Hal inilah yang sangat masuk akal menjadi penyebab 18 delegasi negara Uni Eropa datang ke rumah Kemenangan Prabowo-Sandi. Namun, sayangnya kedatangan tersebut dibaca sebagai bentuk dukungan.
Padahal, jika dukungan maka antara Prabowo dengan 18 Duta Besar itu berada dalam wilayah atau dimensi yang seimbang. Sedang pada pertemuan tersebut, para Dubes itu mendatangi dan tidak bertemu dengan Prabowo. Artinya, Prabowo berada diposisi di atas para Dubes Uni Eropa.
Berdasarkan analisa senior saya, Asyari Usman di Rakyat Merdeka Online (RMOL) pada Minggu 20 Januari 2019, atas alasan 18 Dubes Uni Eropa datangi kantor BPN Prabowo-Sandiaga Uno.
Asyari menilai, ada bentuk khawatiran negara Uni Eropa atas hegomoni China untuk menguasai wilayah Asia.
Dengan cadangan devisa senilai 3.2 Â (tiga koma dua) triliun dolar AS lebih, China melalui program Belt and Road Initiative (BRI) pada 2013 akan menancapkan dominasi global di bidang ekonomi.Â
Bagi Asyari, ini tentu membuat Barat gerah sebab, dikhawatirkan China akan 'menaklukkan' negara-negara lemah di sepanjang jalur sutra melalui kredit bilateral. Negara-negara lemah itu bisa menjadi 'boneka' RRC kredit mereka macet.
Sebagaimana kita ketahui, saat ini hampir semua negara-negara berkembang berdatangan ke Beijing untuk mendapatkan jatah investasi China.
Tentu ini, akan menjadi tantangan tersendiri bagi Prabowo dan kabinetnya nanti. Karena sesuai dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kita pernah memiliki poros Jakarta-Hanoi-Peking yang digagas oleh Soekarno pada masa 65an.
Namun, Indonesia pada masa Pemerintahan Soeharto boleh jadi melalui OKI pernah mencoba membangun Jakarta-Riyadh-Istambul.
Hal ini menunjukan sebetulnya, secara perjalanan sejarah, setiap pemimpin di Republik ini jika mereka benar-benar seorang pemimpin pasti akan menjadi pemimpin dunia.
Lalu poros manakah yang akan dipilih oleh Prabowo Subianto? Apakah Jakarta-Hanoi-Peking ataukah Jakarta-Riyadh-Istambul?