***
Kekhawatiran dan kebingungan Rania selama ini akhirnya terjawab. Benar-benar menjadi sebuah kenyataan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Kabar dari teman-teman yang didengarnya sangat buruk dan menyakitkan. Suaminya, Fadillah Faroz Alif Husein, sosok lelaki yang telah mengaruniai tiga orang putri, kini telah mengkhinati kepercayaannya. Ia telah mengingkari janji suci yang diucapkan atas nama Allah.
Tanpa pikir panjang, Rania langsung menelepon suaminya. Seluruh umpatan kasar terlontar dari bibirnya. Semua nama yang ada di kebun binatang tak lepas disebutkan. Begitupun dengan yang istilah-istilah di rumah sakit jiwa juga terucapkan.
Rania benar-benar marah, sedangkan Faroz hanya terdiam mendengar kemarahan istrinya lewat telepon. Tak sepatah katapunkeluar dari mulutnya sebagai pembelaan. Ia sadar akan kesalahan dirinya.
Setelah Rania meluapkan semua emosi dan menanyakan akan kepastian itu, Faroz mengakui kesalahannya. Rania pun langsung mematikan ponselnya.
"Apa maksud semua ini, Tuhan?" Rania hanya bisa menangis sambil memprotes kepada Tuhan. "Andai kamu berkata jujur dari awal, Mas. Tidak perlu mengirimkan kami kesini. Di sini tidak ada siapa-siapa. Hidup seperti dalam pengasingan. Kau tega, Mas. Jahat! Bajingan! Jahanam kau, Mas!" ucap Rania yang belum juga puas meluapkan emosinya.
***
Hari sudah beranjaksiang. Jam menunjukkan pukul dua sore.
Di saat hatinya hancur, Rania tetap harus menjemput anak-anaknya disekolah. Sepanjang jalan ia hanya menangis. Tangisan tanpa kata. Ia terdiam dalam linangan airmata.
Begitu juga ketika kembali menuju rumah. Ia tak banyak berbicara pada putrinya. Hanya diam disepanjang jalan. Matanya sembab, tak bisa dibohongi kalau ia habis menangis. Namun, tak satu pun putrinya berani menanyakan perihal apa yang membuat sang ibu menangis.
***