Bersama Luis Nani, pemain yang sempat dianggap sebagai kloningan CR7 di Manchester United (MU), keduanya menjadi pion strategi Fernando Santos yang memilih menempatkan keduanya sebagau duet penyerang dalam formasi 4-4-2. Ini salahsatu terobosan taktik Fernando Santos di kubu Portugal yang berseberangan dengan pelatih-pelatih Portugal sebelumnya yang kerap memainkan formasi 4-3-3 atau 4-2-3-1 untuk memaksimalkan Nani dan CR7 sebagai penyerang sayap.
Pilihan taktik ini membuat Portugal seakan-akan bermain tanpa striker dan memaksimalkan keberadaan 6 gelandang diatas lapangan. Duet Nani dan CR7 sebagai gelandang atau penyerang sayap yang bertransformasi menjadi penyerang tengah sejauh ini berjalan sangat baik.
Kecepatan Nani dan CR7 membuat Santos leluasa menerapkan garis pertahanan rendah untuk menyerap serangan lawan dan melakukan serangan balik cepat memanfaatkan kecepatan lari kedua mantan pemain MU itu. Jika Portugal punya strategi unik di lini penyerangan, pun demikian dengan Prancis. Keputusan Deschamps memindahkan posisi Griezmann dari penyerang sayap menjadi penyerang di belakang Olivier Giroud berbuah manis.
Griezmann serasa bermain dengan strategi yang sama di Atletico Madrid kala dirinya berduet di belakang Fernando Torres. Hasilnya, pemain bernomor punggung 7 itu memuncaki daftar pencetak gol terbanyak turnamen dan menjadi pahlawan Prancis kala menyingkirkan Irlandia dan Jerman. Pilihan Deschamps untuk memainkan pola 4-2-3-1 meninggalkan formasi 4-3-3 kala melawan Rumania di laga pembuka juga membuat peran Giroud lebih terlihat. Penyerang Arsenal itu sudah mencetak 3 gol dan beberapa kali mampu menjadi tembok pemantul bola bagi Griezmann yang datang menusuk di belakangnya.
Portugal dan Prancis sama-sama punya strategi jitu untuk saling mengalahkan. Kedua tim juga sama-sama punya modal keberuntungan seperti yang sudah diulas diatas. Prancis mendapati fase grup, babak 16 besar dan perempat final yang “mudah” dan kemudian berhasil melewati ujian berat bernama Jerman.
Portugal mampu lolos sampai semifinal meski tidak pernah menang (juga tidak pernah kalah) di waktu normal, berada di bagan undian fase gugur yang relative ringan dan melaluinya dengan kemenangan di perpanjangan waktu serta babak adu penalty lalu memecahkan kebuntuan gagal menang di waktu normal kala menekuk Wales 2-0 di semifinal.
Well, jika Portugal dan Prancis sama-sama berbekal keberuntungan dan kualitas teknis, keduanya juga memiliki modal sejarah ditangan masing-masing.
Dan disinilah faktor kunci yang menjadi pembeda hasil akhir laga nanti. Seperti yang sudah banyak dibahas, Prancis memiliki sejarah memenangi turnamen besar ketika bertatus tuan rumah. Piala Eropa 1984 dan Piala Dunia 1998 adalah buktinya. Namun yang jarang diangkat (mungkin karena jarak waktu yang jauh kebelakang), Prancis juga pernah gagal kala berstatus tuan rumah turnamen besar.
Adalah Piala Dunia 1938 dan Piala Eropa 1960 menjadi catatan sejarah buruk kala Prancis menjadi tuan rumah dan gagal menjadi juara. Artinya faktor sejarah Prancis sebagai tuan rumah punya potensi untuk digagalkan.
Bagaimana dengan Portugal?
Sejak Denmark mengejutkan dunia dengan keberhasilan mereka memenangi Piala Eropa 1992, turnamen ini punya siklus 8 tahunan untuk memunculkan juara baru. Tengok catatan sejarah ketika Denmark menjuarai Piala Eropa 1992, 8 tahun kemudian pada Piala Eropa 2000 Prancis mencatatkan nama mereka sebagai juara baru Piala Eropa. Selang 8 tahun kemudian gantian Spanyol yang merengkuh status juara baru pada Piala Eropa 2008.