampai bangku taman.
  • Pemerintah juga dapat  membangun pos-pos anti gelandangan dan pengemis di beberapa lokasi yang potensial dijajahi gelandangan dan pengemis, serta mendukung gerakan masyarakat untuk memasang baliho anti gelandangan dan pengemis.
  • Selanjutnya  dinas  sosial  dan  satpol  PP  dapat  memberikan  edukasi  kepada masyarakat untuk tidak memberikan bantuan kepada mereka, karena hal itu hanya strategi mereka dalam memperjual belikan komoditas rasa iba untuk kepentingan pribadi. Ini bertujuan agar hasrat mereka untuk datang kembali   dapat tertekan seiring berjalannya waktu.

Keteledoran tata ruang yang berpotensi memperbanyak gelandangan dan pengemis di Daerah Istimewa Yogyakarta ini adalah permasalahan yang cukup kompleks, maka dari itu masyarakat sebagai sambung tangan pemerintah juga berperan sangat penting untuk menciptakan Kota Yogyakarta terbebas dari pengemis dan gelandangan. 

Pasalnya komunitas yang penulis sebut Gerakan Pengemis Nasional ini menjadikan masyarakat atau pengunjung sebagai sasaran empuk mereka, maka apabila masyarakat faham akan dinamika ini tentu para pengemis dan gelandangan akan kehilangan targetnya. 

Untuk itu, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan oleh masyarakat atau pengunjung Kota Yogyakarta, antara lain:

  • Masyarakat perlu memulainya dari hal yang sederhana, berhentilah memberi uang kepada pengemis dan gelandangan di sekitar kota khususnya tempat wisata. Bukan menghapus budaya simpati, akan tetapi pemerintah melalui perda No.1 Tahun 2014 telah memberikan pemberdayaan berupa rehabilitasi, dan reintegrasi sosial terhadap para pengemis dan gelandangan.
  • Perlu  bergotong-royong  memasang  baliho  atau  selogan  anti  pengemis  dan gelandangan di setiap sudut dan tempat umum.
  • Masyarakat  perlu  melaporkan  mereka  ke  satpol  PP  apabila  masih  ditemukan pengemis dan gelandangan yang masih beroperasi di daerah larangan. Sejalan dengan amanah yang ditegaskan oleh Kepala Satpol PP DIY Noviar Rahmad yakni masyarakat diharapkan mampu melakukan kerja sama dengan Satpol PP di tingkat kota  maupun  kabupaten  untuk  melakukan pengawasan  adanya  pengemis  yang beroperasi di wilayah masing-masing.

Dengan diimplementasikannya upaya-upaya tersebut maka masyarakat dan pemerintah akan mendapati pola tata ruang Kota Yogyakarta yang berlandaskan nilai etika dan estestika, sesuai dengan tujuan pengelolaan tata ruang yang termaktub dalam Undang Undang No. 26 tahun 2007 yaitu mensejahterakan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan dengan menciptakan kesesuaian antara sumber daya alam (SDA) dengan sumber daya manusia (SDM) yang berbuntut pada keharmonisan lingkungan. 

Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat Kota Yogyakarta terutama kalangan akademisi dan pelajar atau mahasiswa bekerja sama dalam membangun tata ruang daerah yang lebih baik. Seperti simbiosis mutualisme, kedua komponen ini tidak dapat terlepaskan untuk menciptakan sebuah perubahan dalam suatu negara. 

Dengan terbebasnya Kota Yogyakarta dari komunitas pengemis dan gelandangan, maka rancangan tata ruang wilayah telah sampai pada tujuan mulianya. Terciptanya tata ruang yang teratur dan komphrensif secara langsung akan berorientasi meningkatkan citra positif kota Yogyakarta semakin baik di mata publik. 

Namun, tentu hal tersebut hanya akan didapatkan dengan upaya kolektif pemerintah dan masyarakat secara berkelanjutan, sebaliknya jika pemerintah dan masyarakat lebih mementingkan eksploitasi yang berujung kontradiksi maka pola tata ruang yang sesuai dengan undang-undang tidak mungkin dapat terealisasikan. 

Penulis berharap integrasi antar masyarakat dan pemerintah kedepannya terus terakomodasi dengan baik sebagai interpretasi dari sila ke-3 Pancasila yakni persatuan Indonesia. 

Lebih lanjut strategi semacam ini diharapkan mampu diikuti oleh seluruh kota di Indonesia sebagai upaya menekan angka kemiskinan berbasis tata ruang untuk menciptakan lingkungan yang harmonis. 

Jika semua itu dapat terealisasikan maka besar potensi Indonesia terpandang oleh dunia karena secara nyata telah berkontribusi mewujudkan  Sustainable Development Goals (SDGs) dalam memberantas angka kemiskinan yang tiada henti menghantui isu global sampai saat ini (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun