Uban di atas kepala, helai demi helai semakin membuat pesona dirinya. Kerutan di sudut mata hingga ujing bibir, menambah syahdu di antara usia renta yang mulai menopang tubuhnya. Bola mata yang mulai senja, ditambah dengan kacamata tua, menemani kala membaca ponsel yang di genggamannya.
Jika telah lama duduk, saat bangkit perlu memegang sesuatu untuk menguatkan kakinya. Â Oalah, ibuku sudah tua ternyata. Kupandangi wajahnya yang adem dan kurenungi setiap kenangan perjuangan dalam melahirkan, merawat, mendidik, menuntunku hingga dewasa. Tak mudah memang, tetapi sungguh tangguh semua dilewatinya.
"Bu, ayo masuk, di luar angin," ucapku.
"Sebentar, sebentar saja lagi, ya," jawabnya.
Setahun berlalu sejak ditinggal mendiang ayah, ibuku selalu menutupi kesedihannya. Berpura-pura menjadi sosok yang kuat menghadapi takdir. Berpura-pura menjadi perempuan perkasa seperti di dalam kisah fiktif ataupun nyata.
         "Mana Luhut?" tanya ibuku.
         "Di dalam kamar, Bu," jawabku.
Sembari masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu, ponsel masih di dalam genggamannya. Kucuri pandang melihat layarnya. Hmm, potret ayah ternyata yang dilihatnya dari tadi. Sepertinya saat mengenang ayah, ibu tidak mau aku mengetahuinya. Tiba-tiba aku bertanya padanya untuk membuka percakapan yang mungkin saja bisa memantiknya untuk bercerita.
         "Bu, apakah ibu baik-baik saja?" tanyaku.
         "Ya, iyalah, memang ibu tidak baik-baik saja? Masih kuat jaga cucu, kok," jawabnya.
         "Terima kasih, ya Bu," kujawab sambil memeluknya.
Pandangannya menerawang kembali. Melamun. Kosong, jauh di dalam sana.
         "Bu, Ardi tahu, semenjak ayah meninggal, ibu banyak diam. Pastilah mengingat-ingat ayah," kataku.
         "Bila ingin menangis, menangislah, Bu. Tidak perlu menjadi manusia yang pura-pura kuat menghadapi kenyataan," sambungku.
         "Air mata bukanlah kelemahan, tetapi diciptakan untuk melapangkan pikiran dan perasaan kita," lanjutku.
         Tetiba menjawab ucapanku.
"Di, ternyata ayahmu sudah setahun meninggalkan ibu," katanya.
Tertumpah di ujung mata, air mata mengalir. Kupahami dan kuingat betul saat-saat itu. Kami sekeluarga terdampak Covid-19 bahkan saat itu istriku sedang mengandung usia janin tiga bulan. Kami bertahan tiga hari dengan kondisi lemah berjuang. Ayahku memiliki penyakit bawaan jantung koroner yang memang menjadi semakin berbahaya jika terdampak virus tersebut.
         "Ayah tidak mau dibawa ke rumah sakit," kata ibu.
 Aku yang merasa bahwa tubuhku yang masih kuat di antara kami, nekat ke luar rumah mencari rumah sakit yang menerima pasien Covid-19. Dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya, tak kutemukan kamar kosong, semua penuh, full. Sambil meneteskan air mata, kupasrahkan nasib ayahku. Kutelepon istriku, kusampaikan kabar yang buruk ini. Aku pulang dengan lunglai, sesak di dada. Ya, Allah beginikah takdir yang harus kami hadapi. Ikhlas.
         Kubuka pintu pagar rumah dengan perlahan. Lantunan Surat Yasin terdengar lirih menemani ayah yang tergolek dengan napas yang tersengal. Kukuatkan hati, kupeluk ayah ibu bergantian.
         "Sabar, ikhlas, kita kuat, kitab isa hadapi, ini semua," ucapku sembari menatap satu per satu wajah ayah, ibu, dan istriku.
         Tak lama ponselku berdering.
         "Halo, Pak Ardi, saya dari Rumah Sakit Pelita, saya tunggu Anda sekarang juga," kata seorang perawat yang tadi kuminta nomornya.
         "Alhamdulillah. Ayo, aku akan antar ayah ke rumah sakit," kataku.
         Terlihat saat itu harapan kami cerah. Semoga ini jalannya yang harus dilewati untuk kesembuhan ayah. Begitu haru, ayah dan ibu bergenggaman tangan, berpelukan erat.
         "Yang kuat, ya, Yah. Kami di sini selalu mendoakanmu, menunggu kepulanganmu," kata ibu sembari tersenyum. Ayah hanya mengangguk pelan karena kondisi yang lemah.
Kuantar ayah ke Rumah Sakit Pelita dengan mengendarai mobil. Saat ayah di pintu masuk UGD, keluarlah pasien yang telah tergolek ditutupi kain. Ya, Allah, ternyata ayah mendapatkan tempat karena ada yang meninggal. Kucoba tidak berprasangka buruk. Ini ikhtiar.
 Setelah mengurus semuanya, aku segera pulang. Kabar ayah akan selalu diberikan melalui ponsel, janji petugas yang merawat. Aku pulang dengan kepasrahan.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kami mendapat notifikasi dari petugas yang merawat. Bahwa ayah tidak mampu bertahan. Pecahlah tangis kami.
Kenangan itulah, kenangan itu yang terasa pedih dan perih di hati ibu. Saat-saat terakhir tidak dapat mendampingi sosok teman hidup dalam suka ataupun duka. Hingga saat ini, ibu tak pernah menangis di hadapanku. Benar-benar rapat dalam menutup kesedihannya.
         "Bu, memang pernikahan Ardi belum lama seperti ayah dan ibu. Tetapi, jika kehilangan pasangan apalagi telah berpuluh tahun itu memang menyakitkan. Menangislah, Bu. Akan membuat Ibu menjadi lega," kataku.
         "Sakit rasanya, Di. Ibu tidak bisa melihat langsung terakhir kalinya," Ibu berucap dengan menangis sejadi-jadinya. Kurengkuh tubuhnya yang senja, kuelus rambutnya yang halus memutih, kujaga dalam pelukanku.
Ibu harus menjadi manusia tabah dan tangguh di hadapan anaknya, itu prinsipnya, Prinsip yang sangat bersikeras ditanggungnya. Â Kuakui, ibu seorang yang sangat sabar. Dengan kesederhanaannya, dengan rahmatnya, dengan kepiawaiannya membesarkanku dan kini juga ikut merawat cucu pertamanya.
Kepada manusia siapa lagi aku harus mengabdikan bait-bait doaku selain untuk ibu. Kepada sosok siapa jikan bukan ibuku yang saat ini menjadi satu-satunya orang tuaku. Tak pernah lekang kisah ibu-ibu yang merupakan perempuan-perempuan hebat di muka dunia ini. Salah satu yang paling terhebat di antaranya adalah ibuku.
Tak cukup rasanya panjatan doaku untuk membalas semua pengorbanan hidupnya demi suami dan anaknya. Ibu yang kini menyimpan semesta kenangan bersama ayah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H