"Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba"
Pembacaan puisi itu mulai seperti orang yang bercerita. Saya jadi teringat perasaan saat membacanya, seolah itu adalah isi hati saya. Seolah sayalah anak Sumba itu, yang sedang merindukan kampungnya. Suasana sekelas pun hening mendengarkan. Tawa yang pecah di awal larut ke dalamnya.
"Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka"
"Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh"
"Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda"
"Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh."
Nampaknya, saya tidak seburuk yang saya pikirkan.
Akhirnya, saya berhasil membawakan puisi Bapak Taufiq Ismail, dengan suara setengah matang remaja di masa puber, meniru sebisa saya gaya beliau yang kharismatik itu. Saya puas saat itu.
Dan pada kesempatan berikutnya saat ada lomba membaca puisi, saya lah yang ditunjuk untuk mewakili kelas. Saya maju ke hadapan juri, membacakan puisi dengan resep yang sebelumnya terbukti, namun kaki kiri saya mendadak gemetar susah berdiri.. Saya siasati seolah-olah itu adalah 'penghayatan'
Sebatas itu semua yang saya ingat dan coba rekonstruksi, dengan puisi "Malu Aku Jadi Orang Indonesia", "Beri Daku Sumba", serta kaki kiri saya yang gemetar di hadapan juri yang paling terekam di ingatan saya. Dilihat dari kosongnya lemari saya, sepertinya tidak berjalan cukup sukses. Meski begitu, saya ingat merasa tetap senang atas kehormatan mewakili kelas. Rekaman deklamasi itu mengantarkan saya sejauh itu. Saat itu sangat membekas di hati saya.
Sepuluh tahun berlalu dan ternyata membaca puisi bisa menjadi sebuah pengalaman hidup yang terkenang.