Mohon tunggu...
Rizki Muhammad Iqbal
Rizki Muhammad Iqbal Mohon Tunggu... Penulis - Suka makan ikan tongkol

Hari ini adalah besok pada hari kemarin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apakah Aneth Memang Sudah Gila?

8 Oktober 2021   19:19 Diperbarui: 8 Oktober 2021   19:43 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: dream.co.id logo

"Ayo kita ke toko buku yang seperti biasanya, Sayang." Aneth memelukku di atas motor seraya memohon untuk pergi ke toko buku siang itu. Lagi-lagi aku harus kembali menikmati kebosanan untuk melihatnya sibuk mencari buku. Paling tidak, kebiasaan ini bisa berlangsung selama satu jam lebih!

Aku merokok sambil menunggunya di luar toko. Terik matahari di kota cukup membuatku tersiksa. Selain sinar matahari yang mampu memanggang kulit, udara di kota ini lebih dari cukup untuk membuatku tergiur pada segelas es teh. Tak lama setelah aku terkantuk-kantuk, dia muncul dengan wajah yang tersenyum puas. Tidak ada buku di tangannya.

"Mana buku yang kaubeli?"

"Kata siapa aku mau membeli buku?"

"Lantas?"

"Lantas, ayo pergi makan soto." ucapnya santai sambil berjalan ke arah motorku yang sedang terparkir.

Sialan! Ternyata selama satu jam lebih itu dia hanya melihat-lihat buku. Dia tidak berniat untuk membeli buku. Sia-sia saja aku merasa tersiksa karena hawa panas yang menyengat. Ditambah lagi tidak ada yang menjual es teh di sekitar toko buku itu.

Bagiku, Aneth memang seperti itu. Dia adalah sosok perempuan yang manis, namun cuek dengan penampilan dirinya. Bukan saja tidak modis, bahkan dia tidak pernah sekali pun foto selfie seperti perempuan kebanyakan. Dia adalah tipe perempuan yang tampil seadanya, semaunya, dan sebebasnya. Dia tidak peduli pada pendapat orang lain berkenaan dengan penampilannya, sekalipun itu pendapatku sendiri.

"Kali ini, kau mau makan soto ayam atau sapi?" tanyanya begitu kami sudah duduk di warung soto.

"Terserah, sih."

"Terserah itu bukan jawaban." ucapnya ketus.

"Ya sudah. Aku mau soto ayam saja."

"Okay. Berarti aku yang soto sapi."

Mendengar itu, aku memang sudah biasa. Namun mengapa dia tidak ingin menyamakan sotonya denganku? Persetan! Lagi pula, tidak sama-sama makan soto ayam juga bukan berarti dia tidak mencintaiku. Namun terkadang ingin rasanya aku menuntut kemesraan dari dirinya, meskipun hanya sekadar menyamakan jenis soto.

"Kau sering merasa nggak kalau apa yang kita lakukan di kehidupan ini tidak memiliki sesuatu tujuan apa pun?"

Sudah kuduga dia akan memulainya lagi. "Enggak. Aku punya tujuan, yaitu menyelesaikan kuliah, mencari kerja, punya penghasilan sendiri, lalu membeli apa saja yang aku inginkan." ucapku dengan semangat.

Dia tertawa lepas. "Lantas, setelah kau mencapai semua itu, apa tujuanmu selanjutnya?"

"Ya menikmati hidup saja."

"Menikmati hidup dengan bekerja sepenuh waktu dan menikmati waktu luangmu dengan melayani hasrat kebendaanmu itu?" aku diam saja. Dia melanjutkan, "Mendengar jawabanmu itu, aku merasa bahwa kau akan menua sebagai mesin. Bukan saja mesin pekerja, namun juga mesin hasrat yang selalu ingin memuaskan keinginanmu yang tidak ada juntrungannya itu."

Aku diam saja. Persetan dengan perkataannya. Aku hanya ingin berdua dengannya sambil memakan soto di pinggiran kota, bercanda, sekaligus membicarakan hal-hal yang remeh-temeh; tanpa harus berbicara mengenai hal-hal yang hanya akan membuat pening di kepala. Menurutku, dia jarang sekali menanyakan keseharianku. Jarang sekali menanyakan aku sedang di mana selama seharian penuh. Tidak pernah menyinggung persoalan yang menyangkut asmara. Bukankah asmara juga bagian dari tujuan kehidupan itu sendiri?

***

Setiap aku meneleponnya di malam hari, dia selalu saja sedang dalam posisi bersantai di rumahnya sambil menikmati udara malam. Bagiku, dia aneh. Sebagai anak dari Kepala Polisi Daerah, tentu dia bisa menikmati kesempatan untuk hidup yang lebih menyenangkan daripada harus melulu melamun, menikmati udara malam, ataupun memikirkan tujuan kehidupan. Bisa saja dia membeli pakaian dengan mode yang sedang trendi agar terlihat semakin menarik. Bisa juga dia membeli produk-produk kecantikan agar bisa terlihat lebih cantik. Namun dia selalu menertawakan hal-hal seperti itu.

"Sorry, ya, aku tidak mau menjual tubuhku sebagai tontonan. Biarlah orang-orang di luar sana membeli penampilan dan kepribadian untuk dipertontonkan melalui media sosial. Bagiku, semuanya adalah omong kosong jaman. Segalanya kini melihat aspek permukaan tanpa melihat sesuatu secara substansial." dia berceramah seakan-akan bertindak sebagai tukang moral---jelmaan nabi jaman sekarang.

"Jangan munafik. Kita hidup sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial yang bisa eksis untuk memperluas jaringan. Lagi pula, kita hidup di dalam perkembangan jaman yang begitu cepat."

"Eksistensi tanpa esensi, maksudmu? Kupikir, orang-orang hanya menjual kepalsuan sambil beradu kecepatan saja. Sekarang orang-orang mencari nilai ataupun rujukan kehidupan dari apa yang mereka tonton. Lihat saja bagaimana sekarang perempuan banyak yang terpikat oleh mitos kecantikan seperti yang ada di iklan-iklan atau film-film yang mereka tonton. Bagiku, semua sisi kehidupan ini jadi dagangan dan dagangan itu jadi tontonan. Tontonan mampu mengubah seseorang untuk tidak merasa puas atas dirinya sendiri. Tontonan menciptakan mitos ideal tentang yang seharusnya orang miliki dan tidak seharusnya orang miliki."

Aku terdiam. Aku merasa bahwa dia semakin tidak terkendali. Dia seakan-akan merasa sebagai orang paling gelisah di tengah peradaban masyarakat masa kini. Namun aku hanya merasa bahwa dia adalah sosok yang kesepian. Mungkin karena orang tuanya yang terlalu sibuk bekerja, atau justru aku yang kurang memberikan kasih sayang kepadanya?

"Kau tidak menonton televisi saja?" tanyaku berbasa-basi sambil berusaha mengalihkan perhatiannya.

"Tidak."

"Biasanya jam-jam ini banyak acara yang menghibur, lho."

"Tidak. Tadi aku sempat menonton acara di televisi, namun yang ada hanyalah gosip selebriti. Sekarang ini skandal atau sensasi seseorang dijadikan komoditas yang bisa diperjual-belikan. Setelah aku mengganti channel, yang kutemukan selanjutnya adalah acara yang menayangkan wujud simpati palsu dengan memberikan bantuan terhadap orang miskin, namun dipertontonkan untuk kepentingan komersial."

"Justru dengan dipertontonkan seperti itu, seharusnya kita lebih tergugah untuk bisa membantu orang lain."

"Sudah kubilang, itu semua palsu. Kebaikan yang ada kini hanya ada dalam wujud citraan saja. Yang berlaku tetaplah ideologi komersial yang wajib mempertimbangkan segala aspek untung dan rugi."

Dengan segera kututup telepon malam itu. Aku sudah semakin memanas tatkala dia bercerita tentang hal-hal yang seolah dia sendiri yang merasa benar. Aku sudah sering mematikan telepon seperti ini.

***

Sudah satu bulan ini aku tidak bertemu dengan Aneth. Bukan karena kami sedang marahan gara-gara pendapat kami yang sama sekali berlainan, melainkan aku sendiri sedang magang sebagai sales promotion di suatu perusahaan yang menjual produk makanan cepat saji. Hari-hari kemarin aku tidak sempat memikirkan dirinya. Tidak sempat menanyakan kabarnya. Tidak sempat mendengarkan omong kosongnya. Sekarang aku merasa rindu meskipun kerinduan itu harus kupendam dalam-dalam, mengingat bagaimana dia selalu mempermainkan rasa rinduku yang serius ini.

Kringgg... kringgg....

Bunyi telepon di sakuku berdering nyaring.

"Kau ini ke mana saja?" suara kecil yang keluar dari speaker-ku itu terdengar tidak seperti biasanya. Baru kali ini aku merasa sebagai seseorang yang sedang dirindukan oleh kekasihnya.

"Ada apa? Kau merindukanku, ya?"

Dia tertawa. "Sebenarnya ada hal lain yang ingin kuberi tahu padamu."

"Apa?"

"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat yang dipesan oleh ketiadaan." aku bingung. Dia melanjutkan, "Aku ingin melakukan uji coba terhadap sesuatu yang belum pernah orang lain rasakan. Akan kutunjukkan bagaimana aku berhasil melakukannya."

Sudah kuduga dia akan membicarakan hal-hal yang tidak kumengerti. Apa yang dia maksud dengan melakukan uji coba terhadap sesuatu yang belum pernah orang lain rasakan?

"Temui aku di halaman gedung mall kota dalam 30 menit ini. Aku ingin menunjukkan sesuatu hal yang menyenangkan." ucapnya tiba-tiba.

Nooot... nooott....

Telepon ditutup dengan segera. Kata-kata itu juga menjadi penanda berakhirnya obrolan kami di telepon. Aku bingung. Mengapa dia justru mengajakku ke mall kota? Apakah dia ingin membeli sepatu? Aku ingat bahwa sepatunya sudah terlampau lusuh bagi seorang perempuan kelas menengah seperti dirinya. Atau mungkin mencari produk kecantikan? Apakah dia pada akhirnya akan segera membeli kepuasan dan kesenangan yang tersaji dalam kemegahan gedung mall? Ah, rasanya dia tidak akan membeli itu. Lagi pula, sebagian besar orang setidaknya pernah merasakan kesenangan dengan membeli kepuasan dalam kemewahan gedung mall. Lantas mengapa?

Sebelum menemuinya di mall kota, kusempatkan untuk berganti pakaian. Aku ingin terlihat sebagai sosok yang keren dan tampan di hadapannya. Kusemprotkan parfum di tubuhku ini agar dia selalu nyaman di dekatku. Aku akan menjadi saksi bagaimana Aneth akan berhasil melakukan sesuatu yang belum pernah orang lain rasakan, katanya---meskipun aku sudah menduga bahwa dia adalah orang aneh yang selalu melakukan hal-hal yang tidak penting untuk dilakukan.

***

Tepat 30 menit kemudian, aku sampai di mall kota. Kuparkirkan motorku di halaman parkirnya. Begitu aku berjalan menuju halaman mall, kulihat ada kerumunan yang berdesak-desakan. Ada yang mengambil gambar, ada pula yang menutup mulut dengan tangannya. Suara-suara yang ada tidak begitu terdengar jelas. Suara-suara itu tumpang-tindih tanpa adanya kejelasan yang mampu ditangkap oleh telingaku. Begitu aku menyerobot masuk ke dalam kerumunan, kulihat sesosok perempuan dengan pakaian yang bukan saja kukenali, namun sesuai dengan apa yang biasanya dikenakan. Perempuan itu mati menggelepar dengan kepala yang hancur bersimbah darah. Wajahnya menjadi sulit dikenali. Namun aku mengenali wajah itu. Aneth sudah meninggal seketika.

***

Media hari ini ramai memberitakan Aneth yang bunuh diri dengan melompat dari atas gedung mall lantai empat. Dia jatuh di atas aspal panas dengan membenturkan kepalanya terlebih dulu. Beritanya meluas sampai ke media kawakan. Kematiannya juga dijadikan sebagai bahan diskusi di televisi. Selain itu, muncul asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa Aneth diduga menderita bipolar, skizofrenia, gangguan mental, bahkan ada pula yang mengatakan bahwa dia depresi karena persoalan keluarga. Menurutku, keluarga Aneth itu baik-baik saja. Aneth masih bisa merasakan kasih sayang dari orang tuanya.

Lantas mengapa? Apakah Aneth memang sudah gila?

Aku juga dipanggil oleh pihak kepolisian untuk dimintai keterangan. Ponsel milik Aneth ada di pihak kepolisian untuk diamankan dan dijadikan barang bukti. Sebelum Aneth bunuh diri, dia memang sempat meneleponku. Terdapat riwayat panggilanku di ponselnya. Namun penjelasanku tidak memuaskan bagi mereka. Aku hanya menjelaskan tentang apa yang dibicarakannya lewat telepon saat itu. Aku juga mengatakan bahwa aku membawa tas yang dikenakannya saat bunuh diri. Ketika aku menyadari bahwa perempuan yang tergeletak saat itu adalah Aneth, aku memang langsung mengambil tasnya sebelum ambulan datang.

Besoknya aku akan dipanggil kembali untuk menyerahkan barang bukti berupa tas untuk kebutuhan investigasi lanjutan. Namun aku ingin membuka tas kekasihku itu terlebih dulu. Kutemukan buku harian yang tidak pernah kuketahui sebelumnya. Tepat di hari kematiannya, dia menulis sesuatu:

Hari ini aku senang. Aku kembali mendengar suara kekasihku di kejauhan. Aku ingin memberinya sepotong kisah yang tidak terlalu mengejutkan, namun menyenangkan. Aku ingin sekali merasakan ketiadaan. Boleh, kan, Sayang?

Manusia sering membicarakan hal-hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dengan membenturkannya pada budaya dan kebiasaan. Mereka bilang bahwa membunuh itu tidak boleh, padahal mereka tidak pernah merasakannya. Mereka juga bilang bahwa menghendaki kematian itu tidak boleh, padahal mereka belum pernah merasakan kematian. Kurasa, mereka hanya takut mati. Padahal kata mereka, kematian adalah kelahiran dari suatu kehidupan yang abadi---kehidupan kekal yang dijanjikan.

Aku melihatnya dari titik nol, di mana tidak ada lagi batas-batas kebudayaan yang mampu menghalangi kebebasanku. Bukankah akhir dan tujuan dari kehidupan ini adalah kematian? Lantas mengapa seseorang yang berkehendak untuk mati tidak diperbolehkan? Bagiku, kematian yang tidak dikehendaki adalah kekalahan terhadap hidup---terhadap maut. Dan aku senang sudah memilih untuk menjadi seorang pemenang.

***

Pemenang, katamu? Aku lantas berpikir bahwa dirinya mengalami gangguan kompulsif yang berlebihan. Jika tidak, aku berpikir bahwa dia hanya sok dramatis dengan menutupi kenyataan bahwa dia memang bunuh diri---mati sebagai orang yang sia-sia. Namun, apakah Aneth memang sudah gila?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun