Oleh: Matnur Ritonga: matnurcritonga@gmail.com
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun-Bogor
Sejarah agama-agama di dunia penuh dengan kisah mengerikan tentang penyiksaan dan intoleransi. Intoleransi di berbagai benua dan khususnya di Eropa terjadi antara agama berbeda maupun dalam agama yang sama. Intoleransi ini pula yang menyulut berkembangnya liberalisme politik awal abad ke-18 umumnya di Eropa. Pada abad 19 sekte mormon menyimpang dari doktrin Kristiani. Upaya kaum liberal dalam menghapus intoleransi gagal dengan munculnya paham anti Semit yang dilegislasi oleh kaum fasis.
Hubungan antara Yahudi dan Kristen sejak abad pertama Masehi telah diwarnai oleh cekcok bahkan penganiayaan. Umat Kristen yang masih kecil dikejar dan dicederai. Alasan utamanya adalah doktrin keagamaan yang berbeda. Gejala kekerasan semacam ini disebut "herecy hunting" atau perburuan bid'ah. Begitu sebaliknya, ketika agama Kristen diresmikan menjadi agama imperium Romawi pada abad keempat, balas dendam Kristen terhadap Yahudi pun terjadi.
Puncaknya terjadi masa fasisme Hitler pada Perang Dunia II. Begitu pun saat munculnya agama Islam pada abad ketujuh Masehi merupakan arena baru bagi persaingan dan konflik antara agama, khususnya Kristen dan Islam yang akhirnya meletus "Perang Salib". Rentetan serial yang berjalan kurang lebih empat abad, menang-kalah silih berganti yang menyisakan "memori kolektif" sentimen ketidakpercayaan. Terlebih lagi "Perang Panas" tersebut dilanjutkan dengan "Perang Dingin".
Yahudi dikutuk terus menerus oleh Dewan Gereja sebagai pembunuh Yesus Kristus. Namun pada akhirnya tahun 1960-an rujukan tentang Yahudi berkhianat dihapuskan oleh Dewan Vatikan II pada Jamuan Terakhir. Latar belakang dari intoleransi religius dan munculnya liberalisme harus selalu diingat untuk memahami apa itu "pluralisme agama" dalam teologi Kristiani agar toleran terhadap non-Kristen. Pada akhir abad ke-18 (1768-1834) muncul Protestanisme Liberal yang dimotori oleh Friedrich Schleiermacher.
Menurut Samuel Huntington tentang "benturan peradaban" (the clash of civilizations), istilah civilazitations mengalami pembenturan, mengandung aspek dan dimensi yang sangat luas, sejak kebudayaan (culture), sosial, ekonomi, politik ilmu pengetahuan dan sains, teknologi, kemiliteran, dan lain-lain. Hal ini dapat dilihat dari persaingan, konflik, dan bahkan perang diantara dua dunia ini, khususnya Timur Tengah dan Eropa.
Konflik dan benturan ini dimulai sejak Perang Salib (Crusade) pada abad ke-11 dan ke-12, penaklukan kembali Andalusia, ekspansi Dinasti Turki Usmani ke Eropa pada abad ke-15 dan ke-16. Pada saat itu hegemoni dan dominasi dalam percaturan politik internasional dibawah kendali Militer Muslim.
Jika Samuel Huntington pada awal tahun 1990an menggemparkan dunia dengan teori the clash of civilizations, yang bersifat provokatif dan berstrategi geo-politik; Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam bab keempat bukunya "The perpetual clash of worldviews between Islam and the West", dua dekade lebih awal telah menguraikan gagasan yang lebih intelektual dan spiritual.
Di dalamnya dipaparkan tentang makna Islam sebagai sebuah "din", asas Akhlak dan pembangunan masyarakat dengan mengaitkannya dengan perkara-perkara penting seperti kedudukan Nabi Muhammad, ilmu, peradaban (change), kemajuan (progress) dan pembangunan (development).
Para pemikir ateis, seperti Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, Jean Paul Sartre, dan sejenisnya terkenal dengan gagasan yang memandang bahwa Tuhan sudah tidak diperlukan lagi di era Zaman Modern. Mereka beramai-ramai mempermainkan Tuhan. Disebutkan sebelumnya, bahwa Jean Paul Sartre (1905-1980) menyatakan "even if God existed, it will still neccessary to reject him, since the idea of God negates our freedom." (Karen Amstrong, History of God, 1993). Thomas J. Altizeir, dalam "The Gospel of Christian Atheism" (1996) menyatakan: "Only by accepting and even willing the death of God in our experience can we be liberated from slavery..."(Karen Armstrong, History of God dalam 10 kuliah agama Islam, Adian Husaini).