Kondisi ini bertolak belakang dengan pentingnya peran perempuan untuk perekonomian nasional. Padahal menurut McKinsey Global Institute produk domestik bruto (PDB) nasional bisa naik 135 miliar dollar AS pada 2024 jika tiga kondisi terpenuhi. Yakni, pertama, bila partisipasi perempuan dalam angkatan kerja meningkat. Kedua, bila lebih banyak perempuan bekerja penuh waktu. Ketiga, bila lebih banyak perempuan bekerja di sektor dengan produktivitas tinggi.
Perempuan memiliki jam kerja yang lebih panjang dari laki-laki. Perempuan juga kerap mengerjakan pekerjaan rumah tangga tidak berbayar. Hal ini dapat mengurangi kualitas hidup perempuan.
Dalam dunia ekonomi kreatif, tenaga kerja perempuan lebih dominan. Komposisi tenaga kerja perempuan berada dalam kisaran 53-58 persen atau lebih banyak dari lelaki. Sektor ini diprediksi dapat berkontribusi hingga senilai Rp 1.000 triliun.
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia perguruan tinggi, penulis ingin menggaris bawahi bahwa secara nominal, ternyata perempuan mendominasi program studi STEM di perguruan tinggi.
Persentase perempuan mahasiswa prodi matematika 58 persen, kimia 69 persen, kedokteran 73 persen, biologi 81 persen, dan farmasi 88 persen. Perempuan hanya kalah di fisika dengan persentase 39 persen.
Masalahnya, selepas perguruan tinggi, tidak banyak perempuan yang kemudian masuk dalam industri STEM seperti saat kuliah. Hanya 1 dari 5 perempuan yang masuk ke industri STEM. Hanya 1 dari 4 perempuan yang tetap menjadi peneliti atau ilmuwan STEM.
Napak Tilas Spirit RA Kartini
Raden Ajeng Kartini, lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, adalah sosok yang tidak asing dalam sejarah Indonesia.
Sebagai seorang anak perempuan dari RM Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara, Ia tumbuh dalam keluarga ningrat yang memberinya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.
Sayangnya, seperti kebanyakan perempuan pada jaman itu, Kartini harus menghentikan pendidikannya pada usia muda karena adat istiadat yang belum memungkinkan perempuan untuk sekolah tinggi.