Akhirnya Sidang MK selesai juga.Â
Tadi saat penutupan sidang MK Pemilihan presiden 2019, Ketua sidang MK Anwar Usman dalam pidatonya penutupannya, mengingatkan kepada semua orang mengenai betapa beratnya pekerjaan seorang hakim melalui kisah Imam Abu Hanifah.Â
Abu Hanifah, kata Pak Anwar, lahir di Kuffah, Irak, tahun 80 Hijriyah. Adalah seorang yang berkali-kali keluar masuk penjara karena menolak perintah untuk menjadi hakim. Itu karena dia merasa begitu beratnya pekerjaan sebagai hakim, sehingga memilih dipenjara. Bahkan dia sampai diracun, lalu akhirnya meninggal dipenjara.
Saya pun merasa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Abu Hanifah ini lalu bertanya pada kakak google. Terutama bagian tragedi pembunuhannya itu. Dan berikut kesimpulan dari hasil laporan dari kakak google pada saya.
Imam Abu Hanifah adalah pendiri mazhab islam terbesar didunia : Mazhab Hanafi. Mahzab ini terutama dianut di sebagian Timur tengah, India, Rusia, Tiongkok, Turki, Afghanistan, Pakistan, Bangladesh dan sebagainya. Berbeda dengan kita yang menganut Mahzab Syafii.
Abu Hanifah adalah seorang Ulama sekaligus Pedagang yang sukses. Kekayaannya memberikan dia kebebasan yang cukup luas sehingga bisa berpikir secara independen.
Memiliki otak yang cemerlang, kemampuan menghafal yang kuat, disertai kemampuan debat yang sulit ditandingi, Abu Hanifah disarankan untuk memperdalam ilmu agamanya dengan berguru pada ulama setiap hari. Dia belajar dari hampir 4000 orang guru, tapi guru yang punya peranan paling besar dalam hidup Abu Hanifah adalah Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman. Syaikh Hammad untuk pendeknya.Â
Awalnya Syaikh Hammad tidak senang pada Abu Hanifah, karena dia bawel. Banyak tanya dan suka mendebat. Bahkan berani ngotot mempertahankan pendapatnya.Â
Tetapi perlahan bakat dan amalannya terhadap ilmu agama akhirnya malah membuat Syaikh Hammad jatuh sayang padanya. Abu Hanifah akhirnya berguru selama 18 tahun padanya, sampai Syaikh wafat.
Setelah Syaikh Hammad wafat, Abu Hanifah yang ketika itu berusia 40 tahun, menggantikan kedudukannya sebagai pengajar dan pemberi fatwa. Dan ini dijalankannya dengan sangat baik.Â
Kelebihannya adalah dia mampu menggabungkan hukum syara' dengan logika, antara sistem dengan substansi. Dalam masa hidupnya, sekitar 600.000 perkara fiqih diputuskannya. Ulama kecil sampai ulama besar semua merujuk padanya, bahkan sampai sekarang.
Metode Ijtihad Abu Hanifah sangatlah demokratis dan terasa sangat modern bahkan untuk ukuran kita sekarang. Dia akan melemparkan suatu topik permasalahan dalam sebuah forum terbuka, lalu menyampaikan pendapat dan argumentasinya mengenai masalah itu. Semua yang hadir boleh mendebatnya sepuas hati, bahkan sampai seharian.
Abu Hanifah menyatakan, "Kalau kalian berada di tengah masyarakat dan dihadapkan sebuah permasalahan, jawablah sesuai dengan pemahaman yang berkembang di masyarakat. Setelah itu, baru kemukakan pendapat pribadimu beserta argumentasinya". Suatu cara yang keren sekali menurut saya karena tidak memaksakan pemahaman dan pendapat sendiri pada orang yang berbeda.
Kemahsyuran Abu Hanifah sampai pada Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur yang saat itu sedang mencari seorang Hakim Agung. Posisi istimewa yang kedudukannya hanya satu tingkat dibawah sang Khalifah sendiri. Tetapi ini berarti Abu Hanifah akan kehilangan kemandiriannya dan berada dibawah kekuasaan Khalifah.Â
Abu Hanifah merasa, tanpa kebebasan mutlak, akan sulit baginya menjadi hakim yang adil. Karenanya, setelah melakukan Sholat Istikharah, Abu Hanifah memutuskan untuk menolak permintaan Khalifah.
Khalifah Al-Mansur bukanlah seorang yang bisa menerima penolakan dengan baik, dengan murka dia menuntut penjelasan kepada Abu Hanifah :
"Kenapa kamu menolak tawaranku?"
"Maaf Baginda, saya tidak pantas menjabat sebagai Hakim," Jawab Abu Hanifa
"Pembohong!!" Khalifah berteriak murka
"Jika benar saya berbohong sesuai perkataan Yang Mulia, maka itu menjadi bukti bahwa saya tidak pantas menjadi Hakim Agung. Mana boleh Hakim Agung berbohong?"
Dengan marah Khalifah melemparkan Abu Hanifah kedalam penjara ditambah dengan hukuman cambuk. Tapi pengaruh Abu Hanifah saat itu masih cukup besar dikalangan umat, sehingga kemudian akhirnya dia dibebaskan.
Khalifah mencoba lagi membujuk Abu Hanifah dengan uang dalam jumlah besar, agar mau menjadi hakim. Tapi ditolak mentah-mentah, yang kembali menyebabkan Khalifah murka dan kembali menjebloskan Abu Hanifah ke penjara.
Pemarah sekali ya Khalifah ini? Tidak heran Abu Hanifah menolak bekerja padanya. Bagaimana bisa memutuskan dengan adil dibawah Khalifah seperti itu? Sementara sebagai seorang Imam, tentu beliau mengerti hukuman Allah berat sekali kepada Hakim yang tidak adil. Inilah mengapa Abu Hanifah bersikeras menolak jabatan tinggi dengan segala harta yang menyertainya.
Selama dipenjara Abu Hanifah tetap menerima murid, memberikan fatwa, dan tetap memiliki pengaruh kuat diantara umat. Penderitaan Abu Hanifah selama dipenjara menimbulkan kegelisahan rakyat, sehingga para mentri mengusulkan agar Khalifah melepaskan saja Abu Hanifah sebagai tahanan rumah.Â
Berdasarkan beberapa kisah, Khalifah memang melepaskan Abu hanifah, tapi sementara itu makanannya diracuni, sehingga akhirnya beliau meninggal diusia 68 tahun di tahanan rumah.
Kabarnya 50.000 orang mengiringi pemakaman Abu Hanifah, dengan 6 putaran sholat. Barulah setelah sholat Ashar beliau bisa dimakamkan, begitu penuhnya pemakaman beliau.
Demikianlah kisah hidup Abu Hanifah yang sangat mengesankan. Semoga teladannya bisa diikuti oleh hakim-hakim kita, tapi tentunya minus akhir yang tragis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H