Mohon tunggu...
Rizaa Akbar Firmansyah
Rizaa Akbar Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak Kekerasan Rumah Tangga terhadap Implementasi Hak Asasi Manusia di Indonesia

20 Juni 2024   17:56 Diperbarui: 20 Juni 2024   18:05 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Definisi Dan Aspek Hukum Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Tindakan kekerasan berbasis gender di dalam rumah tangga disebut sebagai KDRT. Paling sering, kekerasan ini terjadi dalam hubungan intim antara orang-orang yang dekat hubungannya bersama korban. Contoh dari hubungan tersebut adalah Tindakan suami yang melakukan kekerasan pada Istrinya, seorang ayah melakukan kekerasan terhadap anaknya, seorang paman melakukan kekerasan terhadap keponakannya, dan seorang kakek melakukan kekerasan terhadap cucunya. Selain terjadi dalam hubungan romantis, kekerasan ini juga dapat mempengaruhi mereka yang tinggal di rumah dan bekerja untuk membantu tanggung jawab rumah tangga. 

Selain itu, kekerasan yang terjadi pada kaum perempuan yang dilakukan oleh pihak keluarganya sendiri juga diklasifikasikan sebagai tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan adalah bentuk diskriminasi, perilaku merugikan yang menyerang martabat dari manusia, dan pelanggaran hak asasi dari manusia itu sendiri, khususnya kekerasan di dalam hubungan rumah tangga. Tindakan-tindakan yang ditujukan kepada seseorang, terutama kaum perempuan, yang membuat rasa menderita pada fisik, mental, dan rasa tidak nyaman lain dalam rumah tangga, mencakup sebuah ancaman untuk kekerasan, dipaksa melakukan sesuatu, atau merampas kemerdekaan secara semena-mena, termasuk didalam kategori kekerasan didalam rumah tangga (KDRT). Pasal 1 UU PKDRT menjelaskan KDRT yaitu,

"Perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat  timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga."

Telah terdapat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Selama enam belas tahun, UU No. 23/2004 mengenai Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang sudah mengatur mengenai cara mencegah serta cara menangani kaum wanita yang menjadi korban dari tindakan kekerasan. Negara berjanji untuk melarang tindakan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, mengadili pelaku kekerasan di dalam hubungan rumah tangga, serta melindungi para korban perilaku kekerasan di dalam hubungan rumah tangga di bawah peraturan ini [UU No. 23 Tahun 2004, Pasal 1 (2)]. Kekerasan berbasis gender didefinisikan oleh Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Rekomendasi Umum No. 19 (1992) Komite CEDAW) sebagai berbagai tindakan kekerasan, seperti kekerasan yang menyerang fisik, mental, dan juga pada seksual korban yang terjadi akibat perbedaan jenis kelamin dan sudah mengakar pada golongan masyarakat indonesia. Sementara itu, UU PKDRT mendefinisikan berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual (Pasal 8), kekerasan psikis (Pasal 7), kekerasan fisik (Pasal 6), dan penelantaran rumah tangga (Pasal 9).

Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Adapun beberapa Faktor-faktor yang menjadi  penyebab terjadi kekerasan di dalam hubungan rumah tangga sebagai berikut :

Perselingkuhan

Perselingkuhan adalah faktor yang berkontribusi terhadap kekerasan di dalam hubungan rumah tangga di Indonesia. Ketika seorang suami memiliki istri kedua atau berpasangan dengan wanita lain, atau ketika ia menikah dengan wanita lain, hal ini dapat dianggap sebagai perselingkuhan. Kemungkinan untuk terjadi kekerasan tubuh dan seksual di kalangan hubungan dalam rumah tangga dapat diperburuk oleh perselingkuhan ini. Menurut penelitian, wanita yang memiliki suami memiliki kekasih lainnya memiliki kemungkinan 1,34 kali lebih banyak untuk menjadi korban KDRT daripada perempuan yang memiliki suami setia. Sebagai perbandingan, perempuan yang memiliki suami yang berselingkuh mempunyai kemungkinan 2,48 kali lebih banyak untuk menjadi korban KDRT dibandingkan perempuan yang suaminya tidak berselingkuh.

Masalah Ekonomi

Di Indonesia, faktor ekonomi juga dapat menjadi bagian terhadap tindakan kekerasan di alam hubungan rumah tangga. Hak seorang istri atau anak terhadap ayahnya adalah hak untuk mendapatkan nafkah. Namun, kekerasan ekonomi dapat terjadi ketika seorang ayah mengabaikan atau gagal menegakkan hak ini. Keluarga dapat mengalami perselisihan dan perselisihan sebagai akibat dari kekerasan ekonomi ini. Menurut data, perempuan yang memiliki suami pengangguran memiliki kemungkinan 1,36 kali lebih besar untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan dengan perempuan yang memiliki suami yang bekerja atau tidak.

  • Budaya Patriaki

Elemen lain yang berkontribusi terhadap kekerasan di dalam hubungan rumah tangga di Indonesia adalah kebiasaan patriaki. Sistem patriaki adalah sistem dimana menganggap ayah sebagai kepala keluarga. Anggapan ini membuat perempuan (istri) merasa lemah dan tidak berdaya di dalam rumah dan membuat mereka bergantung pada suami. Dibandingkan dengan perempuan dari keluarga dengan pendapatan 25% teratas, perempuan dari rumah tangga kelas bawah memiliki peluang 1,4 kali lebih untuk menjadi korban kekerasan  yang menyerang fisik ataupun seksual dari kekasihnya.

  • Campur Tangan Keluarga

Kekerasan di dalam hubungan rumah tangga sering kali disebabkan oleh anggota keluarga pihak kekasihnya yang ikut campur. Pernikahan dapat menjadi tegang dan penuh perdebatan ketika anggota keluarga terlibat dalam perselingkuhan. Anggota keluarga yang terlalu ikut campur dapat memperburuk masalah dan membuat pernikahan berisiko mengalami kekerasan fisik dan psikologis. Perceraian dan konflik keluarga sering kali mengakibatkan lingkungan yang beracun serta trauma dan penderitaan bagi pihak korban kekerasan di dalam hubungan rumah tangga.

  • Alkoholisme

Elemen lain yang berkontribusi kepada kekerasan di dalam hubungan rumah tangga di negara Indonesia adalah mabuk atau minum alkohol secara berlebihan. Suami yang kecanduan alkohol sering kali bertindak agresif dan sulit mengendalikan emosinya. Dampak buruk dari kecanduan alkohol, termasuk perubahan ciri-ciri kepribadian, berkurangnya disiplin diri, dan meningkatnya kecenderungan untuk melakukan agresi, dapat berdampak pada hubungan pasangan suami dan istri. Penelitian mengatakan bahwa istri yang mempunyai suami yang memiliki latar belakang pengguna alkohol mempunyai kemungkinan 1,56 (satu koma lima puluh enam) kali lebih besar untuk menjadi korban KDRT daripada istri yang memiliki kekasih tidak pernah minum alkohol. selanjutnya, wanita yang memiliki kekasih sering minum alkohol - sedikitnya sekali dalam seminggu - mempunyai kemungkinan 2,25 (dua koma dua puluh lima)  kali lebih besar untuk mengalami KDRT dibandingkan wanita yang tidak mempunyai suami seperti itu.

  • Penggunaan Narkoba

KDRT juga secara langsung dipengaruhi oleh penggunaan narkoba. Pasangan yang menyalahgunakan narkoba cenderung sering bertengkar dan menggunakan kekerasan yang lebih parah. Suami yang menggunakan narkoba dapat mengalami perubahan perilaku yang parah, kehilangan kontrol diri, dan menjadi lebih cenderung melakukan kekerasan. Dibandingkan dengan kaum wanita yang tidak mempunyai pasangan pengguna narkoba, wanita yang mempunyai suami pengguna narkoba dua kali lebih mungkin mengalami kekerasan fisik atau seksual.

  • Perbedaan Prinsip

Di Indonesia, ketidaksepakatan mengenai nilai-nilai antara suami dan istri sering kali dapat mengakibatkan perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun pernikahan menyatukan pasangan, mungkin masih ada kesenjangan yang sulit dijembatani yang disebabkan oleh perbedaan cara pandang, sikap, dan cita-cita. Pertengkaran yang berpotensi menjadi KDRT dapat dimulai dari perbedaan pendapat serta ketidakmampuan untuk mencapai kesepakatan mengenai masalah-masalah krusial.

Hak Asasi Manusia Dan Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Seperti yang telah diamanatkan oleh UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, korban KDRT harus mendapatkan perlindungan dari hukum. Pasal 10 UU Nomor. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengatur bahwa pihak yang menjadi korban KDRT berhak mendapatkan perawatan medis, penjagaan informasi pribadi, banyuan hukum dan pendampingan, serta bimbingan rohani. Korban juga berhak mendapat perlindungan terutama dari pihak keluarganya sendiri, kemudian advokat untuk mendampingi proses pemeriksaan di pengadilan..

Sesuai dengan ketentuan Pasal 10, UU PKDRT, dijelaskan bahwa korban KDRT memiliki serangkaian hak sebagai korban, yaitu :

  • Perlindungan terutama dari pihak keluarganya, kemudian kepolisian, lembaga sosial, serta advokat;
  • Pemenuhan kebutuhan medis;
  • Menjaga informasi pribadi korban;
  • Didampingi oleh lembaga sosial serta bantuan hukum yang ada;
  • Serta bimbingan secara rohani.

Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Korban Dan Masyarakat

Perkembangan seorang anak dapat terkena dampak negatif dari KDRT, baik secara fisik dan/atau mental. Bahkan, hal tersebut dapat mengakibatkan masalah jangka panjang pada kesehatan fisik dan emosional anak. Berikut ini adalah beberapa dampak KDRT yang menyerang anak-anak. :

  • Kesehatan fisik

Kekerasan tubuh pada anak menyebabkan luka kecil mencakup goresan ataupun memar. Tindakan kekerasan yang parah dapat menyebabkan pendarahan internal, tulang patah, luka dalam, atau bahkan lebih buruk lagi, kematian. Jika anak mengalami cedera serius, pertumbuhannya pasti akan terhambat.

  • Kesehatan mental

Kesehatan mental adalah area kedua di mana kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak memiliki efek. Ini adalah efek lain yang dapat bertahan hingga anak mencapai usia dewasa, yang berisiko mengganggu perkembangan mereka. Gangguan mental seperti attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), stres pascatrauma (PTSD), cemas, depresi, serta ganggaun-gangguan suasana hati lainnya dapat disebabkan oleh KDRT pada anak-anak.

  • Memiliki trauma masa kecil

Trauma yang disebabkan oleh KDRT pada anak bisa berakibat gangguan perilaku, komunikasi, dan relasi serta tantangan kepercayaan. Anak tersebut dapat berkembang menjadi orang dewasa yang agresif, kasar, dan menyalahgunakan narkoba. Lebih buruk lagi, anak muda tersebut dapat mempertimbangkan untuk bunuh diri. Bahkan ada lebih banyak efek lainnya, seperti anak merasa sulit untuk belajar atau menyelesaikan tugas. Mereka mungkin juga merasa takut dan cemas sepanjang waktu.

  • Gangguan perkembangan otak

Perkembangan otak anak juga dapat terhambat oleh efek KDRT.  Korban yang berupa anak anak biasa mendapati gangguan pada perkembangan otak serta kemampuan kognitifnya terkadang mengalami kesulitan dalam berbicara. Selain itu, mereka juga dapat mengalami kesulitan dengan keterampilan dasar dan kemajuan.

  • Kesulitan bersosialisasi

Anak yang menyaksikan KDRT biasanya berjuang menggunakan kepercayaan dan kecemasan. Akibatnya, mereka mungkin mengalami kesulitan untuk mempertahankan hubungan dan berkomunikasi. Mereka mungkin mengalami kecemasan, agresi, penarikan diri, dan rasa tidak aman.

  • Masalah perilaku

Penyalahgunaan oleh orang tua dapat juga mengakibatkan masalah terhadap perilaku pada anak anak yang berlanjut sampai dewasa. Selanjutnya dapat menunjukkan kelainan perilaku, perubahan suasana hati, ledakan emosi, kesedihan yang terus-menerus, hiperaktif, dan bahkan harga diri yang rendah. Kebiasaan tertentu berpotensi menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak, bahkan ketika mereka menjadi lebih dewasa.

KESIMPULAN

KDRT adalah jenis kekerasan yang menyerang perorangan, dapat terjadi dalam hubungan romantis, atau mempengaruhi ibu rumah tangga yang sama. Selama 16 tahun, UU No. 23/2004 telah berlaku untuk menangani masalah ini, dengan penekanan khusus pada perlindungan perempuan yang menjadi korban. Baik pengangguran maupun perselingkuhan suami berpotensi meningkatkan risiko kekerasan terhadap pasangannya. Patriarki, yang memberikan otoritas kepada ayah dalam keluarga, berkontribusi pada kemungkinan lebih tinggi terjadinya kekerasan terhadap perempuan, terutama bagi perempuan berpenghasilan rendah.

Campur tangan anggota keluarga yang berlebihan dapat memperburuk masalah dan menyebabkan kekerasan psikologis dan fisik. Penggunaan narkoba atau alkohol oleh suami juga dapat menjadi katalisator kekerasan. Filosofi moral yang berbeda menyebabkan pertikaian dan KDRT. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 telah secara pasti memberi perlindungan bagi para korban KDRT. Anak-anak juga sangat terpengaruh oleh KDRT, baik secara mental dan/atau fisik. Cedera fisik ringan, masalah kesehatan mental, dan trauma yang berdampak pada perilaku, komunikasi, hubungan, dan pertumbuhan kepercayaan diri, semuanya dapat terjadi pada mereka. Bahkan hingga dewasa, efeknya dapat bertahan lama, mungkin menyebabkan masalah perilaku yang menetap dan bahkan mengganggu perkembangan otak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun