Sampai hoaks yang tercampur baur dengan fakta sehingga lebih sulit lagi dibantah seperti : Jokowi mengutamakan Tenaga Kerja Asing, Jokowi hanya akan mengizinkan Islam Nusantara tidak Islam lainnya, Prabowo akan melakukan makar jika kalah, Prabowo pernah mengancam Habibie.
Dan betapapun bodohnya hoaks di atas, betapapun tidak logisnya, orang tetap akan percaya, karena ini sudah masalah emosional, bukan lagi logika. Saya berani bertaruh potong pohon toge bahwa banyak pembaca Kompasiana percaya bahwa Prabowo adalah pendukung Khilafah atau setidaknya Islam garis keras. Dan orang-orang yang mempercayai ini saya yakin kebanyakan lulusan S1. Bukan orang tidak berpendidikan.
Meskipun disesali, tapi inilah kenyataan dalam demokrasi, semua orang boleh berperan serta. Bukan hanya mereka yang santun, cerdas, beremosi stabil dan berbudi luhur yang boleh ikut berperan, mereka yang bodoh, kasar, berwatak jelek pun boleh ikut berperan. Anak-anak labil pun boleh berperan mengingat usia minimum pemilih adalah 18 tahun, bahkan boleh kurang dari itu jika sudah menikah.
Bahkan orang yang berada didalam penjara dan rumah sakit jiwa pun boleh ikut serta dalam demokrasi.
Semua memiliki hak yang sama. Menyaring mereka yang cerdas, baik dan stabil secara emosional bukanlah suatu pilihan yang logis di alam demokrasi. Dan peserta demokrasi yang berwatak curang, akan menghalalkan segala cara untuk memenangkan "pertempuran" ini. Tanpa memedulikan akibat tragis yang mungkin akan diderita negara ini karena kecurangan mereka.
Produsen Hoaks Profesional
Media dan Media sosial (medsos) adalah dua tempat berkembang biaknya hoaks. Bisa karena ketidak sengajaan, salah quote ataupun karena mendapatkan narasumber yang salah. Bisa juga karena memang dibayar oleh Produsen hoaks.
Produsen hoaks sendiri adalah mereka yang membiayai wartawan, buzzer, redaktur, dll untuk memproduksi dan menyebarkan hoaks sesuai dengan yang mereka inginkan, sesuai dengan strategi yang sudah terlebih dahulu dirancang.
Termasuk juga dalam "menenggelamkan" berita yang tidak diinginkan muncul kepermukaan. Produsen hoaks bisa membayar tenaga administrasi, redaktur, editor, pasukan buzzer untuk ramai-ramai mengedit, menghapus, bahkan menghilangkan sama sekali berita tersebut.
Tidak berarti semua berita di media dan medsos adalah hoaks, tetapi kita bisa menduga, suatu berita yang menjadi viral, hampir bisa dipastikan berada disana karena ada uang dalam jumlah besar untuk menggerakkannya.
Bagai pisau bermata dua
Saat ini medsos menjadi garda depan dalam peledakan hoaks karena akun medsos yang begitu mudah dibuat, dengan profile foto palsu, bahkan dengan nomor hp. Akun-akun ini berjumlah jutaan, dan berperan sebagai follower, yang akan me-like dan comment sehingga berita hoaks akan naik di timeline medsos.
Kekuatan  medsos ini baru benar-benar disadari pengaruhnya semenjak naiknya Jokowi menjadi Gubernur DKI jauh-jauh dari Solo. Generasi tua lalu berbondong-bondong menggunakan jasa buzzer tanpa pengertian yang mendalam terhadap efek nya, bahkan tanpa tahu cara kerjanya.
Menggunakan buzzer bagaikan pisau bermata dua, bisa menyerang orang lain, tapi juga akan bisa melukai diri sendiri. Ini karena mereka punya banyak data yang memang bisa menjatuhkan sipengguna.