Ayah seperti monster yang sedang mengamuk. Ayah memukuli ibu dengan keras seperti ibu tidak merasakan rasa sakit. Terlihat darah sudah mengalir dari bibir ibu. Keadaan ibu yang sudah berantakan dan kesakitan membuatku tak bisa hanya diam saja. Dua saat kemudian, aku mendengar suara cambukan dari luar.
Mendengar hal itu, aku tidak bisa hanya diam saja, aku tidak mau kehilangan ibu. Aku memberanikan diri untuk keluar kamar. Aku langsung menghalangi tubuh ibu. Gerakan ayah pun terhenti. Kulihat mata ayah gelap berkabut karena amarah.
" Cukup Ayah! Cukup!" Pertama kalinya aku berteriak kepada ayah. Aku sudah tidak memikirkan sopan santun kepada ayah. Ibu yang ku lihat kesakitan, membuat ku menangis.
" Jangan ikut campur, kamu hanya perlu diam. Minggir kamu!" Dorongan ayah sangat kuat sekali, sampai aku terjatuh dan kepalaku membentur meja. Aku meringis sambil memegang kepala, untung saja tidak berdarah. Ayah sudah mengangkat tongkat itu lagi, hampir saja mendarat di tubuhku, tapi ibu langsung menghalangiku dan tongkat itu mengenai kaki ibu.
Ayah terus memukul kaki ibu tanpa henti. Aku lihat ibu sangat kesakitan di pukul oleh ayah. Aku hanya bisa diam saja, dan hanya bisa berteriak. " Tolong!!! Siapun tolong..."
Tak lama kemudian ada warga yang datang, akhirnya perlakuan ayah bisa di hentikan, ayah langsung dibawa ke kantor polisi oleh warga. Aku langsung menghampiri ibu, ibu yang sudah terkulai lemah sangat membuat ku takut. Aku benar-benar takut kehilangan ibu. Warga pun langsung membawa ibu yang sudah pingsan ke rumah sakit.
" Ibu, tolong buka matamu, Bu. Jangan buat aku khawatir." Lirih ku sangat takut kehilangan ibu. Dalam hati aku terus memanjatkan doa, agar ibu bisa di selamatkan. Sesampai di rumah sakit, ibu langsung di tangani oleh dokter. Aku terus memanjatkan doa. Kudengar pintu  UGD terbuka, keluarlah dokter.
Aku langsung menghampiri dokter dan bertanya. " Dok, bagaimana keadaan ibu?"
" Kondisi ibumu, belum stabil. Itu disebabkan trauma yang di alaminya. Karena pukulan di kakinya membuat fungs kakinya tidak bekerja lagi." Betapa terkejutnya mendengar itu. " Kamu harus sabar menghadapi semua ini." Ucap dokter menguatkanku.
" Apa ibu mengalami lumpuh? Apa ibu bisa disembuhkan?" Tanyaku tak sabar.
" Lumpuh yang di alami ibumu bisa disembuhkan dengan terapi, tetapi biaya yang harus dikeluarkan tidaklah sedikit."
Setelah beberapa hari kondisi ibu sudah membaik, dan ayah pun mendapat balasan dari perbuatannya yaitu dengan di vonis penjara  selama lima tahun. Mungkin  itu belum cukup untuk menghukum ayah. Aku hanya berharap semoga ayah bisa berubah.
Semua kejadian itu membuatku takut untuk bertemu ayah, aku takut kejadian itu terulang lagi. Tanpa sedikit pun aku melupakan  kejadian itu, aku hanya memikirkan tindakan ayah yang sangat kasar. Aku tidak bisa mengingat ayah yang dulu. Semuanya sudah menghilang.
Ibu sudah di perbolehkan pulang, dan kita pulang kerumah. Tampak ibu sangat takut untuk memasuki rumah. Ada orang yang berbadan besar kerumah untuk menagih hutang, akhirnya kita memutuskan untuk menjual rumah demi membayar hutang  ayah.
Kejadian itu benar-benar membuat kehidupan ku berubah total, aku tidak bisa menjalani hidupku layaknya orang lain. Aku selalu menyerah dengan kehidupan ini, tapi ibu selalu membuatku bangkit lagi dari keterpurukan ini. Terkadang aku merasa marah kepada Tuhan, kenapa aku yang harus seperti ini, kenapa takdirku seperti ini.
Â
Pranggg...
Suara pecahan  menghentikan lamunaku, langsung saja ku bangun. Aku yakin suara itu berasal dari kamar ibu. Aku langsung menghampiri ibu dan ternyata benar, ibu menjatuhkan gelasnya.
" Astagfirullah Ibu...." Tak hanya gelas, ibu pun terjatuh dari kasurnya.
" Biar Tia bereskan semua ini."
Aku langsung membopong ibu untuk berbaring di kasur. Aku juga langsung membereskan pecahan gelas itu. " Maafkan ibu, Nak, ibu sudah merepotkan mu." Ucap ibu.
" Tidak usah minta maaf Bu, ini sudah kewajiban Tia untuk merawat dan menjaga Ibu." Terlihat ibu meneteskan air matanya. Andai saja peristiwa itu tidak terjadi, kehidupan ku tidak akan seperti ini.
Rasanya sakit melihat kondisi ibu seperti ini. Senyuman ibu yang sehangat mentari, lenyap ditelan malam. Hanya ada sendu di wajahnya. Setelah membereskan pecahan gelas, aku langsung mengambil air hangat dari dapur untuk membersihkan tubuh ibu.
" Ibu aku bersihkan tubuh ibu yah.." Ibu hanya mengangguk lemah.
Setelah membersihkan tubuh ibu, aku langsung pamit untuk pergi sekolah
" Ibu, Tia pergi dulu ke kampus kalau ada sesuatu, Ibu langsung telepon Tia."
" Iya Tia, kamu hati-hati dijalan, jangan khawatirkan Ibu."
" Assalamu'alaikum Bu, Tia berangkat." Sambil mencium tangan ibu.
" Waalaikum salam."