“tak apa, aku baik baik saja.” Gadis itu tersenyum.
“Lily.”
“Alice.” Menjabat tangan Lily
“senyuman itu..” bisik Lily dalam hatinya.
Sejak ia tersesat dalam labirin impian, Lily merindukan sosok teman. Temannya Dexter, seekor tikus putih, mati karena menjadi korban percobaan ketika ia memasuki ruang impian para scientist.
Lily begitu bersemangat menceritakan tentang petualangannya di setiap ruang impian yang berbeda. Rasanya Alice bukanlah teman yang baru ia temui. Di tengah perbincangan mereka Alice meraih telapak tangan Lily, tiba tiba terpancar cahaya biru dari tangan Alice.
“pena, secarik kertas, satu kantong imajinasi? Apa arti semua ini. Mengapa kau memberikannya padaku?.”
“aku menunggu mu sejak lama Lily. Bawalah. Itu akan membantumu menemukan pintu impianmu.”
“impian ku? impian ku sudah lama aku tinggalkan. mungkin sekarang sudah direbut oleh raksasa pencabut impian, atau mungkin dicuri oleh mereka yang haus akan impian.” Lily nampak kesal. Alice tertawa mendengarnya.
“mereka punya impiannya sendiri, dan mereka tahu bagaimana cara mereka bermimpi dengan impiannya. Tak akan ada yang mengambil impianmu.”
“tapi tidak semua orang mendapatkan impiannya, Alice”