B.E Matindas, dalam bukunya, Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern (2010), menyebutkan bahwa Friedrich Nietszche dalam karyanya Also Sprach Zarathustra menyatakan bahwa "Tuhan sudah mati"-Setidaknya bagi dunia Barat. Semenjak zaman Pencerahan Eropa dimulai abad ke-17 hingga abad ke-19 kebangkitan akal rasional, empirisme, kemajuan sains dan teknologi Barat.
Para filsuf Inggris, Belanda, Perancis, Jerman telah mengingatkan krisis keimanan akibat sekularisasi yang dianut oleh Aliran Pemikiran Neo-Mordenisme. Hadirnya dunia tanpa Tuhan dan agama sama sekali dirasakan oleh seorang penganut Jesuit Perancis, paleontologis Pierre Tielhard de Chardin, yang juga diikuti oleh ahli teologi lain seperti Dietrich Benhoeffer dari Jerman dan Paul Tillich dari Amerika.
Karena Tuhan sudah mati dan tidak diperlukan lagi, Nietzsche berpendapat, "Kepercayaan adalah musuh yang lebih berbahaya bagi kebenaran dibanding kebohongan." Dia ingin bebas dari segala aturan moral, ingin bebas dari Tuhan. Akhirnya pada 25 Agustus 1990, ia mati setelah menderita kelainan jiwa dan penyakit kelamin.
Di Indonesia sendiri pada Tahun 2005 dikeluarkan fatwa MUI yang menyatakan haramnya paham pluralisme agama. Hanya sedikit yang protes, akan tetapi mereka yang protes itu hingga kini terus menerus mengajarkan dan mengembangkan paham pluralisme tersebut melalui berbagai proyek. Sebelum lahir fatwa MUI sebenarnya dalam jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA edisi 3 dan 4 telah membahas panjang lebar mengenai paham pluralisme.
Para Pluralis Liberalis yang menentang fatwa tersebut mengatakan MUI salahpaham dalam menilai dan memahami pluralisme. Budhy Munawar Rahman dalam Ryandi, pluralisme agama bagi para penentang fatwa adalah mengakui bahwa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bukan hanya orang Islam, tetapi ada banyak pemeluk agama lainnya.
Pluralisme agama tidak identik dengan menyamakan agama (Argumen Islam Untuk Pluralisme: Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya). Diantara mereka ada yang menyatakan bahwa pluralisme agama bukanlah relativisme agama, karena ia hanya membicarakan fakta dan realitas bukan teologis. Menurut mereka, pluralisme merupakan prinsip toleransi beragama (Zuhairi Miswari, Rethingking Pluralisme di Indonesia: Potensi dan Tantangan. Makalah pada seminar Problem Epistemologi Pluralisme Agama di STAIN Ponorogo 2011).
Fathi Osman dalam Arif Budiono (Islam dan Hak Asasi Manusia) menyatkan bahwa pluralitas global benar-benar tidak dapat dihindari, maka umat Islam tidak bisa hanya menuntut keadilan begitu saja-karena jumlahnya di dunia ini termasuk minoritas-kecuali jika mereka mau menjamin keadilan non muslim minoritas yang tinggal di negara yang mayoritas muslim.
Di Eropa Daratan hanya kaum materialis dialektik atau marxislah yang cenderung menyatakan bahwa manusia tunduk pada determinisme. Hampir semua filsuf terkenal, apakah mereka eksistensialis, fenomenologis, atau tomis, membenarkan kebebasan kehendak manusia. Arus determinis itu berakar langsung dalam positivisme logis, dan secara tidak langsung dalam doktrin Hume dan Kant.
K.H Slahuddin Wahid pada waktu itu menantang para pengkritik fatwa untuk menjelaskan maksud mereka, apakah seperti yang dimaksud ISLAMIA atau makna yang lain. Namun, hingga saat ini pihak pengkritik fatwa tidak tegas, pluralisme apa yang mereka bela.
Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi, pluralisme mengandung dua makna yang dapat disimpulkan secara ringkas. Pertama adalah toleransi, dimana masing-masing agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip kepercayaan orang lain. Kedua adalah sudah tidak berpegang pada suatu dasar apapun.
Tidak ada kebenaran tunggal, semua benar, yang pada akhirnya kebenaran itu tidak ada. Sedangkan Pdt. Dr. Stevri Lumintang mengatakan bahwa pluralisme agama adalah Theologi abu-abu yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersilakan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja.