Tak lama ponselku berdering.
         "Halo, Pak Ardi, saya dari Rumah Sakit Pelita, saya tunggu Anda sekarang juga," kata seorang perawat yang tadi kuminta nomornya.
         "Alhamdulillah. Ayo, aku akan antar ayah ke rumah sakit," kataku.
         Terlihat saat itu harapan kami cerah. Semoga ini jalannya yang harus dilewati untuk kesembuhan ayah. Begitu haru, ayah dan ibu bergenggaman tangan, berpelukan erat.
         "Yang kuat, ya, Yah. Kami di sini selalu mendoakanmu, menunggu kepulanganmu," kata ibu sembari tersenyum. Ayah hanya mengangguk pelan karena kondisi yang lemah.
Kuantar ayah ke Rumah Sakit Pelita dengan mengendarai mobil. Saat ayah di pintu masuk UGD, keluarlah pasien yang telah tergolek ditutupi kain. Ya, Allah, ternyata ayah mendapatkan tempat karena ada yang meninggal. Kucoba tidak berprasangka buruk. Ini ikhtiar.
 Setelah mengurus semuanya, aku segera pulang. Kabar ayah akan selalu diberikan melalui ponsel, janji petugas yang merawat. Aku pulang dengan kepasrahan.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kami mendapat notifikasi dari petugas yang merawat. Bahwa ayah tidak mampu bertahan. Pecahlah tangis kami.
Kenangan itulah, kenangan itu yang terasa pedih dan perih di hati ibu. Saat-saat terakhir tidak dapat mendampingi sosok teman hidup dalam suka ataupun duka. Hingga saat ini, ibu tak pernah menangis di hadapanku. Benar-benar rapat dalam menutup kesedihannya.
         "Bu, memang pernikahan Ardi belum lama seperti ayah dan ibu. Tetapi, jika kehilangan pasangan apalagi telah berpuluh tahun itu memang menyakitkan. Menangislah, Bu. Akan membuat Ibu menjadi lega," kataku.
         "Sakit rasanya, Di. Ibu tidak bisa melihat langsung terakhir kalinya," Ibu berucap dengan menangis sejadi-jadinya. Kurengkuh tubuhnya yang senja, kuelus rambutnya yang halus memutih, kujaga dalam pelukanku.