Mayday 2017
Minda mendapat undangan mengikuti aksi penolakan terhadap sebuah peraturan tertinggi mengenai perburuhan. Tidak butuh waktu lama untuk menolak undangan tersebut. Kegiatan itu bersamaan dengan acara mentoring di sekretariat tempat ia ngumpul-ngumpul bersama para mahasiswa.
"Masa nggak bisa absen barang sehari saja Min?" rajuk Novia, melalui pesan singkat berbasis aplikasi.
"Aku udah sering absen Nov, nggak enak sama anak-anak kalo aku nggak hadir terus," elak Minda.
"Iya, tapi 'kan ini kegiatan penting. Nggak bakalan terulang yang kedua kali. Kita akan bergerak secara serentak di seluruh Indonesia."
"Kan kalau satu nggak ikut, nggak papa Nov. Aku bener-benar nggak bisa. Ini udah direncanain dari bulan lalu. Nggak enak kalo dipending lagi," Minda masih mencoba memberi alasan.
"Acaranya kalian sih tetep jalan, nggak usah dipending. Tapi kamu nggak perlu ikut. Delegasiin sama yang lain kek, Minda," rengek Novia. Perempuan itu memang mencari teman demo yang sebaya dengannya. Ia merasa nyaman kalau bisa bergerak bersama-sama orang yang ia kenal dengan baik, sebaya pula. Tapi Minda sudah ada acara. Bagaimana ini?
Minda sedikit kalut. Ia tahu, aksi ini sangat penting karena menyangkut sebuah peraturan yang akan melindungi pekerja seperti dirinya. Tapi bagaimana ya? Masa kegiatan ini harus dibatalkan lagi dan lagi? Apa alasan yang akan kusampaikan kepada para mahasiswa itu? Mengajak mereka ikut demo saja sekalian? Bisa dijitak para senior mereka nanti.Â
***
New Year 2018 di Kota Kentjana
Ini baru hari ketiga Minda berada di kota flamboyan ini. Meskipun demikian, Minda tampak penuh semangat untuk mulai beraktivitas. Sengatan matahari pagi malah membuatnya bersemangat keluar rumah. Agendanya hari ini adalah mengunjungi Mbak Puspa, karibnya semasa  kuliah dulu.Â
Mbak Puspa itu orangnya idealis, tidak suka neko-neko untuk urusan pekerjaan. Tapi pada saat yang sama, ia juga realistis. Kalau ada sesuatu persoalan, ia cepat sekali mengambil keputusan.Â
Dulu waktu Minda ada sedikit masalah dengan Taufan, mbak Puspa tanpa tedeng aling-aling membela Taufan. Sebal rasanya diperlakukan demikian. Tapi Puspa punya alasan.Â
Pertama, Minda memang bersalah. Kedua, ia tidak ingin tampak nepotis, membela pihak yang bersalah hanya kerena orang itu memiliki hubungan pertemanan. Minda akhirnya bisa menerima sikap mbak Puspa dan merasa aman bersahabat dengan seseorang yang tidak membelanya membabi buta.
Sebelum ke rumah Puspa, Minda mampir ke toko buah. Untuk buah tangan.
Mbak Puspa bersorak senang menyambut kedatangan Minda. Terakhir bertemu, perut mbak Puspa masih rata. Sekarangpun tetap rata, tapi sudah ada 3 anak di rumahnya. Lama sekali rupanya mereka tidak bertemu. Lalu mengalirlah obrolan sana-sini.Â
Tentang kesibukan si mbak yang pergi pagi pulang malam. Tetapi sangat cakap menjaga keharmonisan keluarga. Ia dan suaminya bahu-membahu mengasuh ketiga anak mereka, dan mengatur pekerjaan rumah tangga.
Di sela keseruan membicarakan masalah pekerjaan, Minda dengan santai menanyakan apakah di kantor tempat Puspa bekerja sudah ada SP. "Apa itu SP, Min?"
"Serikat Pekerja, mbak. Kan ada UU-nya" jawab Minda lugas.
"Oh, dikirain Serikat Persaudaraan, hehe."
"Haha ... kalau itu sih di gereja," canda Minda.
Tapi suasana canda tidak berlangsung lama, sebab sejurus kemudian mbak Puspa menegaskan bahwa di kantornya semua urusan kepegawaian sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku. "Untuk apa ada SP lagi, 'kan semua peraturan sudah dipenuhi perusahaan kami?" nada suara Puspa terdengar agak tinggi kali ini.
"Ooo iya ya," hanya itu yang bisa dikatakan Minda. Disela-sela penjelasan mbak Puspa yang sudah sering ia dengar, Minda menanggapi dengan kalimat 'ohhh' berkali-kali. Tanda ia sepakat dengan Puspa.
Baiklah, aku mengerti, batin Minda. Sejak kapan di depan kita ada jurang lebar ya? Mungkin sejak aku bergaul dengan teman-teman aktivis itu, desah hati Minda.Â
Lalu ia menanti, kapan saat yang tepat untuk berpamitan pulang. Minda menunggu sekitar 45 menit. Kini ia sudah berada di angkutan umum yang membawanya pulang, dan betapa lega hatinya.Â
Tidak sampai 24 jam, timelinenya tertera curhat colongan mbak Puspa yang nyaris frustrasi karena seseorang meremehkan kebijakan di kantornya. Duh ...
***
Desember 2018
Derry mengambil alih nampan yang dibawanya. Lelaki itu tidak suka melihat teman-teman wanitanya kerepotan membawa sesuatu. Biarlah kami para lelaki yang repot, jangan kalian. Apalagi kalau yang repot itu kak Minda. Kak Minda sudah capek mendampingi kita. Begitu selalu Derry bersuara.
Lalu Agus dan Yusran menyusul Minda dan Derry mencari meja dan kursi yang nyaman untuk kongkow-kongkow. Oh, di sudut sana tampaknya asyik buat makan-makan sambil ngobrol.Â
Setelah ketiga lelaki itu meletakkan nampan dan mengatur kursi meja, Minda dan dua perempuan lainnya menuju lokasi yang dimaksud dan duduk di kursi yang sudah diatur rapi. Semua tampak nyaman.Â
Tapi Minda sedikit kikuk. Entah sejak kapan di perkumpulan mereka ada pembagian peran laki-laki dan perempuan. Ia tidak pernah mempromosikan hal itu. Tidak juga menentangnya sih.Â
Hanya saja, sekali waktu hal itu akan merepotkan karena berkali-kali Derry mengatakan, lelaki harus begini perempuan harus begitu, ada dasarnya. Salah satunya, lelaki itu hidup dengan ego sedangkan perempuan hidup dengan kebutuhan untuk disayang dan diperhatikan.
Minta menepuk jidat. Kalimat itu persis yang ia sampaikan dahulu; kepada para kakak tingkat Derry dan teman-teman seangkatan mereka tentang hubungan antara lelaki dan perempuan.Â
Sekarang, haruskah ia menganulir hal itu? Atau setidaknya menyampaikan 'revisi'nya bahwa seturut perubahan zaman, pola hubungan manusia tidak harus seperti itu lagi. Tapi apa jadinya kalau Derry dan kawan-kawan kemudian menelan mentah-mentah?Â
Sepertinya aku harus cukup lama bersama mereka, batin Minda. Menyampaikan sesuatu yang 'telah berubah sering perubahan zaman', harus dengan hati-hati. Lebih pas lagi kalau ada contoh konkretnya. Tapi aku tak bisa memaksa mereka berubah apabila tidak ada pertukaran pengalaman.Â
Bahwa laki-laki dan perempuan bebas menentukan pilihan mereka. Apakah lebih suka pendekatan emosional atau rasional dan berelasi, wis terserah mereka. Kalau aku sih dua-duanya, dengan porsi yang pas. Jangan kebanyakan, jangan kurang. **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H