Sudah berjalan satu minggu, tapi nampaknya kasus ini benar-benar belum menemui titik terang. Para polisi, detektif, hingga paranormal turun tangan memecahkan motif dan dalang pembunuhuan ini.Â
Dari berita terakhir yang kudapat, mereka mulai menaruh kecurigaan pada hilangnya organ tubuh dan mulai berdebat dengan teori masing-masing. Para polisi berpendapat bahwa organ-organ itu mungkin dengan sengaja diambil untuk diperjualbelikan di pasar gelap, sedangkan detektif menolak keras teori tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut terlalu lumrah dan terkesan sembrono.Â
Menurutnya, pasti semua kasus pembunuhan di sekolah ini saling berhubungan dan memiliki sebuah rencana kelam yang cuukup rumit, menilik bagaimana cara mereka terbunuh yang terkesan berani dan sangat gila. Kedua teori itu mendapat respon yang jauh lebih sedikit ketimbang teori terakhir yang disampaikan paranormal.Â
Dengan teori yang tersebar begitu cepat, ia berhasil menanam ketakutan besar para siswa maupun guru mengenai sosok mengerikan yang katanya, tengah murka dengan sekolah karena beberapa faktor, faktor gila menurutku. Berbagai nama makhluk halus yang sering kudengar dari film horor pun mendadak ramai disebut. Dan yang paling sering kudengar adalah, kalian tahukan? Kuntilanak dan genderuwo!. Yang benar saja! Dua makhluk itu kebetulan adalah sosok paling menakutkan, setidaknya menurut versiku.Â
Oh, tunggu! Tidak! Tidak! Aku bukan korban selanjutnya kan? Walaupun teori terakhir ini paling menggelikan dan hampir saja aku tidak menaruh percaya sedikitpun, tapi jujur saja tubuhku sedikit merinding apalagi mengingat jika aku tinggal seorang diri di kontrakan.Â
Yeah, ayah dan ibuku memutuskan berpisah tiga tahun lalu dan dari pada ikut salah satu dari mereka yang jelas-jelas sangat problematic, aku memutuskan mengontrak rumah seorang diri.
***
Setelah hampir dua minggu, sekolah berhenti diliburkan. Tentu saja desas-desus tentang kuntilanak dan genderuwo itu tetap semarak, bahkan mengalahkan kasus pembunuhan itu sendiri. Ketika melewati gerbang sekolah, tiba-tiba bulu kudukku berdiri.Â
Anwar, satpam yang bersama Setyo pada hari kematian Maya saat itu, kini tengah menatapku tajam dengan sorot mata penuh... kebencian? Oh, kenapa ia menatapku seperti itu? Kulihat Setyo tengah meminum kopinya sambil terus bercerita panjang lebar pada Anwar yang tentu saja hanya sesekali menggubris karena terus memerhatikanku.Â
Aku tercekat selama beberapa saat tepat ketika ingatanku kembali melayang tentang bagaimana ekspresi berbeda yang ditunjukkan Anwar malam itu. Ekspresi yang diam-diam bertolak belakang denganku dan Setyo pada malam di mana kami melihat mayat Maya.Â
Anwar....bolehkah aku merasa takut padanya saat ini? daripada memikirkan hantu-hantu penunggu sekolah, justru aku lebih takut dan curiga kepada Anwar. Apa ia mengetahui sesuatu tentang kasus ini? atau jangan-jangan...