Mohon tunggu...
Riza Hariati
Riza Hariati Mohon Tunggu... Konsultan - Information addict

SAYA GOLPUT!!!! Tulisan yang saya upload akan selalu saya edit ulang atau hapus tergantung mood. Jadi like dan comment at your own risk. You've been warned!

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kecurangan Bagian dari Demokrasi, Demikian Pula Hoaks

24 Juni 2019   14:05 Diperbarui: 25 Juni 2019   21:07 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi membaca kabar hoaks. (pixabay/rawpixel)

Saya setuju sepenuhnya dengan pernyataan "Kecurangan Bagian dari Demokrasi", yang ditengarai disampaikan oleh Moeldoko dalam pembekalan saksi TKN, 20-21 Februari 2019 di Hotel El Royale.

Sebagaimana dikutip Antara, Kamis (20/6), Moeldoko menjelaskan bahwa, "Saya (waktu itu) mengatakan kepada (calon) saksi, hey hati-hati dalam sebuah demokrasi yang mengutamakan kebebasan maka kecurangan itu bisa saja terjadi, jadi kamu para saksi harus hati-hati."

Dan menurut saya, dia benar. Sebagaimana sebuah keluarga, terkadang ada anak nakal yang selalu membuat masalah, tapi tetap saja dia bagian dari keluarga itu.

Berdasarkan logika, saat kita menyatakan: Kecurangan Bagian dari Demokrasi maka yang terjadi: saat kita membunuh kecurangan, maka kita membunuh keutuhan demokrasi. Saat kita membunuh hoaks maka kita membunuh kecurangan. Saat kita membunuh mereka yang dianggap sebagai produsen hoaks maka kita membunuh hoaks. Yang berarti: Jadi saat kita membunuh mereka yang kita anggap sebagai produsen hoaks maka kita membunuh keutuhan demokrasi.

*) tentu saja kata "membunuh" di sini merupakan hiperbola yang lebay. But, you get what I'm saying.

Hoaks atau Berita bohong (KBBI) atau--sebagaimana yang dipopulerkan oleh Trump--Fake News, adalah bagian dari kehidupan kita sejak orang bisa bercerita. Berbagai tahayul dan legenda merupakan perwujudan dari hoaks ini, yang begitu kuatnya sehingga dibanyak tradisi malah dianggap sebagai kebenaran.

Alasan pembuatan hoaks bisa bermacam-macam, mulai dari sekedar untuk lucu-lucuan, untuk mempromosikan suatu ide atau produk, sampai hal-hal yang mengerikan, misalnya dengan sengaja ingin menghancurkan reputasi seseorang. Bahkan dalam skala besar hoaks bisa diproduksi untuk memulai suatu peperangan.

Note : Hoaks yang saya bahas disini hanyalah hoaks yang berkaitan dengan dunia politik bukan hoaks satir untuk lucu-lucuan.

Hoaks bisa terwujud dengan sengaja, karena dibayar sebagaimana buzzer kerak neraka, atau karena tidak sengaja, misalnya karena dari awal sebelum membuat berita, sudah mendapatkan data yang tidak akurat atau disebabkan analisa yang tidak tepat.

Percaya pada hoaks adalah hal yang manusiawi
Manusia tidak sempurna, pasti pernah melakukan kesalahan. Jadi adalah hal yang manusiawi saat orang menyimpulkan suatu pendapat yang salah atau sampai jatuh percaya pada hal yang salah. 

Di alam demokrasi, sebagaimana yang dikatakan Moeldoko, orang mengutamakan kebebasan. Termasuk didalamnya, bebas berpikir, berpendapat, mempercayai apapun, sehingga kemungkinan jatuh kedalam hoaks lebih besar.

Terutama kepada hoaks yang memang sengaja dibuat secara detail dan terencana matang untuk satu tujuan. Hoaks seperti ini dirancang untuk menggerakkan emosi manusia, memancing perhatian mereka, mengejutkan mereka sehingga mereka bereaksi lalu kemudian menyebarkannya kepada orang lain.

Dan semakin luas hoaks ini tersebar, semakin banyak pula orang yang akan mempercayainya dengan tingkat kepercayaan yang semakin tinggi.

Orang pandai juga bisa terpengaruh hoaks
Selama ini kita percaya, jika orang berpendidikan tinggi, banyak membaca, atau istilahnya literate, tentulah mereka lebih mudah menghindari hoaks ketimbang mereka yang berpendidikan lemah dan tidak mempunyai akses kepada informasi.

Pada kenyataannya ini sering terbukti salah, justru orang-orang cerdas bisa jatuh kedalam perangkap hoaks ke level yang jauh lebih dalam dengan intensitas yang jauh lebih kuat ketimbang mereka yang biasa-biasa saja.

Misalnya dalam kasus orang-orang pandai yang bergabung kepada organisasi teroris atau menjadi bagian dari kultus fanatik.

Dalam kasus Tokyo Subway Sarin attack, yang dilakukan oleh organisasi teroris Aum Shrinrikyo. Kebanyakan pelakunya adalah mereka yang merupakan lulusan sekolah top di Jepang yang merupakan Dokter, Pengacara, dan Insinyur yang terperdaya oleh hoaks yang dibuat oleh pimpinan Aum, Asahara.

Dia menyebarkan hoaks kepada anggotanya bahwa dunia akan kiamat dan satu-satunya jalan keselamatan adalah dengan mengikuti perintahnya. Hoaks ini menyentuh emosi terdalam dari orang-orang pandai ini, sehingga mereka bukan saja percaya, bahkan sanggup memberikan nyawa mereka.

Orang-orang terpandai pun bisa jatuh kedalam hoaks. Ini karena, hoaks dirancang untuk menggugah emosi orang sedemikian rupa sampai bahkan faktanya bisa selip. Dan dalam kasus orang-orang pandai, dia akan sanggup membentuk sebuat teori yang lebih kuat dan lebih rasional untuk mendukung hoaks yang sudah terlanjur dipercayainya.

Hoaks sebagai bagian kecurangan dalam demokrasi
Produksi hoaks secara profesional melesat sangat tinggi seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial. Banyak politikus terutama dari generasi tua kalang kabut dalam menghadapi kuatnya pengaruh media sosial ini sampai mereka kehilangan kendali dan kebijaksanaan mereka dalam menghadapi berbagai isue.

Lihatlah hoaks yang merajalela pada pemilu kemarin. Mulai dari yang jelas-jelas bloon seperti Jokowi adalah PKI, Prabowo adalah pendukung Khilafah, Jokowi/Prabowo adalah orang Tionghoa, Jokowi/Prabowo adalah orang Kristen, Prabowo pendukung Komunis Tiongkok dan sebagainya.

Sampai hoaks yang tercampur baur dengan fakta sehingga lebih sulit lagi dibantah seperti : Jokowi mengutamakan Tenaga Kerja Asing, Jokowi hanya akan mengizinkan Islam Nusantara tidak Islam lainnya, Prabowo akan melakukan makar jika kalah, Prabowo pernah mengancam Habibie.

Dan betapapun bodohnya hoaks di atas, betapapun tidak logisnya, orang tetap akan percaya, karena ini sudah masalah emosional, bukan lagi logika. Saya berani bertaruh potong pohon toge bahwa banyak pembaca Kompasiana percaya bahwa Prabowo adalah pendukung Khilafah atau setidaknya Islam garis keras. Dan orang-orang yang mempercayai ini saya yakin kebanyakan lulusan S1. Bukan orang tidak berpendidikan.

Meskipun disesali, tapi inilah kenyataan dalam demokrasi, semua orang boleh berperan serta. Bukan hanya mereka yang santun, cerdas, beremosi stabil dan berbudi luhur yang boleh ikut berperan, mereka yang bodoh, kasar, berwatak jelek pun boleh ikut berperan. Anak-anak labil pun boleh berperan mengingat usia minimum pemilih adalah 18 tahun, bahkan boleh kurang dari itu jika sudah menikah.

Bahkan orang yang berada didalam penjara dan rumah sakit jiwa pun boleh ikut serta dalam demokrasi.

Semua memiliki hak yang sama. Menyaring mereka yang cerdas, baik dan stabil secara emosional bukanlah suatu pilihan yang logis di alam demokrasi. Dan peserta demokrasi yang berwatak curang, akan menghalalkan segala cara untuk memenangkan "pertempuran" ini. Tanpa memedulikan akibat tragis yang mungkin akan diderita negara ini karena kecurangan mereka.

Produsen Hoaks Profesional
Media dan Media sosial (medsos) adalah dua tempat berkembang biaknya hoaks. Bisa karena ketidak sengajaan, salah quote ataupun karena mendapatkan narasumber yang salah. Bisa juga karena memang dibayar oleh Produsen hoaks.

Produsen hoaks sendiri adalah mereka yang membiayai wartawan, buzzer, redaktur, dll untuk memproduksi dan menyebarkan hoaks sesuai dengan yang mereka inginkan, sesuai dengan strategi yang sudah terlebih dahulu dirancang.

Termasuk juga dalam "menenggelamkan" berita yang tidak diinginkan muncul kepermukaan. Produsen hoaks bisa membayar tenaga administrasi, redaktur, editor, pasukan buzzer untuk ramai-ramai mengedit, menghapus, bahkan menghilangkan sama sekali berita tersebut.

Tidak berarti semua berita di media dan medsos adalah hoaks, tetapi kita bisa menduga, suatu berita yang menjadi viral, hampir bisa dipastikan berada disana karena ada uang dalam jumlah besar untuk menggerakkannya.

Bagai pisau bermata dua
Saat ini medsos menjadi garda depan dalam peledakan hoaks karena akun medsos yang begitu mudah dibuat, dengan profile foto palsu, bahkan dengan nomor hp. Akun-akun ini berjumlah jutaan, dan berperan sebagai follower, yang akan me-like dan comment sehingga berita hoaks akan naik di timeline medsos.

Kekuatan  medsos ini baru benar-benar disadari pengaruhnya semenjak naiknya Jokowi menjadi Gubernur DKI jauh-jauh dari Solo. Generasi tua lalu berbondong-bondong menggunakan jasa buzzer tanpa pengertian yang mendalam terhadap efek nya, bahkan tanpa tahu cara kerjanya.

Menggunakan buzzer bagaikan pisau bermata dua, bisa menyerang orang lain, tapi juga akan bisa melukai diri sendiri. Ini karena mereka punya banyak data yang memang bisa menjatuhkan sipengguna.

Disatu pihak mereka berhasil menggolkan tujuan mereka, dipihak lain mereka menjadi "sandera" dari tentara bayaran ini. Buzzer akan terus membutuhkan supply dana yang cukup, karena itulah lahan nafkah mereka, sehingga saat tidak didanai lagi mereka akan dengan mudah berpindah kubu. Kalau tidak ada proyek maka mereka akan membuat masalah sehingga tenaga mereka diperlukan.

Karenanya hampir tidak pernah ada kejadian dimana orang yang diuntungkan oleh sekelompok buzzer, berani mengambil tindakan tegas saat kelompok buzzer ini melakukan hal-hal yang melanggar hukum. Kalau pun ada, hanya tepukan ringan saja. Lalu dilepaskan.

Akhirnya negara ini tersandera oleh buzzer, yang kesetiaannya pada persatuan bangsa sangat meragukan. Karena kalau negara ini damai, dari mana mereka bisa mendapatkan nafkah? Urusan dapur mereka jauh lebih penting ketimbang persatuan bangsa.

Media literasi 'kah solusinya?
Satu cara untuk memerangi hoaks yang dianggap paling mumpuni saat ini adalah Media literasi, di mana rakyat diharapkan untuk mengecek kembali data yang mereka temukan di medsos kepada sumber-sumber yang terpercaya. Agar mampu membedakan mana berita benar dan berita bohong.

Tapi ini zaman baru. Ini zaman dimana produsen hoaks bisa membeli atau setidaknya menyogok media resmi, baik didalam maupun diluar negeri. Siapapun bisa membuat website yang kelihatannya sangat profesional dan terpercaya. Bahkan Hacker dari rusia dan Tiongkok pun bisa membuat website untuk mempengaruhi orang Indonesia.

Tidak hanya media, produsen hoaks bahkan bisa mendanai lembaga survey, lembaga penelitian, untuk mendukung data mereka. Lembaga survey dan penelitian ini sendiri bekerja secara benar, tapi apa yang diteliti sudah diarahkan sedemikian rupa sehingga bisa dimanfaatkan dengan baik oleh sang produsen hoaks.

Hal yang juga mengkhawatirkan adalah, posisi buzzer medsos yang begitu kuat, yang bisa menyandera orang-orang yang menyewanya, pada akhirnya justru akan bisa mengendalikan media mainstream. Terutama saat media mainstream terlihat jelas berpihak kepada suatu kepentingan diatas kepentingan rakyat.

Akhirnya rakyat bertanya-tanya bingung : Siapa yang dimaksud dengan "sumber yang terpercaya"?

Atau malah lebih parah lagi, rakyat kehilangan kepercayaannya pada media mainstream, lalu go rogue. Mempercayai hal-hal yang 180 derajat bertentangan dengan media. Sebagaimana mereka yang percaya pada teori konspirasi dan iluminati.

Apakah kita perlu "membunuh" Produsen Hoaks?
Genderang perang bertalu-talu sudah diserukan oleh pemerintah untuk melawan hoaks. Banyak orang sudah ditangkap sebagai bukti, betapa sungguh-sungguhnya pemerintah melawan hoaks. 

Mulai dari anak SMK, yang prefrontal cortexnya belum terbentuk sempurna, diganjar dengan 1.5 tahun penjara. Sampai nenek-nenek usia 70 tahun pun diancam hukuman tujuh tahun karena sudah menyebarkan hoaks.

Tidak ada ampun terhadap hoaks. Begitulah pesan yang ingin disampaikan.

Yang jadi masalah adalah, bagaimana jika pada saatnya, terjadi double misinformasi? Dimana orang yang dituduh sebagai produsen hoaks, ternyata mengatakan hal yang sebenarnya.

Sebagaimana Donald Trump yang menuduh global warming sebagai fake news, sementara Ilmuwan diseluruh dunia sudah menunjukkan bukti yang sangat mengkhawatirkan terjadinya global warming.

Bayangkan kalau Donald Trump adalah Xi Jin Ping dan Amerika adalah Tiongkok. Maka dengan aturan anti hoaks yang sangat ketat, bisa-bisa para Ilmuwan yang menentang sudah dijebloskan kedalam penjara dengan tuduhan sebagai Produsen Hoaks.

Tapi karena kebebasan berpendapat dialam demokrasi, maka para Ilmuwan ini bisa terus bersuara, dengan harapan kelak akan terjadi perubahan dalam pemerintahan.

Selain itu, pembungkaman berlebihan, justru akan membuat orang-orang pergi ke "bawah tanah", membuat gerakan yang tidak bisa dideteksi dan dikendalikan oleh pemerintah. Mudah dipengaruhi oleh ide-ide aneh dan asing. Menjadi bibit malapetaka dikemudian hari.

Jadi bagaimana?

Saya perlu mengingatkan, bahwa saya bukan ahli apa-apa. Jadi saya hanya menyimpulkan saja dari apa yang pernah saya perhatikan dari berbagai sumber.

Cara yang saya rekomendasikan adalah

1. Tegakkan Hukum yang Adil dan bijaksana serta utamakan jalan pengampunan
Sebagaimana saya sampaikan diatas, berbuat salah adalah manusiawi. Sehingga menjatuhkan hukuman haruslah Adil dan bijaksana. Hukuman yang berlebihan memang akan membuat takut orang untuk sementara, tetapi lalu akan menimbulkan dendam kesumat berkepanjangan. Menyebarkan dendamnya kemana-mana.

Utamakan jalan pengampunan. Terutama pada produsen hoaks skala kroco. Jangan rusak reputasi, mata pencaharian bahkan masa depan seseorang hanya karena dia khilaf dan melakukan posting yang salah. Apalagi jika dia mendapatkan informasi dari tangan kedua dan ketiga. 

Kecuali jika hoaksnya memang merupakan hal yang jelas menimbulkan kerugian atau merupakan skema teror dalam skala besar. Maka harus dihukum dengan ganti rugi sampai penjara. Atau pada mereka yang berkali-kali sudah melakukannya. Namun penjara seharusnya betul-betul jadi jalan akhir, saat semua langkah menemukan jalan buntu. 

Apalagi tidak semua orang bisa dipenjara, sehingga saat ada yang dipenjara, bukan keadilan yang dicapai, melainkan ketidakadilan. Karena ada orang-orang dengan kesalahan yang sama, bahkan lebih berat, bebas melenggang kangkung.

Saat orang melakukan kesalahan melakukan postingan hoaks atau berita hoaks, maka perlakukan sebagaimana saat Tirto.id kemarin misalnya saat salah mengutip Ma'ruf Amin: Menghapus postingannya, Melakukan permintaan maaf secara terbuka. Bertobat agar tidak diulangi lagi.

Ya, kita tahu sudah banyak yang terlanjur dijebloskan kepenjara tanpa memperdulikan masa depan mereka. Tapi bisakah kita mulai baru lagi?

2. Dialog
Cara lain yang baik untuk melumpuhkan produsen hoaks adalah menarik mereka keluar dari persembunyian, langsung kemata publik, lalu adakan debat terbuka. Kedua belah pihak memaparkan sudut pandangnya, mengeluarkan semua bukti yang mereka miliki, sehingga siapa yang berbohong akan segera ketahuan.

Ini adalah cara yang digunakan oleh Ridwan kamil kemarin saat ada kasus masjid Iluminati, dan terbukti efektif. (saya bukan tim kampanye RK!)

Ini berbeda dengan menarik pembuat hoaks keruang sidang, yang meskipun sama-sama membuka fakta, tapi berakhir salah satu dipenjara.

3. Jangan gratisan
Salah satu alasan utama kenapa media elektronik dan media sosial merajalela pengaruhnya adalah karena mereka gratis. Hanya bermodal kuota. Orang tinggal klik, dan keluarlah beritanya.

Tapi berita yang berkualitas, berimbang, dengan fakta yang bisa dipercaya, membutuhkan investigasi yang mendalam, dan ini membutuhkan uang yang sangat banyak. Yang berarti berita rentan terhadap pengaruh dari pemberi uang.

Tunjukkan dukungan anda kepada media-media yang baik dan independen, apakah melalui biaya berlangganan berita maupun melalui klik kepada iklan yang dipasang di media tersebut. Juga pada para pegiat media sosial yang punya kredibilitas, yang punya sikap baik, yang netral dan tidak berpihak sehingga sebagai balasannya mereka bisa melaporkan berita dan analisa yang baik untuk anda.

Semoga saya juga bisa konsekwen melaksanakan rekomendasi saya sendiri. Maklum, sering khilaf

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun