Mohon tunggu...
Riza Siti Julaeha
Riza Siti Julaeha Mohon Tunggu... Lainnya - Rizaa_30

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Takdir Semesta

7 Februari 2021   21:07 Diperbarui: 7 Februari 2021   21:15 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Cahaya matahari menyapa di pagi hari, cahaya nya menghangatkan tubuh yang terselimut kain tipis. Kicauan burung terdengar merdu mebuatku semangat untuk mejalani hari, yang tanpa sehari pun merasakan  lelah.

Kehidupanku berubah semenjak beberapa  tahun lalu. Karena peristiwa itu, seluruh kehidupanku berantakan, dan aku harus berjuang untuk bertahan hidup bersama ibuku. Peristiwa itu sempat  membuatku terpuruk, tapi aku harus bangkit demi ibuku.

Namaku Anantia, kehidupanku  hanya sebatas kerja dan belajar. Aku yang harus membagi waktu untuk belajar, bekerja dan merawat ibu. Terkadang sulit dan lelah dengan semua ini. Aku harus bekerja setelah sekolah sempat berpikir ingin seperti yang lain, bermain dengan teman-teman. Tetapi aku tahu, bahwa aku harus mengesampingkan semua itu demi ibu, karena tidak ada keinginanku selain melihat ibu tersenyum.

Aku bangun membereskan tempat tidur , tidak sengaja sudut mataku melihat frame foto, aku langsung mengambilnya. Aku tersenyum, tapi aku tidak tahu apakah kalian bisa mengartikan ekspresiku.
" Andai saja semuanya masih sama seperti dulu..." Aku memandangi foto itu.


Sesaat lamunanku terbang ke beberapa tahun lalu. Saat semuanya belum sekacau ini, saat semuanya masih baik- baik saja. Dulu keluargaku begitu harmonis, ibu yang selau tersenyum di pagi hari dan ayah yang selau menemaniku bermain dan belajar. Ayah yang selalu membuat suasana rumah menjadi ramai dengan semua candanya. Tawa ayah yang renyah, seringkali menular kepadaku.  Dulu hidupku hanya sebatas cukup, semua kebutuhan terpenuhi dan yang paling bahagia adalah aku mempunyai ayah dan ibu yang sangat menyayangiku.

Tapi semua itu berubah, saat pekerjaan ayah memburuk. Ayah bukanlah ayah yang dulu, yang selalu membuat suasana menjadi ceria, ayah yang sekarang ini adalah sosok ayah yang berbeda , ayah yang seringkali marah, ayah yang selalu membentak, ayah yang selalu memukul ibu karena kesal dengan masalah pekerjaannya. Meskipun ibu bilang ayah bertindak seperti itu hanya karena sedang cape, tapi aku tahu hal yang dilakukan ayah tidaklah baik.

Pernah suatu hari, ayah benar- benar sedang marah. Ayah baru pulang dari kantor, langsung melempar tasnya ke sembarang arah.
" Brengsek !!!!!" Ucap ayah marah. Kemudian ayah melempar  vas bunga yang ada di meja . Mendengar suara pecahan yang keras, ibu yang sedang di dapur langsung menghampiri ayah.
" Apa yang terjadi  Yah, kenapa bisa sampai seperti ini?" Ibu bertanya dengan suara yang gemetar. Aku yang hanya melihat dari dalam kamar, takut dengan sikap ayah yang sekarang ini. Memang sudah beberapa hari ini ayah berikap kasar seperti ini, tapi hari ini ayah benar-benar sangat marah.

Mendengar pertanyaan itu ayah langsung melirik ibu, dan berkata. " Aku di pecat Ratih, aku sudah tidak bekerja lagi !!" Suara ayah yang keras mengagetkanku, yang diam membeku di kamar. Dengan pelan ku buka pintu, tak lebar hanya sedikit saja.

Setelah kejadian itu ayah menjadi pendiam, kerjaannya hanya melamun, dan pulang malam. Ayah tidak bekerja lagi, karena ayah selalu ditolak dalam lamaran pekerjaannya. Hal itu membuat ayah tidak ingin bekerja lagi. Ayah menjadi sosok yang tidak bertanggung jawab, sosok yang menjadi tenpramental dan selalu main kasar kepada ibu.

Ayah pulang dalam keadaan mabuk. " Ratih, cepat ambilkan minum !!!" Selang beberapa waktu ibu langsung membawakan minum. " Kamu tuh lama yah, suami minta minum harusnya langsung  kamu buatkan. Dasar istri engga becus." Ibu tampak takut menghadapi ayah yang seperti ini.
" Kamu dari mana saja?" Ibu bertanya dengan suara yang gemetar. Ibu tak berani menatap ayah.
" Bukan urusan mu, kamu hanya perlu melayani ku layak nya seorang istri." Bentak ayah.
" Karena itu, aku berhak tahu apa yang kamu lakukan sampai pulang larut malam setiap harinya."

Ayah berdiri dari duduknya, dan langsung menampar ibu. Saking kerasnya ibu sapai terhuyung jatuh ke lantai. Aku ingin membantu ibu, tapi aku takut dengan sikap ayah yang kasar seperti ini. Aku hanya diam. Menonton semua ini.
Kemudian ibu bertanya. " Apa kau kamu bermain judi lagi, sampai kamu bersikap seperti ini ?"
" Sudah kubilang itu bukan urusan mu!" Ibu sangat lelah dengan sikap ayah yang seperti ini.
" Kenapa kamu seperti ini, apa kamu tahu apa yang sekarang kamu lakukan akan berdampak pada Anantia?" Aku lihat ibu sudah menangis.
" Jika kamu terus seperti ini masa depan Anantia akan hancur karena ulahmu." Lirih ibu.
Mendengar hal itu ayah nampak marah sekali, kemudian  ayah pergi ke dapur  meninggalkan ibu. Tak lama ayah menghampiri dengan membawa tongkat kayu, ayah pun langsung memukul ibu dengan terus menurus, tak hanya itu ayah juga memukul ibu berkali- kali dengan keras. Dari kamar terdengar teriakan kesakitan ibu.

Ayah seperti monster yang sedang mengamuk. Ayah memukuli ibu dengan keras seperti ibu tidak merasakan rasa sakit. Terlihat darah sudah mengalir dari bibir ibu. Keadaan ibu yang sudah berantakan dan kesakitan membuatku tak bisa hanya diam saja. Dua saat kemudian, aku mendengar suara cambukan dari luar.
Mendengar hal itu, aku tidak bisa hanya diam saja, aku tidak mau kehilangan ibu. Aku memberanikan diri untuk keluar kamar. Aku langsung menghalangi tubuh ibu. Gerakan ayah pun terhenti. Kulihat mata ayah gelap berkabut karena amarah.

" Cukup Ayah! Cukup!" Pertama kalinya aku berteriak kepada ayah. Aku sudah tidak memikirkan sopan santun kepada ayah. Ibu yang ku lihat kesakitan, membuat ku menangis.
" Jangan ikut campur, kamu hanya perlu diam. Minggir kamu!" Dorongan ayah sangat kuat sekali, sampai aku terjatuh dan kepalaku membentur meja. Aku meringis sambil memegang kepala, untung saja tidak berdarah. Ayah sudah mengangkat tongkat itu lagi, hampir saja mendarat di tubuhku, tapi ibu langsung menghalangiku dan tongkat itu mengenai kaki ibu.

Ayah terus memukul kaki ibu tanpa henti. Aku lihat ibu sangat kesakitan di pukul oleh ayah. Aku hanya bisa diam saja, dan hanya bisa berteriak. " Tolong!!! Siapun tolong..."
Tak lama kemudian ada warga yang datang, akhirnya perlakuan ayah bisa di hentikan, ayah langsung dibawa ke kantor polisi oleh warga. Aku langsung menghampiri ibu, ibu yang sudah terkulai lemah sangat membuat ku takut. Aku benar-benar takut kehilangan ibu. Warga pun langsung membawa ibu yang sudah pingsan ke rumah sakit.

" Ibu, tolong buka matamu, Bu. Jangan buat aku khawatir." Lirih ku sangat takut kehilangan ibu. Dalam hati aku terus memanjatkan doa, agar ibu bisa di selamatkan. Sesampai di rumah sakit, ibu langsung di tangani oleh dokter. Aku terus memanjatkan doa. Kudengar pintu  UGD terbuka, keluarlah dokter.

Aku langsung menghampiri dokter dan bertanya. " Dok, bagaimana keadaan ibu?"
" Kondisi ibumu, belum stabil. Itu disebabkan trauma yang di alaminya. Karena pukulan di kakinya membuat fungs kakinya tidak bekerja lagi." Betapa terkejutnya mendengar itu. " Kamu harus sabar menghadapi semua ini." Ucap dokter menguatkanku.
" Apa ibu mengalami lumpuh? Apa ibu bisa disembuhkan?" Tanyaku tak sabar.
" Lumpuh yang di alami ibumu bisa disembuhkan dengan terapi, tetapi biaya yang harus dikeluarkan tidaklah sedikit."

Setelah beberapa hari kondisi ibu sudah membaik, dan ayah pun mendapat balasan dari perbuatannya yaitu dengan di vonis penjara  selama lima tahun. Mungkin  itu belum cukup untuk menghukum ayah. Aku hanya berharap semoga ayah bisa berubah.

Semua kejadian itu membuatku takut untuk bertemu ayah, aku takut kejadian itu terulang lagi. Tanpa sedikit pun aku melupakan  kejadian itu, aku hanya memikirkan tindakan ayah yang sangat kasar. Aku tidak bisa mengingat ayah yang dulu. Semuanya sudah menghilang.

Ibu sudah di perbolehkan pulang, dan kita pulang kerumah. Tampak ibu sangat takut untuk memasuki rumah. Ada orang yang berbadan besar kerumah untuk menagih hutang, akhirnya kita memutuskan untuk menjual rumah demi membayar hutang  ayah.

Kejadian itu benar-benar membuat kehidupan ku berubah total, aku tidak bisa menjalani hidupku layaknya orang lain. Aku selalu menyerah dengan kehidupan ini, tapi ibu selalu membuatku bangkit lagi dari keterpurukan ini. Terkadang aku merasa marah kepada Tuhan, kenapa aku yang harus seperti ini, kenapa takdirku seperti ini.
 
Pranggg...
Suara pecahan  menghentikan lamunaku, langsung saja ku bangun. Aku yakin suara itu berasal dari kamar ibu. Aku langsung menghampiri ibu dan ternyata benar, ibu menjatuhkan gelasnya.
" Astagfirullah Ibu...." Tak hanya gelas, ibu pun terjatuh dari kasurnya.
" Biar Tia bereskan semua ini."

Aku langsung membopong ibu untuk berbaring di kasur. Aku juga langsung membereskan pecahan gelas itu. " Maafkan ibu, Nak, ibu sudah merepotkan mu." Ucap ibu.
" Tidak usah minta maaf Bu, ini sudah kewajiban Tia untuk merawat dan menjaga Ibu." Terlihat ibu meneteskan air matanya. Andai saja peristiwa itu tidak terjadi, kehidupan ku tidak akan seperti ini.
Rasanya sakit melihat kondisi ibu seperti ini. Senyuman ibu yang sehangat mentari, lenyap ditelan malam. Hanya ada sendu di wajahnya. Setelah membereskan pecahan gelas, aku langsung mengambil air hangat dari dapur untuk membersihkan tubuh ibu.

" Ibu aku bersihkan tubuh ibu yah.." Ibu hanya mengangguk lemah.
Setelah membersihkan tubuh ibu, aku langsung pamit untuk pergi sekolah
" Ibu, Tia pergi dulu ke kampus kalau ada sesuatu, Ibu langsung telepon Tia."
" Iya Tia, kamu hati-hati dijalan, jangan khawatirkan Ibu."
" Assalamu'alaikum Bu, Tia berangkat." Sambil mencium tangan ibu.
" Waalaikum salam."

Itu adalah rutinitasku di pagi hari, membereskan rumah memandikan ibu. Setelah itu aku akan pergi ke sekolah. Sangat sulit bagi ku untuk menjalani hidup seperti ini. Tak ada teman yang menyemangatiku. Mereka tidak ingin berteman denganku karena aku seorang anak narapidana. Mengapa ayah membuat ku seperti? Tapi  ada seseorang yang tak pernah menganggapku dengan sebelah mata, dia yang selalu menyemangatiku, yang menerimaku apa adanya.
 
Sesampainya di sekolah " Tia...." Teriakan itu membuat kepalaku lansung menoleh.
" Tia, pulang sekolah bisa anterin aku ke toko buku gak?" Tanya nya dengan senyum lesung pipi di wajahnya.
" Boleh aja Ta, tapi aku gak bisa lama soalnya aku harus pergi kerja."
" Oke, yang penting kamu mau menemaniku."
" Kalau gitu ayo kita ke kelas sebelum bel berbunyi." Kita pun langsung pergi  ke kelas.
Bel pun berbunyi tanda berakhirnya pelajaran hari ini. Aku dan Tania langsung saja pergi ke toko buku. Tak hanya membeli buku, Tania pun membeli alat tulis. Setelah membayar kita pun langsung keluar dari toko. " Makasih yah Tia, udah mau anterin aku dan maaf udah menyita waktumu." Ucapnya.
"Tidak usah minta maaf, Ta, aku seneng kok bisa anterin kamu." Jawabku.
Setelah itu, aku langsung berpamitan dengan Tania. " Kalau gitu aku duluan ya Ta."
" Oke, kamu hati-hati yah.." Sambil melambaikan tangannya.

Aku langsung berangkat untuk bekerja. Aku bekerja sebagai pelayan di toko bunga. Hanya ini pekerjaan yang aku punya, toko lain tidak bisa mempekerjakan aku karena aku masih anak SMA. Mungkin dari gaji ini bisa memenuhi kebutuhan sehari --hari, tapi tidak bisa untuk biaya terapi kaki ibu.

Sangat sulit sekali, setelah sekolah aku harus pergi bekerja. Sangat sulit melakukan semua ini, tapi aku harus semangat mengumpulkan uang demi kesembuhan ibu. Karena bagiku tidak ada yang lebih penting selain kesembuhan ibu.
 
Matahari mengundurkan diri tepat pekerjaanku selesai. Setelah membereskan toko, aku pun pamit pulang.
" Bu, saya pamit pulang dulu, semuanya sudah saya bersihkan." Pamitku kepada Bu Ayu yang mempunyai toko itu.
" Iya Nak, ini gaji kamu bulan ini." Menyodorkan amplop dan aku langsung menerimanya.
" Terima kasih Bu, saya pamit dulu."

Aku pun langsung pulang. Sebelum pulang aku membeli dulu soto kesukaan ibu. Setelah  itu aku melanjutkan perjalanan lagi. Sesampainya di rumah aku langsung menuju kamar ibu. Ternyata ibu sudah tidur, aku keluar lagi, tapi terdengar suara yang menghentikan langkahku.
" Nak, kamu sudah pulang, maaf ya, Ibu barusan ketiduran." Ucapnya sambil bangun untuk duduk.
" Tidak usah minta maaf Bu, Ibu sudah makan? Ini aku bawakan soto kesukaan Ibu. Ibu makan yah." Ibu hanya mengangguk, dan aku pun langsung ke dapur untuk mengambil piring. Setelah itu aku langsung menyuapi ibu.
" Maafkan ibu ya, harusnya kamu hanya fokus untuk belajar, tapi kamu harus bekerja demi memenuhi kebutuhan kita."
Kupegang tangan ibu. " Tidak usah minta maaf Bu, buat Tia yang penting ibu bahagia Tia pun akan bahagia."
" Untuk saat ini, yang terpenting bagi Tia adalah kebahagiaan dan kesembuhan ibu." Lanjutku.
Setelah bekerja beberapa lama akhirnya uang untuk terapi kaki ibu sudah terkumpul. Hari ini, aku mebawa ibu untuk terapi, aku sangat senang sekali karena ibu sebentar lagi akan sembuh.
 
Setahun setelah terapi yang dilakukan, ibu akhirnya dapat berjalan kembali. Seketika hidupku bersinar lagi seperti mentari di pagi hari. Hari- hari ku selalu berwarna dengan senyum ibu yang bersinar. Sekarang ibu berjualan kue yang di buatnya sendiri. Mungkin kehidupanku sudah membaik, tapi aku tetap bekerja agar tidak menjadi beban.

Berkat kegigihanku akhirnya aku mendapat beasiswa di kampus impianku. Aku akan terus berusaha memgejar mimpiku menjadi dokter dan akan memberikan yang terbaik untuk ibu. Tania memutuskan untuk kuliah di luar kota, aku sedih mendengar hal itu. Tetapi sama sepertiku, Tania juga ingin menggapai cita-citanya di kampus impiannya.

Ketika mentari terlihat malu- malu menunjukan dirinya, aku sedang membantu ibu mebuat adonan kue. Saat waktunya tiba, aku berpamitan untu pergi ke kampus.
" Bu, aku pamit berangkat kuliah dulu." Ucapku.
" Iya Nak, kamu hati- hati dijalan." Aku langsung mencium tangan ibu dan berangkat ke kampus.

Aku hampir lupa, di kampus aku mempunyai dua teman yang baik ada Rini dan Karin. Aku mengenal mereka ketika sedang OSPEK. Jurusan mereka sama denganku, sehingga kita sering berkumpul. Mungkin saat SMA, banyak yang tidak mau berteman denganku karena aku anak dari narapidana, tetapi sekarang aku anak siapa itu tidak penting. Yang terpenting kita bisa saling berteman.

Kehidupanku sangat berharga, banyak yang telah aku lalui. Siapa pun orang tua kita, dia tetap orang tua kita. Seberapa berat kehidupan yang kamu lalui, jangan menyerah dan terus berusaha.
Saat perjalanan menuju kelas, tiba- tiba ada yang menabrakku.
" Aduh..... Maaf aku engga sengaja." Ucapnya sambil membereskan buku yang jatuh.
Dan betapa terkejutnya dengan orang yang ada di hadapan ku sekarang.
" Anantia?" Tanyanya tidak yakin.
" Tia, Tia, kok malah bengong  sih?" Panggilan itu membuyarkan lamunanku.
" Wil..dan?" Tanya ku ragu, karena tak percaya Wildan ada di sini.
" Eh, malah bengong lagi, mikirin apa sih Tia?" Dia bertanya dengan santai kepadaku.
" Iya ini aku, Wildan teman SMA mu dulu." Ternyata benar dia, Wildan, temanku. Wldan adalah temanku yang menerima aku apa adanya seperti Tania, tapi ketika naik kelas tiga, dia harus pindak ke Medan karena ayahnya ditugaskan bekerja di sana.
" Eh iya, Wil, kamu gimana kabarnya?"
" Aku baik-baik saja, bagaimana kabarmu? Gimana kabar ibu?"
" Baik Wil, ibu juga baik." Jawabku
" Aku engga nyangka bisa bertemu lagi di sini. Apa semuanya sudah membaik?"  Tanyanya lagi.
Sesaat aku melihat Wildan dan menjawab. " Alhamdulillah semuanya nya sudah membaik, kondisi ibu juga sudah membaik, ibu sudah bisa berjalan lagi."
" Alhamdulillah, aku senang mendengar itu." Jawabnya.
" Iya aku juga, sangat senang dengan kondisi ibu saat ini. Kalau gitu aku duluan ya, Wil." Setelah mendengar jawabannya aku langsung pergi ke kelas.

Hari ini, Wildan akan ke rumah untuk menemui ibu, setelah tadi memberi tahu ku. Aku dan ibu menyiapkan makan malam untuk Wildan. Tok, tok, tok. " Assalamu'alaikum..." Terdengar ketukan pintu dari luar rumah dan aku yakin itu pasti Wildan. Aku langsung ke depan untuk membuka pintu.

" Ayo Wil, ibu sudah menunggu di dalam!" Ajakku.
Setelah masuk. " Silahkan duduk, Nak Wildan!" Seru ibu mempersilahkan Wildan untuk duduk.
Wildan pun duduk dan memulai pembicaraan. " Ibu gimana kabarnya? Maaf Wildan baru bisa jenguk ibu sekarang." Tuturnya.
" Tidak apa, Nak. Ibu senang kamu menjenguk Ibu." Setelah itu kita terus berbincang- bincang tentang semua hal. Ibu terlihat sangat senang. Wildan adalah sosok yang baik dan dapat mencairkan suasana.

Tak terasa aku sudah semester tiga, kehidupanku sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Sekarang ibu sudah mempunyai toko kue. Dan pada hari ini juga ayah bebas dari masa tahanannya. Hal itu membuatku sedikit takut. Takut peristiwa itu terjadi lagi, takut trauma ibu kembali lagi. Dan apa yang harus aku katakana jika bertemu ayah. Dan apa yang akan dilakukan ayah ketika bertemu aku dan ibu.

Mingggu ini aku menemani ibu pergi kepasar membeli bahan- bahan kue. Setelah selesai kemudian kita pulag ke rumah. Betapa terkejutnya ketika seseorang sedang menunggu di depan pintu. Itu ayah, seketika ibu memegang tanganku dengan gemetar, aku sedikit takut. Kemudian ayah menghampiri aku dan ibu. Ayah langsung bersujud di hadapan ibu, yang membuatku terkejut.
" Maafkan aku, Ratih. Aku sudah berdosa telah melakukan semua ini, aku ingin memperbaiki semua ini. Ampuni aku, ampuni." Jelas ayah sambil menangis, terlihat ayah sangat menyesali perbuatannya.

Ayah beralih padaku. " Maafkan ayah, Nak. Ayah bukan ayah yang baik untukmu, maafkan ayah. Karena ayah hidupmu menjadi menderita. Ayah benar-benar minta maaf."
" Apakah kalian mau memaafkan aku yang brengsek ini?"  Tambahnya lagi.
Kulihat ibu membantu ayah berdiri kemudian berkata. " Aku sudah memaafkan mu, sebelum kamu memintanya. Kejadian itu sudah aku lupakan." Kemudian ayah melihat kepadaku.
" Ibu saja bisa memaafkan Ayah, apalagi aku, aku sudah memaafkan ayah." Ayah tersenyum kepada ku dan kita bertiga berpelukan. Rasanya sangat senang bisa kembali bersama lagi.

Setelah itu kehidupan ku menjadi sempurna dan utuh dengan adanya ayah dan ibu di sampingku. Dan tak terasa aku sekarang sedang menyusun skripsi, impianku tinggal selangkah lagi.
" Tiaaa.." Teriakan itu membuatku menoleh dan aku tersenyum ke arah mereka.
" Gimana kabar ibu dan skripsi mu?" Tanya Rini.
" Kabar ibu sangat baik, apalagi setelah ayah datang semuanya menjadi lebih baik. Dan soal skripsi lancar seperti air mengalir." Jawabku dengan senyuman di wajahku.
" Kita senang sekali, melihat kamu senang. Kalau Wildan gimana kabarnya?" Tanya Karin sambil menggodaku.
" Kalau Wildan, sebaiknya jangan tanya aku kan kalian tinggal nanya langsung." Jawabku seadanya.
" Terima kasih ya Kar, Rin, selama ini sudah ada di sampingku. Aku selalu bersyukur bisa dapat teman seperti kalian." Lanjutku. Mereka langsung memelukku. Andaikan saja Tania ada di sini pasti dia juga akan merasakan kebahagiaan ini.

Hari ini, aku dan Wildan akan bertemu, aku ingin berterima kasih kepada dia karena selama ini sudah ada di sampingku ketika aku sedang berada di posisi tersulit dalam hidupku. Drrtt...drrttt, getaran di HP ku membangunkan lamunan. Tertulis pesan bahwa dia sudah sampai di kafe, aku pun menyuruhnya masuk. " Hai,Tia.." Sapanya, dan aku tersenyum untuk membalas sapaannya.
" Udah lama nunggu, Tia?" Tanyanya. " Engga kok, aku juga baru sampai." Jawabku singkat. Kemudian kita memesan makanan.
" Wil, ada yang mau aku bicarain sama kamu." Wildan pun menoleh.
" Jadi......" Kata-kata ku terhenti karena pelayan kafe membawakan makanan  yang sudah kita pesan.

Setelah itu, aku melanjutkan kata-kataku. " Jadi, aku ngajak kamu kesini karena aku ingin berterima kasih karena kamu sudah ada di sisiku saat aku membutuhkan seseorang untuk menyemangatiku." Seperkian detik aku berhenti untuk mengambil nafas.
" Sekarang aku sudah mendapat kebahagiaan ku lagi, sekarang semuanya sudah lebih baik. Dan semua itu berkat bantuanmu, Wil." Lanjutku.
" Tak usah berterima kasih Tia, sudah kewajibanku sebagai teman membantu mu. Dan aku merasa senang saat kamu sudah melewati semua ini." Jawabnya.
Setelah itu, kita terus berbincang-bincang. Sungguh beruntung aku mendapat teman-teman yang sangat baik.

Hari yang di tunggu pun akhirnya tiba. Hari ini aku telah lulus dan aku akan mengabdikan hidupku untuk membantu masyarakat. Akhirnya aku dapat membahagiakan keluarga ku. Aku sangat berterima kasih kepada Tuhan, yang telah memberikan kebahagiaan yang begitu besar. Setelah acara selesai, aku, ibu, dan ayah pulang untuk merayakan kelulusanku. Tapi pada saat perjalanan tiba-tiba rem mobil yang kita naiki tidak berfungsi. Hanya beberapa saat mobil itu sudah terbalik.

Aku tidak mengerti dengan semua ini, kulihat ayah dan ibu tidak bergerak, terlihat banyak darah disekitar kepalanya dan rasa nyeri di kakiku sangat sakit. Sebenarnya apa yang terjadi, tiba --tiba kepalaku terasa sakit, dan penglihatanku menjadi kabur dan gelap.

Aku terbangun dengan perban di kepalaku, aku masih bingung dengan apa yang terjadi, kulihat Wildan terus menanyaiku. " Tia, Tia, kamu bisa dengar aku?" Tanya dengan nada yang khawatir.
" Apa yang terjadi Wil, dimana ibu dan ayah?" Wildan langsung memelukku dan berkata. " Kamu harus sabar, Tia. Ayah dan ibu mu sudah tenang di alam sana." Informasi itu membuatku lemas. Tanpa di sadari air mataku mengalir begitu saja.
" Aku ingin bertemu ayah dan ibu, Wil." Pintaku. Tapi saat aku mau turun, kaki ku mati rasa, kaki ku tak bisa di gerakan. Apa yang terjadi padaku? Kenapa dengan kaki ku?
Wildan seperti tahu dengan ekspresiku. " Kakimu mengalami lumpuh.." Aku seakan tertampar mendengar itu, tidak mungkin ini terjadi padaku.

Ternyata semesta belum selesai dengan permainan takdirnya. Aku kira semuanya sudah baik-baik saja, tapi Tuhan sengaja mengambil ibu dan ayahku dan mengujiku dengan kesengsaraan ini. Hidupku seperti tidak ada harapan lagi, aku tidak bisa menjadi dokter karena kondisiku, aku harus melupakan semua impianku,hidupku sudah tidak berarti lagi. Sekarang ini untuk siapa aku hidup. Semuanya sudah mati.

Saat diriku telah menyerah dengan kehidupanku, tak kusangka teman-teman ku ada untuk menguatkan ku terutama Wildan. Berkat mereka juga aku bisa bertahan sampai saat ini. " Kak Tia....." Suara itu membuatku tersenyum. Mereka berlarian kepadaku dan memelukku.
Memang benar, meskipun aku tidak bisa menjadi dokter, tapi dengan kondisiku saat ini, aku bisa mendirikan pondok yang berisi anak-anak yatim dan berkebutuhan khusus. Aku mendirikan pondok ini dengan bantuan teman-temanku.

Menurutku, Tuhan memberikan ujian kepada kita, hanya ingin membuat kita lebih menjadi bersyukur dengan kehidupan ini. Seberapa berat ujian yang kamu terima, jangan  pernah menyerah dan selalu bersabar menghadapinya. Karena Tuhan lebih tahu apa yang baik untuk kita, Semuanya akan indah pada pada waktunya, jika kita bersbar. Jadi, buat kalian harus bisa sabar ya menghadapi semua masalah.

Selesai

Terima Kasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun