Mohon tunggu...
Riyandi Joshua
Riyandi Joshua Mohon Tunggu... Auditor - a monochromepreneur

Seorang auditor merangkap naratulis paruh waktu pada pelbagai media penulisan. Mengabadikan objek dalam goresan pensil, memutar sendi rubik, dan memetik beberapa lagu merupakan kegiatan sampingannya. Mulai menyukai dunia fotografi dengan konsep monokrom dan ingin dikenal sebagai "Monochromepreneur". Menaruh karya komersil di etalase toko buku merupakan impian sampingan yang tengah diusahakannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sore Itu, Mereka Berbicara

11 Agustus 2020   11:44 Diperbarui: 11 Agustus 2020   12:12 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rutinitasku setelah kehilanganmu tak ayalnya hanyalah tumpukan koran bekas yang beritanya tak lagi menarik untuk dibaca. Tak ada lagi berita hangat setiap pagi dari loper manis yang mengantarnya sampai di beranda kolom percakapan kita. Padahal, hampir genap dua tahun sudah. Pikirku masih berkutat dengan matamu yang meneduhkan.

Sore itu, kuputuskan untuk kembali mengunjungi tempat dimana dulu kita sering menghabiskan waktu berdua: Taman Suropati. Duduk di kursi kayu tua berwarna putih sembari menikmati lantunan nada dari komunitas biola Taman Suropati Chamber adalah cara sederhana kita untuk sejenak menghindar dari karut-marutnya ibukota. 

Hari itu tak seramai biasanya, mereka kehilangan satu pengunjung setianya. Lantunan biola terdengar tak semerdu biasanya, mereka kehilangan satu melodinya. Merpati yang kau namakan "Luka" —karena sayapnya sempat patah dan kau merawatnya— pun kehilangan seorang pembawa jagung kering untuk santap sorenya.

Pada sebuah tempat duduk batu, lamunanku dibawa melanglang buana oleh semilir angin dari sela pepohonan.

"Hei, sudah lama, ya, kau tidak kesini. Dimana Nir?" sapa lampu taman.

"Iya, dimana Nir? Aku sangat rindu meneduhinya," sahut pohon Mahoni.

"Aku pun rindu jagung kering manis darinya. Tidak seperti jagung milik pak tua berambut putih itu yang hambar seperti tisu," ujar Luka seraya mematuk jagung kering yang kutaburkan di tanah. Tanpa menjawab, aku hanya sedikit tersenyum masam. Mereka berpandangan satu sama lain dengan bingung. Lumayan lama hening tercipta.

"Kau sudah tidak bersama dia lagi, ya?" pecah tempat duduk batu di sebelahku —yang dulu sering diduduki Nir.

"Begitulah." Jawabku singkat.

"Kami turut sedih," syahdan, pohon Mahoni memelukku dengan daun yang digugurkannya. Luka terbang dan hinggap di jari telunjukku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun