Mohon tunggu...
Rizka Maziyyah
Rizka Maziyyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan | Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah | 220103110003

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kok, Main Sah Saja Sih?!

9 Desember 2022   09:05 Diperbarui: 9 Desember 2022   09:32 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hak dan Kewajiban Warga Negara
Warga negara memiliki hak dan kewajiban dalam menjalankan kehidupan. Hak dan kewajiban warga merupakan bukti demokrasi hukum suatu negara yang harus dilaksanakan oleh orang atau warga negara. Pengertian hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan sesuatu yang mestinya diterima tanpa campur tangan orang lain, secara paksa atau tidak. Dalam hal kewarganegaraan, berarti warga negara berhak mendapatkan penghidupan yang layak, jaminan keamanan, perlindungan hukum dan lain sebagainya. 

Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang wajib dilakukan untuk mendapatkan hak atau wewenang. Warga negara sebagaimana diatur pasal 28 E ayat ( 1 ) UUD NRI 1945. Pernyataan ini berarti bahwa orang-orang yang tinggal dalam wilayah negara dapat di klafikasikan menjadi :
1. Warga Negara Indonesia, adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa
lain yang di sahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
2. Penduduk, yaitu orang-orang asing ysng tinggal dalam negara bersifat sementara sesuai dengan visa ( surat ijin untuk memasuki suatu negara dan tinggal sementara yang di berikan oleh pejabat suatu negara yang dituju ) yang di berikan negara melalui kantor imigrasi.

Salah satu hak sebagai warga negara diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Di antara hak-hak
warga negara yang dijamin dalam UUD adalah mengantur kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang yang rumusan lengkapnya tertuang dalam pasal 28 UUD.

Namun, dalam melaksanakan atau mendapatkan haknya, seorang warga negara memiliki kewajiban lain yang membatasi hak manusia agar tidak merampas hak orang lain, hal tersebut
termaktub dalam pasal 28J :
1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengajuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi.

Sehingga hak dan kewajiban harus sejalan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, jika tidak
maka akan sangat mungkin ditempuhnya jalur hukum.

Perjalanan KUHP
Jalur hukum yang sesuai dapat berpacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melalui hukum pidana. Dikutip dari Universitas Kanjuruhan Malang, bahwa hukum pidana, sebagai salah satu bagian independen dari hukum publik merupakan instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan)merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku pidana.

KUHP merupakan bentuk dekolonisasi, yakni sebagai proses yang dilakukan oleh bekas bangsa terjajah untuk keluar dari warisan struktural dan kultural yang ditinggalkan oleh bekas bangsa
penjajahnya (Mudzakir, 2015: 2) yang berasal dari hukum kolonial Belanda dengan nama resmi
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI).

Tahun 1958, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional mendorong agar KUHP Nasional milik
Indonesia segera dirancang, namun sebenarnya rekomendasi awal mengenai hal ini sudah disampaikan pada tahun 1963 dalam Seminar Hukum Nasional I. Pemerintah kemudian mulai
merancang RKUHP sejak 1970 untuk mengganti KUHP yang berlaku saat ini.

Dalam napak tilasnya KUHP Kolonial perlu rancangan agar menjadi KUHP Nasional. Perumusan RKUHP Nasional melewati proses dinamika 7 Presiden dan 14 DPR, hingga pada tahun 2015 terdapat 17 draf RKUHP.

Draf RKUHP selesai pada tahun 1993, namun terjadi penghentian hingga kemudian dibahas oleh DPR periode 2014-2019 dan menyepakati draf RKUHP dalam pengambilan keputusan tingkat pertama. Namun, timbul berbagai reaksi dari masyarakat. Gelombang protes terhadap sejumlah pasal RKUHP muncul dari masyarakat, termasuk dari para pegiat hukum dan mahasiswa. Pada September 2019, Presiden Joko Widodo yang menggantikan SBY memutuskan untuk menunda
pengesahan RKUHP dan memerintahkan peninjauan kembali pasal-pasal yang bermasalah.

Protes Rakyat Terhadap RUU
Apakah dalam merancang hal tersebut DPR sudah mempertimbangkan asaz-asaznya sesuai dengan UUD NRI 1945, reasonable atau beralasan, necessary atau dibutuhkan dan proporsional atau tidak berlebihan.

Apakah pasal-pasal ini tidak menjegal kepentingan lain

Pasal kontroversial menyebabkan rakyat bersuara, diantaranya yakni :

1. Pencemaran nama baik. 

  • Pasal 433 Ayat 1

Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp10 juta).

  • Pasal 434 Ayat 1

Jika setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 433 diberi kesempatan membuktikan kebenaran hal yang dituduhkan tetapi tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan tersebut bertentangan dengan yang diketahuinya, dipidana karena fitnah, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp200 juta).

2. Penghinaan kepada presiden.

  • Pasal 218

Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp200 juta). Menurut PSHK "Presiden tak punya fitur moralitas untuk merasa dihina. Setiap komentar adalah bentuk penilaian atas kinerja".

3. Penghinaan kepada pemerintah atau lembaga negara.

  • Pasal 240 Ayat 1

Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp10 juta).

LBH Jakarta menilai, "penghinaan" sulit dibedakan dengan kritik, sehingga sangat mungkin salah kaprah.

4. Pers dan berita yang dianggap 'bohong'.

  • Pasal 263 Ayat 1

Setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V (Rp500 juta).

Dewan Pers menyatakan, wartawan bisa dihukum karena dugaan "menyebarkan kabar yang menimbulkan keonaran".

5. Demonstrasi

  • Pasal 273 RKUHP

Dalam pasal ini mengatur mengenai demonstasi yang akan dilakukan. Dengan adanya pasal ini juga akan menyulitkan kepada para mahasiswa maupun masyarkat yang akan melakukan aksi demonstrasi. Padahal unjuk rasa atau demonstrasi merupakan salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka umum yang dijamin oleh undang-undang.

Berikut bunyi pasal 273 RKUHP :“Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran,atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.”

6. Hukum Daerah

  • Pasal 2 ayat (1) dan pasal 598

Mengatur tentang hukum yang hidup di masyarakat. Artinya, masyarakat bisa dipidana bila melanggar hukum yang berlaku di suatu daerah. Pasal ini dikhawatirkan akan memunculkan kesewenang-wenangan dan peraturan daerah yang diskriminatif.

7. Kumpul Kebo

  • Pasal 417 ayat 1. 

Pasal itu mengatur setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan penjara paling alam 1 tahun atau denda kategori II.

8. Hukuman Mati

  • Pasal 67, 99, 100, dan 101 masih menerapkan hukuman mati. 

Pemerhati HAM menilai pasal ini perlu dihapus. 

Pasal-pasal di atas banyak sekali menuai protes dari masyarakat akibat banyak sekali pasal-pasalkaret yakni tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan terkesan hanya mementingkan suatu golongan saja dan dengan mudah jika disalahgunakan untuk kepentingan penguasa, tanpa melihat hak asasi manusia atau kebutuhan rakyat.

Terlebih pasal-pasal tersebut banyak membungkam suara rakyat yang merupakan hak fundamental terlaksanannya hak-hak yang lain, padahal kemanusiaan itu seperti terang pagi, salah satunya terlaksananya demokrasi. Namun, RUKUHP ini mengancam demokrasi hingga terlalu masuk ranah pribadi, padahal dengan bersuara rakyat dapat mengingatkan negara yang kerap luput terhadap tugasnya.

Meski terjadi protes dimana-mana akibat produk hukum tersebut. Salah satunya aksi unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan oleh aliansi mahasiswa dan masyarakat sipil di berbagai daerah pada Senin (23/9/2019) dan Selasa (24/9/2019). Demonstrasi itu digelar di berbagai kota, yakni Jakarta,Bandung, Sumatera Selatan, hingga Sulawesi Selatan.

SAH !
DPR bergeming terhadap protes publik yang mempersoalkan sejumlah pasal. DPR tetap mengetok palunya atas nama masyarakat yang sama sekali tidak mendapatkan keuntungan. Komisi III DPR dalam Rapat Paripurna 11 masa persidangan II, Selasa 6 Desember 2022 mengesahkan RUKUHP menjadi KUHP yang akan berlaku 3 tahun setelah 2024.

Iskan Qolba Lubis, salah seorang DPR Fraksi PKS menyatakan tidak setuju dengan disahkannya
RUKUHP.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan bahwa “Ini menjadi wajah buram demokrasi kita di era Presiden Jokowi. Akan banyak sekali pasal-pasal yang bisa kontradiktif dengan konstitusi. Tidak ada upaya lain untuk memperjuangkan sebuah pembentukan undang-undang konstitusionalitasnya kecuali ke MK (Mahkamah Konstitusi)”.

Berita mengenai pengesahan ini telah sampai hingga surat kabar The New York Times, The
Guardians, The Australian dan Al-Jazirah dengan pandangan yang negatif. Mereka menyatakan
bahwa kebijakan yang dilakukan sangat merugikan, terlebih lagi terhadap investasi dan pariwisata yang baru pulih dari pandemic Covid-19.

Pasal yang diajukan untuk menghormati kekuasaan dengan menekan kebebasan berbicara. Pasal penghinaan, padahal, equality before the law, semua pihak sama di mata hukum sesuai dengan UUD pasal 27. Jika rakyat menghina atasan akan dipenjara, bagaimana jika atas menghina rakyat?

Akankah perlakuan yang terjadi akan sama? Bagaimana jika yang berkuasa melakukan penghinaan terhadap dirinya dengan perilaku korupsi, kerja asal-asalan atau membuat suatu kebijakan yang tidak transparan dan merugikan rakyat?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun