Mohon tunggu...
Rizka Junanda
Rizka Junanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - writer

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Morina Athenia

7 November 2024   21:53 Diperbarui: 7 November 2024   22:09 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sam memandang kalung dengan liontin "Orin" itu dengan pikiran yang terus tertuju pada gadis penari yang sempat ia lihat. Dua hari lalu, Sam menyaksikan pertunjukan tari di seuah gedung kesenian. Para penari di sana bergerak dengan begitu indah. Membuat semua orang akan terpukau ketika melihatnya, mengajak semua orang untuk ikut tersenyum bersama mereka. Tapi, penari dengan selendang hitam itu berbeda. Senyumnya seperti mengandung banyak kesedihan, gerakan luwesnya seperti menggambarkan kepasrahan dan sorot matanya...entahlah, tapi Sam merasa gadis itu tengah kesepian....dan saat keluar dari gedung, Sam melihat gadis itu tersenyum ke arahnya. Tapi, sebelum Sam berhasil ke tempat gadis itu, ia sudah kehilangan jejaknya. Hanya ada kalung yang sekarang tengah ia genggam dan sebuah kertas bertuliskan "jln. Melati No. 3".

            Karena itulah, sekarang sosok lelaki berumur tujuh belas tahun itu berdiri di depan rumah berlantai tiga sesuai alamat yang ada di kertas dalam genggamannya. Mungkin saja, ini rumah si penari. Ia mencoba membunyikan bel rumah. Tak lama kemudian, keluarlah seorang lelaki tua yang mungkin adalah seorag tukang kebun. 

            "Cari siapa nak?", tanyanya.

            "Eh, saya cari Orin, pak... ini rumah Orin kan?" tanya Sam dengan sopan. Mendengar jawaban Sam, sontak bapak itu terlihat begitu gugup. Dengan sedikit takut, ia bertanya kepada Sam. "memangnya adik ini namanya siapa? dan ada hubungan apa dengan non Orin?", Sam menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Benar juga! Apa hubungannya dengan penari yang sama sekali tidak ia kenal itu? Kenapa ia mau repot-repot datang untuk  menemuinya?.

            "Saya...temannya, pak. Sebenarnya belum begitu dekat dan baru ketemu dua hari lalu di gedung kesenian saat dia sedang menari dan, oh iya! dan ini kalungnya jatuh, pak" jawab Sam sambil menyerahkan kalung ke tangan bapak tua itu. Bapak itu terlihat begitu bingung, "dua hari yang lalu? Jam berapa?", tanyanya.

            "Sekitar jam sembilan malam, pak", wajah bapak itu terlihat semakin bingung dan membuat Sam mulai curiga.

            "Memangnya kenapa, pak?", tanya Sam. Sang bapak terlihat begitu cemas dan mengajaknya masuk ke ruang tamu setelah menoleh ke kanan kiri dengan was-was. Saat masuk ke rumah megah itu, Sam bisa merasakan kesunyian di sana. Seperti tidak berpenghuni...tidak pernah ada tawa di sana...satu-satunya yang membuat rumah itu masih terasa hidup bagi Sam adalah foto Orin yang tengah tersenyum manis dengan  dress hitam selutut.

            Cantik..., pikir Sam.

            "Jadi, Orinnya ada, pak?", tanya Sam. Bapak itu terlihat semakin bingung.

            "Non Orin...sudah dua hari ini tidak pulang dan tidak ada seorang pun yang tau kemana perginya, nak.", jawabnya dengan lancar setelah beberapa kali menghela napas.

            Dua hari yang lalu?, pikir Sam sembari mengingat-ingat pertemuanya dengan Orin.

            "Hilang? Maksutnya?", entah apa yang dipikirkan Sam. Walau belum begitu mengenal Orin, tapi ia rasa...kepedulian terhadap gadis itu tiba-tiba muncul denga kuat setelah malam di mana ia melihat sorot mata Orin yang begitu sendu.

            Si bapak bercerita bahwa mungkin saja Orin pergi karena kakak tirinya. Semenjak ayah dan ibu tiri Orin sering pergi ke luar kota, kelakuan Mawar -sang kakak tiri- begitu kasar. Ia sering memperlakukan Orin dengan begitu kasar dan jahat.

            Sam mengangguk paham. Mungkin saja...gadis itu pergi ke gedung kesenian untuk menghilangkan kesedihannya. Mungkin saja! Sam harus kembali ke sana! Tak lupa ia ucapkan terimakasih kepada lelaki tua itu dan berajak pergi. Sayangnya, ia tidak menyadari gelagat aneh si bapak tua...

***

            Dugaan Sam benar. Dalam gedung yang luas itu, ia bisa melihat seorang perempuan cantik yang tengah meliukkan tubuhnya dengan begitu indah. Mengayunkan kaki dan tangannya sesuai iringan musik seorang diri.

            "Tarian kamu bagus", puji Sam sambil berjalan mendekati Orin. Suaranya terdengar begitu jelas di tengah gedung yang memag hanya ada mereka berdua.

            Orin menghentikan tariannya dengan kaget dan langsung menatap Sam.

            "Minum dulu", Sam menyodorkan sebotol minuman yang sudah ia bawa sedari tadi untuk Orin.

            "Terima kasih", tolak Orin lembut. Perempuan itu melepas selendangnya dan duduk di lantai sambil meluruskan kaki.

            "Kenalin, aku.."

            "Sam. Aku tahu kok. Kamu anak SMA Berlia. Iya kan?" Sam tercengang. Bagaimana ia bisa tahu?.

            "Kamu tahu dari mana?", tanya Sam. Ia kemudia ikut berselonjor kaki di samping Orin. Perempuan itu tertawa riang sambil mengibaskan tangannya di depan wajah.

            "Udahlah! Nggak penting. Oh iya, kamu ngapain ke sini sendirian?"

            Sam mengedikkan bahunya.  

            "Lagi pengen aja. Kamu sendiri?".

            Orin menghela napas. Tatapan riangnya berubah menjadi suram. Kemudian, ia menangis tersedu-sedu.

            "Eh, kenapa?", tanya Sam kebingungan.

            Tiba-tiba Orin memeluknya dengan cukup erat.

            "Aku takut pulang, Sam. Ada orang jahat. Dia siksa aku terus...", adunya dengan air mata bercucuran. Sam, entah mendapat dorongan dari mana mulai mengelus punggung kecil Orin.

            "Siapa...siapa yang jahat, Rin?", tanya Sam.

            Orin melepas pelukan dan menghapus air matanya.

            "Kak Mawar...dia...kakak tiriku, Sam. Awalnya hubungan kami cukup baik, tapi semenjak ayah dan ibu pergi ke luar pulau dua bulan lalu,...dia siksa aku terus...aku capek, Sam...", adu Orin. 

Sam tahu. Ia mengetahui semuanya dari cerita si bapak tua tadi pagi.

            "Terus, sekarang kamu tinggal di mana?", tanya Sam. Orin menunjuk ke arah selatan dengan gemetar di sela tangisnya. Ah, entahlah! Sam tidak tahu di mana tepatya maksut Orin. Tapi, paling tidak ia tahu bahwa gadis itu sudah punya tempat tinggal untuk beristirahat.

            Sejak saat itu, setiap sore Sam selalu menemani Orin menari dan mendengarkan semua ceritanya. Sejak saat itu juga...diam-diam Sam mulai menyukai Orin...

            Awalnya semua berjalan dengan normal. Sampai pada hari ke tiga, Sam mulai mencium bau tidak sedap dan anehnya...hanya dialah yang sadar. Pada hari ke empat, entah mengapa Orin tidak sampai berbicara sedikitpun. Ia terus menari sampai sore dengan wajah datar tanpa ekspresi dan setelah itu, pulang tanpa memandang dan berucap sepatah kata pun kepada Sam. Sam kebingungan, tentunya. Ada apa dengan Orin? Apa Sam berbuat salah?

            Hari berikutnya Sam kembali datang namun, kosong! Tidak ada Orin di sana! Ia hanya menemukan secarik kertas lusuh yang ternyata ditujukan kepadanya.

Untuk Sam,

           

                                    Terimakasih karena sudah mau menemani dan mendengarkan semua ceritaku, Sam. Aku sangat senang karena bisa mengenalmu, walau kita sudah sangat jauh berbeda. Sam, kamu tahu? Jika boleh meminta, harusnya malam itu aku ingin di luar rumah saja agar "dia" tidak bisa menyakitiku. Tapi, ah... ini memang sudah menjadi takdirku. Lagi pula, aku sudah sangat merasa cukup karena telah bertemu denganmu. Akan sangat membahagiakan lagi jika kamu mau membantuku sekali lagi, Sam

                                    Tolong, masuklah ke gudang belakang bersama pembantu rumahku dan kita akan bertemu kembali...


            Morina Athenia

***

            Sam benar-benar seperti ditampar berulang kali. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ternyata gadis yang sudah ia kenal selama berhar-hari itu sudah tiada...

            Orin....Morina Athenia. Gadis cantik, periang, dan pecinta tari itu ternyata telah tiada dibunuh dengan sadis oleh kakak tirinya sendiri di gudang lantaran merasa cemburu. Mawar, perempuan berumur 20 tahun itu merasa cemburu lelaki yang selama ini ia cintai malah bebalik mencintai Orin, adik tirinya sendiri.

            Orin dibunuh tepat saaat pertunjukan tari dimulai...

            Sam berdiri memandang garis polisi yang melintas di sekitar gudang. Masih cukup ramai. Ada polisi, wartawan, Mawar yang tengah dikawal polisis dengan kedua tangan terborgol, beberapa pembantu, ayah dan ibu tiri Orin yang terus menangis histeris. 

           Sam merasa ada yang kurang. Di mana bapak tua yang beberapa hari lalu ia temui? tidak ingin terlalu memikirkannya, ia mengalihkan pandangan dari kerumunan orang yang masih berduka di sana. Sam menghela napasa lega karena telah berhasil membantu Orin, walau memang tak bisa dipungkiri ada rasa sedih dan kecewa karena tidak akan bisa bertemu lagi.

            Sam mulai melangkahkan kaki untuk pulang, namun tiba-tiba langkahnya terhenti lantaran dua sosok di depannya. Berdiri tepat di pintu gudang membelakangi orang-orang, dua sosok pucat itu tersenyum memandangnya. Dua sosok, Orin dan bapak tua...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun