Mohon tunggu...
Rizka Junanda
Rizka Junanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - writer

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Sepasang Sepatu

7 November 2024   00:30 Diperbarui: 7 November 2024   00:41 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Peristiwa itu terjadi delapan belas tahun yang lalu.

            Umurku lima tahun saat Bapak membelikakan sebuah sepatu dari pasar Rakyat, sebuah pasar tradisional di desa. Sebelumnya, Bapak tidak pernah membelikanku barang, Ah! maksutnya menggandeng tanganku ke pasar untuk membeli barang khusus untukku. Biasanya Emak yang melakukannya. Tapi, hari itu aku senang. Bapak terlihat berbeda. Ia terus membuatku berada di sisinya, membuatku tertawa dengan berbagai cerita lucu dan menciumku berkali-kali. Hal yang sangat jarang dilakukan oleh Bapak.

            Tangan besar dan kasar Bapak terus menggandeng tangan mungilku saat kami menelusuri jalan pasar. Sesekali rambut bergelombangku yang dibiarkan tergerai mengganggu wajah hingga terasa gatal. Sebelumnya, aku tidak tahu apa yang akan dibeli Bapak, kupikir ia akan membeli jaring untuk miyang[1] malam nanti atau keperluan lainnya. Aku tidak berani banyak bertanya kepada Bapak karena memang dari dulu Bapak jarang berbicara dan terkesan cuek, membuatku banyak menyimpan tanya yang kemudian baru kuutarakan kepada Emak. Tapi, kali ini tanyaku segera terjawab begitu Bapak berhenti di sebuah jajaran sepatu. Oh.....Bapak ingin membeli sepatu...,eh? Tapi, Bapak tidak pernah memakai sepatu.....

            "Kesukaanmu warna biru kan, Kia?", tanya Bapak tiba-tiba.

            Aku mengangguk sambil memperhatikan Bapak yang sibuk melihat-lihat sepatu. Aku berteriak girang dalam hati, berpikir bahwa Bapak akan membelikan sepatu untukku karena sebentar lagi aku akan bersekolah. Ketika Bapak mengangkat sebuah sepatu kain berwarna biru dengan garis putih berukuran besar, aku langsung merasa kecewa. Itu sepatu untuk perempuan dewasa, mana mungkin bisa dipakai oleh kaki mungilku?

            "Suka sepatu ini, Kia? Sepatu ini sangat bagus kan?", Bapak memperlihatkan sepasang sepatu kepadaku. Aku kembali mengangguk, walaupun kali ini sedikit tidak berminat. Kelihatannya Bapak tidak memperhatikanku dan sudah jatuh cinta pada sepatu itu hingga dengan cepat tanpa tawar menawar seperti yang biasa Emak lakukan, ia langsung meminta penjual di sana untuk membungkusnya dan menyerahkan beberapa lembar uang. Aku tidak tahu berapa dan tidak ingat warna apa. Yang kuingat adalah tiba-tiba kami berdua duduk di depan rumah kayu kami yang kecil, tepatnya di atas dipan yang telah digelari anyaman tikar.

            Bapak semakin aneh.

            Sambil duduk di atas tikar, Bapak mengelus rambutku dengan tangan kasarnya yang entah mengapa terasa begitu nyaman.

            "Dengar suara itu, Kia?", tanya Bapak.

Deburan ombak.....

            "Dengarlah, Bapak. Kan, setiap hari kia juga dengar", jawabku kala itu.

            "Kia suka suara itu?"

            "Em....suka, eh tidak! Eh, bagaimana ya? Kia tidak tahu, Bapak..ah, suka saja deh!", aku menjawab asal-asalan. Tetap sibuk meniup gelembung-gelembung dari mainan yang dibelikan Bapak saat pulang dari pasar tadi.

            "Kia, besok atau kapanpun kalau Kia sedih atau rindu, lihatlah laut itu....Kia tidak boleh menangis terlalu lama dan harus menjadi anak yang hebat dan tidak cengeng...bapak tahu, Kia itu anak baik dan pintar". Saat itu, aku belum paham maksut ucapan Bapak, namun aku selalu mengingatnya. Seharian itu, kuhabiskan waktu bersama Bapak, sedangkan Emak tengah menjual ikan hasil tangkapan Bapak di pasar. Emak pulang saat memasuki waktu dzuhur karena harus membantu tetangga mengolah kripik ikan, katanya.

            Tinggal di pesisir seperti ini membuatku terbiasa dengan bau amis, suara ombak, angin kencang, dan segala aktifitas nelayan-nelayan di sana. Aku juga terbiasa serumah dengan Emak saja jika Bapak pergi miyang berhari-hari. Walau sebenarnya tetap merasa rindu dengan kehadiran Bapak di rumah, tapi aku tidak pernah merengek kepada Bapak untuk tidak pergi ke laut di tengah malam. Aku memerankan peran sebagai anak kecil penurut kepada kedua orang tuanya.

            Dan malam itu tetap sama.

            Aku tetap menjalankan peranku dengan baik. Tidak merengek sama sekali, walaupun rasanya kali ini jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Kali ini, aku tidak ingin Bapak pergi. Aku tidak tahu alasannya, apa karena seharian ini Bapak terus menemaniku?

            Kebersamaan bersama Bapak hari ini ditutup dengan menemaniku tidur di atas ranjang kayu rumah kami sambil menyinggung masalah sepatu pagi tadi. Sambil 

mengelus surai bergelombangku, Bapak berkata, "oh iya, tadi pagi bapak lupa bilang. Sepatu biru itu buat Kia.", tunjuk Bapak ke atas bungkusan plastik hitam di atas almari.

            "Buat Kia? Tapi kan, sepatu itu besar, pak", jawabku sedikit protes. Sebenarnya, tadi aku sudah hampir tertidur, tapi demi mendengar perkataan Bapak tentang sepatu itu mataku kembali terbuka lebar.

            Bapak terkekeh pelan, "memang sengaja bapak belikan sepatu yang besar. Itu sepatu buat Kia saat sudah besar nanti"

            Sepatu itu benar-benar untukku....

            "Sebentar lagi kan Kia akan sekolah TK, lalu Kia akan tumbuh besar hingga kelak bersekolah tinggi di kota. Kia akan tumbuh besar dan cantik memakai sepatu itu. Sepatu dari bapak untuk Kia...", jelas Bapak. Aku sebenarnya tidak sepenuhnya paham apa maksut Bapak. Tapi, satu hal yang aku pahami. Sepatu itu untukku...dan aku sangat senang.

            Bapak memelukku sampai aku tertidur pulas. Sebelum jatuh tertidur, samar-samar kudengar Bapak berbisik, "Kia akan jadi anak hebat! Anak bapak akan jadi orang hebat di luar sana! Pakai sepatu itu kelak ya, nak...". saat itu aku hanya menangkap suara Bapak agar aku memakai sepatu itu dan kata anak hebat. Yah, hanya itu dan setelahnya aku terlelap dalam dekapan Bapak.

            Malam itu aku bermimpi melihat punggung Bapak yang terlihat menjauh dari rumah dan berjalan ke arah laut. Aku berdiri di ambang pintu tanpa bisa bergerak sedikit pun. Menatap punggung tegap Bapak yang mulai menjauh bersama perahu nelayan yang ia tumpangi. Dalam mimpi itu, saat melihat kepergian Bapak aku merasa begitu merindukan sosok tersebut. Aku ingin berlari ke laut dan meminta Bapak untuk tetap di rumah dan memakaikan sepatu untukku. Sepasang sepatu dari Bapak...., saat itu aku takut Bapak tidak bisa melihatku memakai sepatu pemberiannya.

Dan benar saja, mimpi itu menjadi kenyataan..

            Bapakku yang perkasa dan telah lama bersahabat dengan laut itu tidak pernah pulang untuk mengajakku ke pasar lagi. Bahkan, memeluk tubuhku seperti delapan belas tahun lalu juga tidak pernah ia lakukan. Malam itu, untuk terakhir kalinya aku merasakan pelukan dari sosok Bapak. Bapak bersama nelayan-nelayan lain dalam perahu itu memilih rumah  mereka di laut. Dulu, kukira Bapak tersesat karena laut pastilah luas. Mungkin, beberapa hari kemudian Bapak akan kembali dengan kulit coklat dan kotak- kotak penuh ikan seperti biasanya. Yah....Bapak pasti hanya tersesat. Tapi, jika tersesat kenapa tidak kunjung kembali?

            Setelah malam itu, aku terus menunggu kepulangan Bapak sambil memeluk sepatu biruku di tepi laut seorang diri. Melihat-lihat apakah Bapak akan tiba-tiba muncul di tengah nelayan yang sampai di daratan. Tidak! Aku tidak menangis. Hanya memandang lurus ke arah birunya laut. Bapak hanya tersesat dan pasti akan kembali, itu keyakinanku. Berulang kali Emak dan para tetangga membujukku untuk pulang ke rumah. Merasa iba pada sosok gadis berumur lima tahun yang setiap pagi dan sore berdiri sambil memeluk sepasang sepatu di tepi laut. Mereka semua terus mengatakan bahwa Bapak telah tenang, apa maksutnya? tenang bagaimana? Apa mereka semua tidak tahu? Bapak akan kembali lalu melihatku memakai sepatu biru ini. iya! Bapak akan datang dan memelukku saat tiba waktunya. Aku hanya perlu terus menunggu kakiku tumbuh agar sepatu ini bisa dipakai dan saaat itulah, Bapak pasti akan datang. Pikiran itu yang selalu kutanamkan hingga sekarang...

            Dan inilah waktunya.

            Delapan belas belas tahun setelah malam itu.

            Bapak, Kia sudah memakai sepatu ini.

            Kia bangga memakai sepatu yang kata orang-orang sepatu jadul. Mereka tidak tahu saja kisah sepatu ini. Benar kan, pak?

            Kia sudah lulus sekolah tinggi, pak. Kia lulus sambil memakai sepatu biru pemberian Bapak dari pasar rakyat. Saat nama Kia disebut sebagai lulusan terbaik, Emak menangis, pak. Emak adalah perempuan hebat dan tegar. Bapak tahu? Emak tidak pernah mengeluh selama membesarkan putrimu ini seorang diri. Emak selalu menemani dan mengajarkan bahwa hidup kami harus tetap berjalan walau apapun yang terjadi.

            Lihatlah, pak! Kia maju di hadapan ribuan manusia dalam gedung megah ini dan tetap memakai sepatu biru kebanggan yang bertahun-tahun lalu Bapak belikan dari Pasar Rakyat sambil menggenggam tangan gadis berumur lima tahun ini. Bapak, benar-benar tidak mau pulang dan memeluk Kia, ya?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun