Mohon tunggu...
M Zulmanar Rizki
M Zulmanar Rizki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Manajemen Risiko dalam Meningkatkan Profitabilitas serta Mengantisipasi Krisis Perbankan di Era Digital

3 Januari 2024   18:06 Diperbarui: 3 Januari 2024   19:25 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kehadiran teknologi telah memberikan kemudahan akses ke layanan keuangan, memungkinkan transaksi online, perbankan seluler, dan inovasi finansial lainnya. Namun, dengan manfaat besar ini juga muncul risiko yang lebih kompleks dan beragam. Manajemen risiko dalam industri perbankan bukan lagi sekadar perlindungan terhadap kerugian finansial, melainkan menjadi landasan strategis yang dapat memperkuat profitabilitas serta menjaga stabilitas sistem keuangan. 

Di Indonesia, dengan adopsi yang pesat terhadap teknologi finansial (fintech) dan transformasi digital di sektor perbankan, pentingnya manajemen risiko semakin terpampang jelas. Peran manajemen risiko dalam meningkatkan profitabilitas perbankan tak bisa dipandang sebelah mata. 

Dalam konteks ini, manajemen risiko tidak hanya bertujuan untuk meminimalkan kerugian, tetapi juga untuk meningkatkan efisiensi operasional, mengidentifikasi peluang baru, serta mengoptimalkan alokasi modal. Dengan pendekatan yang cermat terhadap risiko, bank-bank dapat menilai risiko secara menyeluruh dalam aktivitas mereka, yang pada gilirannya dapat memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih tepat dan strategis. Strategi manajemen risiko yang efektif dapat membantu perbankan untuk memperluas kesempatan bisnis dengan tetap meminimalkan risiko yang terkait dengan inovasi dan perubahan teknologi.

Selain meningkatkan profitabilitas, manajemen risiko juga memainkan peran penting dalam mengantisipasi krisis perbankan. Krisis keuangan yang terjadi di berbagai negara dalam beberapa dekade terakhir telah menegaskan pentingnya manajemen risiko yang baik dalam mengurangi dampak krisis, bahkan membantu menghindari terjadinya krisis secara keseluruhan. 

Di tengah era digital, perbankan dihadapkan pada tantangan baru yang berkaitan dengan keamanan data, kepatuhan peraturan, dan perubahan perilaku konsumen. 

Manajemen risiko yang proaktif mampu membantu perbankan untuk mengidentifikasi potensi risiko sebelumnya, menyesuaikan strategi, serta menyiapkan langkah-langkah mitigasi yang efektif. Perkembangan teknologi yang pesat juga memicu perubahan dalam lanskap ancaman keamanan cyber. 

Serangan cyber menjadi ancaman serius bagi perbankan di era digital ini, mengancam tidak hanya keamanan informasi nasabah tetapi juga stabilitas sistem finansial secara keseluruhan. Oleh karena itu, perbankan perlu menjalankan manajemen risiko yang dinamis dalam menghadapi ancaman keamanan siber yang terus berkembang. 

Manajemen risiko cyber menjadi bagian integral dari strategi keseluruhan manajemen risiko perbankan di era digital saat ini. Peran manajemen risiko dalam memperkuat profitabilitas perbankan dan mengantisipasi krisis menjadi semakin penting seiring dengan komitmen pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan dan adopsi teknologi finansial yang lebih luas. Bank-bank di Indonesia harus dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut dengan mengintegrasikan manajemen risiko yang adaptif, inovatif, dan terus berkembang dalam strategi mereka.

Bank, yang menurut Undang-Undang RI No. 10 Tahun 1998 tentang “Perbankan sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau lainnya, memerlukan penanganan manajemen risiko yang tepat. 

Hal ini disebabkan bank menjadi rawan terhadap tindak kejahatan, baik dari internal maupun eksternal bank itu sendiri, mengingat fungsi bank yang menghimpun dana masyarakat banyak”. Oleh sebab itu, penguatan manajemen risiko terhadap tindak kejahatan yang bisa terjadi dalam perbankan. Salah satu cara penguatan yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan teknologi yang telah berkembang saat ini. Karena, dengan berkembangnya teknologi yang semakin pesat, semua organisasi harus beradaptasi terhadap perkembangan tersebut. 

Risiko adalah kejadian yang mungkin dapat terjadi di masa yang akan datang dan bila terjadi akan berdampak buruk pada suatu objek, dimana tidak semua risiko bisa terjadi maupun dapat diketahui dengan pasti dampak dari risiko yang telah terjadi, maka dari itu diperlukan pengelolaan risiko yang lebih efektif. 

Menurut Tummala & Schoenherr (2011) “perusahaan perlu mengidentifikasi risiko yang potensial, jumlah kemungkinan risiko dapat terjadi, konsekuensi, serta dampak dari risiko-risiko tersebut sehingga dapat membentuk perencanaan aksi untuk mengelola risiko-risiko tersebut”.

Menurut Peraturan Nomor 11/25/PBI/2010 mengenai Perubahan atas PBI Nomor 5/8/PBI/2003 yang mengatur tentang Penerapan Manajemen Risiko, Risiko didefinisikan sebagai potensi kerugian yang disebabkan oleh terjadinya suatu peristiwa (events) tertentu. Sedangkan, manajemen risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang tertruktur untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang dapat timbul dari seluruh kegiatan usaha bank (Napitupulu, 2020). Di Indonesia, Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan peraturan Nomor 16/8/2014 tentang Uang Elektronik atau e-money. Bank Indonesia selaku otoritas moneter memiliki hak dan wewenang dalam perkembangan sistem pembayaran di Indonesia. 

Peran Bank Indonesia dalam sistem pembayaran yaitu mengatur dan menjaga mekanisme sistem keuangan agar tetap stabil baik tunai maupun nontunai. Pada sistem pembayaran tunai, Bank Indonesia bertanggungjawab atas pengeluaran dan peredaran uang tunai kepada masyarakat. 

Namun, seiring waktu penggunaan nilai transaksi pembayaran tunai menimbulkan banyak permasalahan dan kelemahan. Sehingga dibutuhkan inovasi sistem pembayaran yang mampu menjawab permasalahan dan membenahi kelemahan dari sistem pembayaran yang mampu menjawab permasalahan dan membenahi kelemahan dari sistem pembayaran tunai. Oleh karena itu, pembayaran nontunai tercipta sebagai wujud inovasi lebih lanjut pada sistem keuangan yang lebih efisien.

Salah satu produk dari Gerakan Nasional Non Tunai adalah penggunaan uang elektronik seperti E-Money yang dikeluarkan oleh Bank Mandiri, BRIZZI yang dikeluarkan oleh Bank BRI, dan BNI Tap Cash yang dikeluarkan oleh Bank BNI. Adanya alat-alat pembayaran non tunai tersebut, disebabkan tidak hanya dari segi inovasi sektor perbankan namun juga oleh kebutuhan masyarakat yang memerlukan adanya alat pembayaran yang praktis yang dapat memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi. 

Dengan adanya kemudahan transaksi tersebut penurunan biaya transaksi akan terdorong dan pada akhirnya dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi. Dengan beralih kepada transaksi non-tunai, kejahatan seperti pencucian uang, perampokanm pencurian dapat diminimalisirkan. Gerakakan untuk beralih ke non-tunai ini juga dapat memperkecil tingkat peredaran uang di Indonesia. 

Pasalnya, peredaran uang yang tinggi akan mengakibatkan inflasi ekonomi di Indonesia. Kemudahan transaksi keuangan di era digital saat ini sudah tidak dapat dihindari. Era global memaksa manusia untuk terus menciptakan teknologi yang memudahkan bahkan dapat menggantikan tugas manusia termasuk dalam transaksi keuangan. Pertumbuhan alat pembayaran telah meningkat begitu pesat, seiring dengan pengembangan teknologi dalam sistem pembayaran yang sedang berkembang saat ini.

Penggunaan QRIS sebagai alat pembayaran digital memungkinkan transaksi tanpa uang tunai dengan menggunakan kode QR. Kode QR ini dapat dipindai oleh aplikasi perbankan atau dompet digital untuk melakukan pembayaran tanpa perlu menggunakan uang fisik atau kartu kredit. Manajemen risiko menjadi esensial dalam implementasi QRIS karena menghadirkan berbagai aspek yang perlu dikelola dengan cermat. Dalam segi profitabilitas, QRIS memberikan potensi peningkatan pendapatan bagi perbankan melalui biaya transaksi yang lebih rendah dibandingkan dengan metode pembayaran konvensional. 

Adopsi QRIS memungkinkan perbankan untuk menjangkau lebih banyak pedagang dan konsumen tanpa perlu mengeluarkan biaya infrastruktur yang besar, sehingga meningkatkan volume transaksi tanpa menambah beban biaya yang signifikan. Hal ini secara langsung berdampak pada profitabilitas perbankan dengan meningkatnya pendapatan dari layanan pembayaran digital. 

Manajemen risiko dalam implementasi QRIS juga terkait dengan aspek keamanan. Perbankan harus memastikan bahwa transaksi yang dilakukan melalui QRIS aman dari risiko penipuan dan ancaman keamanan cyber. Ini melibatkan penggunaan teknologi keamanan yang canggih untuk melindungi data nasabah serta sistem pembayaran dari serangan cyber dan kegiatan kriminal lainnya.

Penerapan QRIS juga memperkuat manajemen risiko perbankan dalam mengantisipasi krisis. Dengan memperluas ekosistem pembayaran digital, terdapat potensi untuk mengurangi risiko krisis likuiditas, terutama dalam situasi di mana uang tunai mungkin sulit diakses atau tersedia secara terbatas. 

Dalam keadaan darurat, seperti pandemi yang membatasi akses fisik ke bank atau mesin ATM, QRIS memainkan peran penting dalam menjaga kelancaran transaksi keuangan tanpa adanya keterbatasan fisik uang tunai. QRIS juga memungkinkan perbankan untuk mendapatkan data transaksi yang lebih terperinci. 

Analisis data yang cermat dapat membantu perbankan dalam memahami perilaku konsumen, kecenderungan transaksi, dan pola pengeluaran yang dapat digunakan untuk merancang produk dan layanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan pasar, sehingga membantu meningkatkan profitabilitas. Penggunaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) sebagai metode pembayaran digital memiliki sejumlah kelebihan dan kekurangan diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Kelebihan :

  • QRIS menawarkan kemudahan bagi pengguna dengan proses pembayaran yang cepat dan mudah. Pengguna hanya perlu memindai kode QR dengan smartphone mereka untuk melakukan transaksi.
  • Metode pembayaran QRIS cenderung memiliki biaya transaksi yang lebih rendah dibandingkan dengan metode pembayaran konvensional seperti kartu kredit atau debit. Ini menguntungkan baik bagi pelanggan maupun pedagang.
  • QRIS mendukung inovasi dalam industri pembayaran. Ini memberikan kesempatan bagi pelaku usaha dan perbankan untuk terus mengembangkan layanan pembayaran yang lebih baik dan lebih efisien.
  • QRIS memungkinkan pelanggan untuk melakukan transaksi tanpa uang tunai. Hal ini meningkatkan aksesibilitas terhadap layanan keuangan, terutama di tempat-tempat yang minim infrastruktur perbankan.
  • QRIS menyediakan data transaksi yang lebih terperinci. Data ini dapat digunakan oleh perbankan untuk menganalisis perilaku konsumen dan mengembangkan strategi pemasaran yang lebih efektif.

2. Kekurangan : 

  • QRIS bergantung pada teknologi dan konektivitas yang baik. Dalam kasus terputusnya jaringan atau masalah teknis, transaksi menggunakan QRIS bisa terganggu atau tidak dapat dilakukan.
  • Penggunaan QRIS masih memerlukan tingkat kesadaran dan penerimaan yang lebih luas dari masyarakat. Beberapa orang mungkin masih lebih nyaman dengan metode pembayaran konvensional.
  • Ada risiko terkait keamanan data dan privasi pengguna. Meskipun telah ada upaya besar untuk mengamankan transaksi QRIS, risiko keamanan informasi pribadi tetap ada terutama jika terjadi pelanggaran keamanan.
  • Di beberapa daerah, ketersediaan infrastruktur teknologi yang kurang baik atau minim dapat menjadi hambatan bagi adopsi QRIS. Hal ini dapat menghambat penggunaan QRIS di daerah terpencil.
  • Diperlukannya standar QRIS yang konsisten diadopsi oleh semua pemangku kepentingan. Kekurangan standar yang konsisten dapat mengakibatkan kebingungan atau kesulitan dalam penggunaan QRIS.

kesimpulannya adalah, Manajemen risiko memiliki peran yang krusial dalam meningkatkan profitabilitas dan mengantisipasi krisis perbankan di era digital, terutama seiring dengan adopsi teknologi seperti penggunaan QRIS. Melalui pendekatan yang tepat dalam mengelola risiko, lembaga keuangan dapat mengurangi eksposur terhadap kerugian yang disebabkan oleh perubahan pasar, kegagalan teknologi, atau ancaman keamanan dalam transaksi digital. Dalam konteks QRIS, manajemen risiko memungkinkan bank untuk merancang sistem keamanan yang kokoh untuk melindungi data pelanggan, mencegah pencurian identitas, serta memastikan integritas dan keabsahan transaksi. 

Penggunaan QRIS dapat meningkatkan profitabilitas dengan memperluas jangkauan pasar, mengurangi biaya operasional, dan mempercepat proses transaksi. Namun, risiko terkait teknologi, seperti kebocoran data atau serangan cyber, menjadi potensi ancaman yang harus ditangani secara efektif. Dengan menerapkan strategi manajemen risiko yang holistik, bank dapat mengamankan keberlangsungan operasionalnya, meningkatkan kepercayaan pelanggan, serta memperkuat posisi dalam industri yang semakin terhubung secara digital, mengurangi kerentanan terhadap krisis perbankan, dan pada gilirannya, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap profitabilitas jangka panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun