Aku —tanpa sepengetahuan Nirmala— turut membantu pengumpulan biaya administrasi untuk operasi Nirmala yang setelah aku cari tahu, ternyata sangat mahal dan memiliki kemungkinan gagal pula. Sempat ditolak oleh orang tuanya, namun aku berhasil meyakinkan mereka untuk menerima niat baikku.
___***___
Tiga tahun silam
Koridor rumah sakit tak pernah terasa semencekam malam itu. Hanya ada aku, Panji serta ayah dan ibu dari Nirmala yang tak dapat membendung tangisnya. Waktu berjalan dengan sangat lambat. Aku masih murka teringat kejadian beberapa jam lalu. Selepas berlatih biola dengan komunitas Taman Suropati Chamber, Nirmala mengajakku membeli cemilan di sekitaran Taman Suropati.
"Ke taman bunga bentar yuk, di seberang," pinta Nimala. "Aku duluan, ya." Sambungnya lagi. Aku mengiyakan dan membayar cemilan yang kami pesan. Sesaat kemudian, terdengar bunyi dencitan rem beradu dengan aspal jalan.
NIRMALA TERTABRAK. Mobil putih yang platnya tak sempat kulihat itu langsung menancap pedal gasnya dan menghilang ditelan mobil lainnya.
"KEPARAT!" Umpatku. Jalanan dikerumuni orang yang penasaran dengan apa yang terjadi. Segera aku bersama Panji membawa Nirmala ke rumah sakit dan menghubungi orang tuanya.
Pintu ruang UGD dibuka, muncul sosok dokter bertubuh tinggi dengan stetoskop yang dikalungkannya di leher.
"Bagaimana anak saya, Dok?"
Dengan sedikit menghela napas, dokter tersebut angkat bicara. "Saya punya kabar baik dan kabar buruk." Dokter melanjutkan, "kabar baiknya, anak bapak berhasil selamat, untung saja tidak kehilangan terlalu banyak darah. Lalu, kabar buruknya.."
"Apa, Dok?"
"Sepertinya benturan yang terjadi tadi sangatlah keras, menyebabkan saraf tangan kanannya mati, dan ada kemungkinan harus diamputasi."