Lily berlari dan menutup pintu dengan sekuat tenaga.
“lagi lagi ruangan yang salah.”katanya dengan terengah engah.
Kini Lily berada di tempat dan dunia yang berbeda lagi. Dia berhenti sejenak dan mengamati tempat ia berdiri sekarang.
“Hidup ini memang seperti Negeri Dongeng. Selalu ada sihir jahat yang menghalangi sebuah keajaiban, dan mengapa semua orang sibuk memikirkan impiannya.” Emosinya kini tak tertahankan.
Terlampau jauh perjalanan yang ditempuhnya, hanya untuk menemukan satu gerbang yang tepat. Perjalanannya kali ini menuju tempat dimana dia pernah menggantungkan impiannya. Tempat itu sudah lama dia tinggalkan.
Ya, dia tinggalkan bersama seluruh kenangan. Kini dia berusaha untuk kembali ketempat itu. Tapi entah pintu mana yang benar, karena sudah terlalu lama dia melupakan impiannya itu.
Rasa pesimis pun menyelimutinya sekarang.
“ah, tidak! Bajuku. Ini pasti ulah para pemain sandiwara itu. Bisa bisanya mereka hidup dalam dua sisi berbeda disaat bersamaan. Tak ada senyuman tulus dari mereka.”
Lily terus menggerutu tanpa sadar dia menabrak seorang gadis yang sedari tadi memperhatikan tingkah laku Lily.
“aw!”
“maaf. Aku benar benar tidak sengaja.”
“tak apa, aku baik baik saja.” Gadis itu tersenyum.
“Lily.”
“Alice.” Menjabat tangan Lily
“senyuman itu..” bisik Lily dalam hatinya.
Sejak ia tersesat dalam labirin impian, Lily merindukan sosok teman. Temannya Dexter, seekor tikus putih, mati karena menjadi korban percobaan ketika ia memasuki ruang impian para scientist.
Lily begitu bersemangat menceritakan tentang petualangannya di setiap ruang impian yang berbeda. Rasanya Alice bukanlah teman yang baru ia temui. Di tengah perbincangan mereka Alice meraih telapak tangan Lily, tiba tiba terpancar cahaya biru dari tangan Alice.
“pena, secarik kertas, satu kantong imajinasi? Apa arti semua ini. Mengapa kau memberikannya padaku?.”
“aku menunggu mu sejak lama Lily. Bawalah. Itu akan membantumu menemukan pintu impianmu.”
“impian ku? impian ku sudah lama aku tinggalkan. mungkin sekarang sudah direbut oleh raksasa pencabut impian, atau mungkin dicuri oleh mereka yang haus akan impian.” Lily nampak kesal. Alice tertawa mendengarnya.
“mereka punya impiannya sendiri, dan mereka tahu bagaimana cara mereka bermimpi dengan impiannya. Tak akan ada yang mengambil impianmu.”
“tapi tidak semua orang mendapatkan impiannya, Alice”
“jika mereka tidak mendapatkan impiannya, mungkin cara mereka bermimpi salah.” Alice tersenyum dan mulai menghilang.
“alice, jangan pergi. Apa mungkin kita bertemu lagi?” Lily berteriak
“kita pasti bertemu,karena mimpi kita sama.”
Alice pun menghilang. Lily berjalan menuju pintu terdekatnya. Ia membuka pintu itu dengan sangat hati hati. Saat pintu itu terbuka ada cahaya terpancar dari balik pintu itu. Mata Lily terbelalak melihat impian di balik pintu itu, bibirnya pun terssenyum melihatnya.
Lily berlari memasuki ruangan yang benar benar dia kenal. Pemandangan yang sangat indah, tidak ada lagi nyanyian aneh, tak ada sandiwara, tak ada lagi ledakan dari percobaan yang gagal. Hanya ada suara goresan dari pena yang menari di atas kertas, saat menciptakan rangkaian kata yang indah. Benar benar dejavu yang indah.
Hadiah dari Alice secara ajaib melayang ke udara dan menari mengelilingi Lily membentuk tulisan “welcome home lily. This your dream. Let’s write what do you wanna write.”
Raut wajahnya memancarkan kegembiraan, Dia menghempaskan badannya pada tumpukan kertas dengan tulisan tulisan indah.
“BRUK!”
“Li, Lily. Kamu baik baik aja?” samar samar terdengar suara gadis. Lily pun membuka matanya.
“oh, aku baik baik aja ko. Alice?” lily terkejut melihat semua mata dalam ruangan itu tertuju padanya. “kita dimana?” Lily terlihat bingung.
“aduh li, ya ini di kelas lah. Kamu pake ada acara tidur segala. Tuh Bu anna udah melototin kamu.” Wajah Lily berubah mulai berubah warna.
“Lily, Sudah kesekian kalinya kamu tidur di kelas pengembangan diri. Minggu depan kamu harus menuliskan impian kamu beserta alasannya, dan jelaskan di depan kelas!” Bu Anna secara tegas memberi Lily hukuman.
“ba.. baik bu.” Lily menundukan kepalanya.
Dia begitu terkejut, ternyata petualangannya hanyalah mimpi. Teman sekelasnya mulai tertawa. Alice hanya dapat menahan tawa, dia mendapati Lily sedang menatap sinis padanya Karena Alice ikut mentertawakan dia.
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H