Kurekatkan punggungku pada almari yang tadi baru saja kubuka, berharap almari itu dapat menyedotku pindah ke tempat lain saat itu juga. Tapi tidak! Anwar justru semakin mendekat bersama pisau mengkilatnya yang haus akan kematian dan aku... hanya bisa pasrah, apakah aku selanjutnya? Kedua mataku terpejam dan tak lama kemudian...bruk!! MATI!!
 Dengan menyunggingkan senyum sinis, kubuka mataku sambil melipat kedua tangan penuh keangkuhan dan berucap lirih, "kau cukup pintar rupanya. Tapi sayang, kepintaran itu justru membuka jalan kematianmu sendiri!".
Sambil memandang tubuh Anwar yang tidak lagi menyisakan nyawa, kupungut proposal yang sengaja kujatuhkan dan menatap sosok di depanku yang tengah mengenggam sebuah clurit tajam penuh darah. Ia meyeringai puas.
"Kali ini giliranmu kan? Aku harus menyerahkan nama-nama korban selanjutnya pada bos kita.", sosok itu terkekeh melihat bagaimana aku berjalan menginjak dada Anwar yang ada di hadapannya.
"Oh, aku lupa mengatakannya. Bisakah kau membuatnya jauh lebih mengerikan dari tiga ayam sebelumnya?, dia cukup membuatku jengkel dan sibuk dengan sedikit berakting ketakutan", setelah itu aku benar-benar pergi dari gedung sekolah meninggalkan mayat Anwar yang akan segera diurus rekan kerjaku, Setyo. Â
Menanti berita baru yang menggemparkan sekolah akan kematian salah satu satpam, aku kembali menjadi siswi lugu yang tengah berduka atas kematian seorang sahabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H