"Ooo iya ya," hanya itu yang bisa dikatakan Minda. Disela-sela penjelasan mbak Puspa yang sudah sering ia dengar, Minda menanggapi dengan kalimat 'ohhh' berkali-kali. Tanda ia sepakat dengan Puspa.
Baiklah, aku mengerti, batin Minda. Sejak kapan di depan kita ada jurang lebar ya? Mungkin sejak aku bergaul dengan teman-teman aktivis itu, desah hati Minda.Â
Lalu ia menanti, kapan saat yang tepat untuk berpamitan pulang. Minda menunggu sekitar 45 menit. Kini ia sudah berada di angkutan umum yang membawanya pulang, dan betapa lega hatinya.Â
Tidak sampai 24 jam, timelinenya tertera curhat colongan mbak Puspa yang nyaris frustrasi karena seseorang meremehkan kebijakan di kantornya. Duh ...
***
Desember 2018
Derry mengambil alih nampan yang dibawanya. Lelaki itu tidak suka melihat teman-teman wanitanya kerepotan membawa sesuatu. Biarlah kami para lelaki yang repot, jangan kalian. Apalagi kalau yang repot itu kak Minda. Kak Minda sudah capek mendampingi kita. Begitu selalu Derry bersuara.
Lalu Agus dan Yusran menyusul Minda dan Derry mencari meja dan kursi yang nyaman untuk kongkow-kongkow. Oh, di sudut sana tampaknya asyik buat makan-makan sambil ngobrol.Â
Setelah ketiga lelaki itu meletakkan nampan dan mengatur kursi meja, Minda dan dua perempuan lainnya menuju lokasi yang dimaksud dan duduk di kursi yang sudah diatur rapi. Semua tampak nyaman.Â
Tapi Minda sedikit kikuk. Entah sejak kapan di perkumpulan mereka ada pembagian peran laki-laki dan perempuan. Ia tidak pernah mempromosikan hal itu. Tidak juga menentangnya sih.Â
Hanya saja, sekali waktu hal itu akan merepotkan karena berkali-kali Derry mengatakan, lelaki harus begini perempuan harus begitu, ada dasarnya. Salah satunya, lelaki itu hidup dengan ego sedangkan perempuan hidup dengan kebutuhan untuk disayang dan diperhatikan.