Seperti biasa, setelah makan malam selesai, tepatnya sebelum tidur, mereka berkumpul diruang tamu. Duduk santai sambil berbagi kisah tentang kejadian hari itu disekolah. Sibungsu yang paling bersemangat menceritakan kejadian disekolah. Sedangkan kedua kakaknya, sibuk memainkan ponsel.
Tak berapa lama, Zahra langsung memeluk ibunya. Ia menangis sesenggukan."Ternyata... ini... kah yang mem.... buat Bunda sedih? Pa... pa te... ga," kata Zahra terbata-bata sembari menunjukkan layar ponsel yang berisi gambar sang ayah bersama perempuan lain.
Rania hanya terdiam. Airmata kembali membuncah di pelupuk mata. Sedangkan gadis bungsunya yang tadi berceloteh, terdiam seketika.
Lain halnya dengan Alia, ia langsung terdiam. Duduk tanpa ekspresi yang jelas.
"Bunda, bagaimana nasib kita? Bagaimana?" tanya Zaskia.
"Kita akan baik-baik saja. Mungkin ini jalan yang harus dilalui yang Allah telah tetapkan untuk mengetahui semua hikmah," jawab Rania untuk menenangkan putrinya.
"Namun, Bun,Papa telah memberikan barang-barang mewah milik kita untuk perempuan itu," sambung Alia.
Rania terdiam mendengar hal itu. Ia bingung harus menjawab apa. Hatinya kembali berkecamuk. Andai kamu berkata jujur, Mas. Aku lebih memilih bercerai daripada kamu membuang kami kesini, ucapnya dalam hati.
"Akankah kita hidup miskin, Bun? Semua harta kita mungkin akan diambil alih oleh gadis jalang itu," tanya Zaskia sesenggukan.
"Tidak, Sayang. Itu tidak mungkin terjadi. Bundalah yang berjuang dengan Papa dari nol. Bukan hasil menipu, merampas, atau membodohi orang lain. Bunda dan papamulah yang bekerja sesuai ketentuan. Jadi,itu tidak mungkin terjadi. Allah akan menjaganya, Nak," jawab Rania meski dengan gemetar.
"Pekan depan kami libur sekolah. Kita pulang ke Indonesia, ya, Bun? Kita minta kejelasan kepada Papa," kata Alia.