Mohon tunggu...
Rizka Junanda
Rizka Junanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - writer

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Sepasang Sepatu

7 November 2024   00:30 Diperbarui: 7 November 2024   00:41 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            "Sebentar lagi kan Kia akan sekolah TK, lalu Kia akan tumbuh besar hingga kelak bersekolah tinggi di kota. Kia akan tumbuh besar dan cantik memakai sepatu itu. Sepatu dari bapak untuk Kia...", jelas Bapak. Aku sebenarnya tidak sepenuhnya paham apa maksut Bapak. Tapi, satu hal yang aku pahami. Sepatu itu untukku...dan aku sangat senang.

            Bapak memelukku sampai aku tertidur pulas. Sebelum jatuh tertidur, samar-samar kudengar Bapak berbisik, "Kia akan jadi anak hebat! Anak bapak akan jadi orang hebat di luar sana! Pakai sepatu itu kelak ya, nak...". saat itu aku hanya menangkap suara Bapak agar aku memakai sepatu itu dan kata anak hebat. Yah, hanya itu dan setelahnya aku terlelap dalam dekapan Bapak.

            Malam itu aku bermimpi melihat punggung Bapak yang terlihat menjauh dari rumah dan berjalan ke arah laut. Aku berdiri di ambang pintu tanpa bisa bergerak sedikit pun. Menatap punggung tegap Bapak yang mulai menjauh bersama perahu nelayan yang ia tumpangi. Dalam mimpi itu, saat melihat kepergian Bapak aku merasa begitu merindukan sosok tersebut. Aku ingin berlari ke laut dan meminta Bapak untuk tetap di rumah dan memakaikan sepatu untukku. Sepasang sepatu dari Bapak...., saat itu aku takut Bapak tidak bisa melihatku memakai sepatu pemberiannya.

Dan benar saja, mimpi itu menjadi kenyataan..

            Bapakku yang perkasa dan telah lama bersahabat dengan laut itu tidak pernah pulang untuk mengajakku ke pasar lagi. Bahkan, memeluk tubuhku seperti delapan belas tahun lalu juga tidak pernah ia lakukan. Malam itu, untuk terakhir kalinya aku merasakan pelukan dari sosok Bapak. Bapak bersama nelayan-nelayan lain dalam perahu itu memilih rumah  mereka di laut. Dulu, kukira Bapak tersesat karena laut pastilah luas. Mungkin, beberapa hari kemudian Bapak akan kembali dengan kulit coklat dan kotak- kotak penuh ikan seperti biasanya. Yah....Bapak pasti hanya tersesat. Tapi, jika tersesat kenapa tidak kunjung kembali?

            Setelah malam itu, aku terus menunggu kepulangan Bapak sambil memeluk sepatu biruku di tepi laut seorang diri. Melihat-lihat apakah Bapak akan tiba-tiba muncul di tengah nelayan yang sampai di daratan. Tidak! Aku tidak menangis. Hanya memandang lurus ke arah birunya laut. Bapak hanya tersesat dan pasti akan kembali, itu keyakinanku. Berulang kali Emak dan para tetangga membujukku untuk pulang ke rumah. Merasa iba pada sosok gadis berumur lima tahun yang setiap pagi dan sore berdiri sambil memeluk sepasang sepatu di tepi laut. Mereka semua terus mengatakan bahwa Bapak telah tenang, apa maksutnya? tenang bagaimana? Apa mereka semua tidak tahu? Bapak akan kembali lalu melihatku memakai sepatu biru ini. iya! Bapak akan datang dan memelukku saat tiba waktunya. Aku hanya perlu terus menunggu kakiku tumbuh agar sepatu ini bisa dipakai dan saaat itulah, Bapak pasti akan datang. Pikiran itu yang selalu kutanamkan hingga sekarang...

            Dan inilah waktunya.

            Delapan belas belas tahun setelah malam itu.

            Bapak, Kia sudah memakai sepatu ini.

            Kia bangga memakai sepatu yang kata orang-orang sepatu jadul. Mereka tidak tahu saja kisah sepatu ini. Benar kan, pak?

            Kia sudah lulus sekolah tinggi, pak. Kia lulus sambil memakai sepatu biru pemberian Bapak dari pasar rakyat. Saat nama Kia disebut sebagai lulusan terbaik, Emak menangis, pak. Emak adalah perempuan hebat dan tegar. Bapak tahu? Emak tidak pernah mengeluh selama membesarkan putrimu ini seorang diri. Emak selalu menemani dan mengajarkan bahwa hidup kami harus tetap berjalan walau apapun yang terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun