Namun sesungguhnya pluralisme sedang menawarkan agama baru. Kalau dulu setiap agama menjadi pusat yang dikelilingi Tuhan, maka kini Tuhanlah yang dikelilingi agama-agama. Artinya dari banyak agama banyak Tuhan (Geo-centredness) menjadi banyak agama satu Tuhan (Religion-centredness to God centredness).
Dalam agama Islam sudah mutlak menolak paham pluralitas, sebab Pluralisme Agama-paham yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama saja-sejatinya bisa begitu dekat dengan ateisme. Ketika dikatakan "semua agama benar" maka sama saja "semua agama salah".
Meski demikian ada saja filosof seperti al-Razi yang menolak agama-agama yang ada, karena menurutnya setiap agama mempropagandakan kebenarannya sendiri dan para penganut menganggap bahwa agama merekalah yang paling benar. Al-Razi juga menolak wahyu, karena menurutnya akal telah mampu mengetahui yang baik dan buruk, serta mampu mengetahui Tuhan.
Dia juga mengkritisi bahwa ajaran para Nabi bertentangan satu sama lain. Kritiknya yang paling pendting adalah; Pertama agama adalah imitasi dan tradisi. Kedua agama sebagai kekuatan tokoh-tokoh yang mengabdi pada negara. Ketiga upacara dan ritus agama merupakan rekayasa untuk tujuan-tujuan yang tidak bersifat keagamaan.
Yunasir Ali, menyatakan perlunya pendekatan yang lebih lapang dan diharap bisa membawa kedamaian, sehingga para pemeluk agama bisa hidup berdampingan secara damai dan ramah. Dia menawarkan pendekatan "esoteris". Menurutnya pluralisme adalah suatu keniscayaan, ia berargumen dengan al-Qur'an surat al-Hujurat (49) ayat 13, surat al-Rum (30) ayat 22. Ia juga mengutip kiasan Jalal al-Din Rumi (w.672H/1273M), "ia mengumpamakan pluralitas itu dengan sejumlah orang yang membuat sebuah tenda; yang satu mengikat tali, satu membuat pancang, yang satu lagi menjahit kain, yang lainnya mengaitkan, memotong, menggunakan jarum."
M. Legenhausen, menyimpulkan bahwa Islam tidak menolak pluralitas sebagai sebuah fakta sejarah (Deontis Diakronis), yang dipersoalkan secara kritis oleh Islam adalah sebuah pluralisme yang liberatif dan sebagai sebuah doktrin (Pluralisme Religius Alethic).
H.A.R Gibb banyak mengkritisi perkembangan Pemikir Kristen maupun Pemikir Islam. Khususnya kepada para Pemikir Islam, Ia memaparkan dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Machnun Husein (Modern Trends in Islam: terbit perdana 1947). Dalam buku tersebut ia memaparkan bahwa setelah abad ke-13 diduga bahwa, dari segi keagamaan, Islam telah membeku-artinya tetap pada bentuk yang diciptakan oleh para 'Ulama', Qadi', Mujtahid dan tokoh Sufi pada masa-masa pembentukan.
Sedandainya pun ada perubahan hanya menjurus kepada kemunduran bukan kepada kemajuan. Hal ini menurutnya karena para pemikir Islam menolak untuk berpikir "ilmiah" dan menganggap ilmu itu dalam status lebih rendah dari ilmu agama. Bahkan Ibnu Taimiyyah menulis buku Refitations of the Logicians. Ia juga mengatakan bahwa ijma' senantiasa menjadi masalah yang kontroversial di antara kelompok-kelompok konservatif dan modernis. Konsensus menurutnya ajaran liberal; namun sebaliknya, ia juga merupakan prinsip otoritas.
Setelah MUI melaksanakan ijma' (konsensus), maka lahirlah fatwa mengenai keharaman pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama. Pertama MUI melandaskan fatwanya dengan firman Allah SWT al-Qur'an surat Ali Imran ayat 85 dan 19, surat al-Kafirun ayat 6, surat al-Ahzab ayat 36, surat al-Mumtahanah ayat 8-9, surat al-Qasa ayat 77, surat al-An'am 116, dan al-Mu'minun ayat 71. Kedua landasan MUI adalah Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Muslim: "Demi Dzat Yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka"(H.R. Muslim).
Menurut HAMKA, orang yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama, sebenarnya dia sendiri tidak beragama. Jika ini makna pluralisme yang dimaksud kelompok pluralis liberal, maka fatwa Majelis Ulama Indonesia itu sungguh benar adanya, bahwa pluralisme agama haram. Kaum Pluralis Agama biasanya mengambil dalil Surat al-Baqarah (2) ayat 62 dan al-Ma'idah (5) ayat 69. Untuk menopang pendapat mereka, maka mereka mendasarkan hal itu kepada Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar. Akan tetapi kaum pluralis memanipulasi dengan hanya mengambil sebahagian saja dari isi Tafsir al-Manar tersebut.
Kesimpulan Adian Husaini, dari dua landasan fatwa MUI yang paling uatama diatas yaitu al-Qur'an dan al-Hadis, Kita sebagai muslim yang telah berikrar dan bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad utusan-Nya. Dengan syahadat itu kita mengakui Tuhan kita Allah. Tuhan kita bukan Yahweh, bukan Yesus, bukan Syiwa, bukan Tuyul, bukan Gendruwo. Kita juga yakin Muhammad diutus sebagi Nabi terakhir dan untuk semua umat manusia.Â