Rutinitasku setelah kehilanganmu tak ayalnya hanyalah tumpukan koran bekas yang beritanya tak lagi menarik untuk dibaca. Tak ada lagi berita hangat setiap pagi dari loper manis yang mengantarnya sampai di beranda kolom percakapan kita. Padahal, hampir genap dua tahun sudah. Pikirku masih berkutat dengan matamu yang meneduhkan.
Sore itu, kuputuskan untuk kembali mengunjungi tempat dimana dulu kita sering menghabiskan waktu berdua: Taman Suropati. Duduk di kursi kayu tua berwarna putih sembari menikmati lantunan nada dari komunitas biola Taman Suropati Chamber adalah cara sederhana kita untuk sejenak menghindar dari karut-marutnya ibukota.Â
Hari itu tak seramai biasanya, mereka kehilangan satu pengunjung setianya. Lantunan biola terdengar tak semerdu biasanya, mereka kehilangan satu melodinya. Merpati yang kau namakan "Luka" —karena sayapnya sempat patah dan kau merawatnya— pun kehilangan seorang pembawa jagung kering untuk santap sorenya.
Pada sebuah tempat duduk batu, lamunanku dibawa melanglang buana oleh semilir angin dari sela pepohonan.
"Hei, sudah lama, ya, kau tidak kesini. Dimana Nir?" sapa lampu taman.
"Iya, dimana Nir? Aku sangat rindu meneduhinya," sahut pohon Mahoni.
"Aku pun rindu jagung kering manis darinya. Tidak seperti jagung milik pak tua berambut putih itu yang hambar seperti tisu," ujar Luka seraya mematuk jagung kering yang kutaburkan di tanah. Tanpa menjawab, aku hanya sedikit tersenyum masam. Mereka berpandangan satu sama lain dengan bingung. Lumayan lama hening tercipta.
"Kau sudah tidak bersama dia lagi, ya?" pecah tempat duduk batu di sebelahku —yang dulu sering diduduki Nir.
"Begitulah." Jawabku singkat.
"Kami turut sedih," syahdan, pohon Mahoni memelukku dengan daun yang digugurkannya. Luka terbang dan hinggap di jari telunjukku.