Mohon tunggu...
Rita Audriyanti
Rita Audriyanti Mohon Tunggu... Penulis - Ibu rumah tangga

Semoga tidak ada kata terlambat untuk menulis karena dengan menulis meninggalkan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[FikBer2] "Tetes Darah Aksara" - Ending

2 Desember 2015   11:21 Diperbarui: 2 Desember 2015   11:59 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Sumber foto:villains.wikia.com

 

Wajah Sukma masih bingung menyaksikan sekitarnya. Para perawat dengan tubuh terpotong, berdarah-darah, berjalan ke sana kemari menjalankan tugasnya. Kedua tangan Sukma masih memeluk bantal yang sebagian isinya sudah berhamburan. Ia terpana. Bingung.

"Apa sesungguhnya yang sedang terjadi?"

Kepala Sukma tertunduk. Tangan kanannya menopang keningnya. Sukma menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Bertanya kepada diri sendiri dengan jawaban yang tak kunjung ada.

"Aku benar-benar tidak mengerti....! Kemana Ayah dan Ibuku?"

Sukma melepaskan tangannya lalu mengangkat wajahnya. Menatap langit-langit Rumah Sakit yang bercat putih dengan kedua tangan di belakang kepalanya. Tampak ada beberapa bercak darah mengotori langit-langit tersebut.

Tanpa terasa....bulir hangat pelan-pelan jatuh membasahi kedua pipi Sukma. Sukma membiarkan tetes hangat itu. Ia menikmatinya dalam suasana sendu. Dalam derai air mata yang semakin menjadi itu, Sukma melihat wajah kedua orangtuanya yang semakin jelas dan semakin mendekatinya. Mereka tersenyum dengan wajah berseri menghampiri Sukma yang masih duduk bersila di atas ranjang Rumah Sakit Jiwa. Pakaian putih yang  dikenakan Ayah dan Ibu Sukma, tepinya melambai-lambai bagai sayap para malaikat suci. Sukma menelan ludah.

"Ibuuuu...Ayaaaaah..." Suara Sukma lirih memanggil kedua orang yang sudah lama dicarinya. Suara Sukma perlahan dan tercekat. Sukma memanjangkan tangan kanannya. Mencoba menggapai tubuh orangtuanya yang semakin mendekat. Tapi tidak berhasil. Seolah-olah tubuh keduanya sulit dijangkau. Tangis Sukma mulai kencang. Tubuhnya bergoyang didera isak tangis pilu. Sukma sudah sampai pada taraf kerinduan yang dalam dan melelahkan. Rindu yang mencekam. Rindu anak kepada orangtua.

Sukma tertunduk lesu.

"Nduk...."

Suara Ayah Sukma menyapa putrinya dengan tangan kekar tapi lembut menepak bahu Sukma. Sukma masih sesegukan sambil kedua lututnya menopang wajahnya yang tenggelam dalam duka kesedihan. Derai air mata di pipinya, terus bergulir. Tetes bening itu tidak saja hangat, tetapi juga harum. Aneh! Seharum parfum yang biasa digunakan Savitri, Ibunda Sukma. Wewangian lembut itu semakin meyakinkan Sukma bahwa ibunya masih ada. Masih hidup.

"Sukma, putriku sayang. Bangunlah, Nak."

"Mari kita pergi. Tinggalkan tempat ini. Saatnya kita kembali bersama-sama lagi. Seperti waktu di rumah kita dulu...Kami rindu kamu, Nduk."

Kalimat mengajak pergi begitu terdengar lembut dan manis dari mulut keibuan Savitri. Kini Sukma berada dalam rangkulan ibundanya. Setengah badan Savitri berada dalam rangkulan tubuh Sukma yang belum juga menoleh kepada kedua orangtuanya.

Sementara ruang isolasi tempat Sukma dirawat, semakin sunyi. Tidak nampak lagi aktifitas para perawat maupun petugas kebersihan.

Suara titik air jatuh dari mesin AC ke dalam sebuah ember yang letaknya tidak jauh dari kepala Sukma, bunyinya paling jelas terdengar dalam suasana hening tanpa kata itu.

Ketiga ibu anak dan bapak ini masih membisu. Menerawang dengan pikiran masing-masing. Semua kenangan indah di rumah mereka dulu kembali berputar. Sukma larut dalam nostalgia masa kecil. Sukma tersenyum gembira saat teringat bagaimana ibunya yang jelita itu mengejarnya memutari meja makan. Savitri mengejar Sukma yang mengambil roti bagian ayahnya. Sukma terus berlari meledek ibunya. Melihat kejadian berlari-larian Ibu dan Anak ini, Pak Danang ikut terkekeh sambil menurunkan kacamatanya, dengan kedua tangan dalam posisi memegang koran pagi.

Tiba-tiba...

PRAAAAANNNNGGG

Suara jendela kaca kamar isolasi Sukma pecah. Mengejutkan ketiga manusia yang masih asyik dengan lamunan nostalgia keluarga bahagia. Serempak ketiganya menoleh ke arah jendela. Terkejut menyaksikan dua wajah yang selama ini terus mengganggu mereka.

"Ayo lariiiiiiiiii......," teriak Pak Danang sambil meraih tangan anak dan istrinya.

Sukma sempat terjungkal dari atas pembaringannya. Baju Savitri tersangkut di ujung pengait tempat tidur. Tergopoh-gopoh mereka berusaha saling menolong.

"Mari cepat, Nak. Kita tinggalkan tempat ini!"

Kedua tangan Pak Danang menghalau anak dan istrinya menuju arah pintu kamar. Mereka berhasil hingga mencapai pintu utama. Sepi. Tidak ada barang seorang petugas pun. 

Pak Danang memutar gagang pintu. Namun pintu itu tidak bisa dibuka. Terkunci!. Sukma berlari menuju laci meja petugas pencatat tamu yang letaknya tidak jauh dari pintu. Nihil! Tak ada sebuah kunci pun. Keringat mulai bercucuran di wajah Sukma. Savitri berulang kali menoleh ke arah dalam lorong Rumaha Sakit. Kalau-kalau kedua wajah tadi mengikuti mereka. Sementara Pak Danang terus mengguncang-guncang pegangan pintu, berharap bisa terbuka. 

Melihat Pak Danang belum berhasil membuka pintu, Savitri melihat bahwa ada selot grendel pintu di bagian atas dan bawah pintu. Ia berlari dan langsung menarik kedua grendel tersebut. Pintu bisa dibuka. Ya....pintu terbuka!

BHAAAAAAAAAAAAA

Suara mengejutkan datang dari teriakan dua kepala yang tadi masuk lewat kaca jendela yang dipecahkan di ruang perawatan Sukma. Itulah kepala Mbok Minah dan Pak Sadikin! Mereka sudah menunggu keluarga ini di luar pintu.

Kedua mahluk yang bentuk tubuhnya sudah tidak jelas itu, kecuali wajahnya bagai hantu blau yang menjijikan namun masih mudah dikenali bahwa mereka adalah Mbok Minah dan Pak Sadikin, tertawa keras terbahak-bahak. Mereka puas akhirnya bisa menangkap Danang, Savitri dan Sukma sekaligus. Mereka adalah orang-orang yang membuat dendam Mbok Minah dan Pak Sadikin tidak bisa pupus hingga ke alam lain. Kini mereka sudah berkumpul berlima.

"Mau kemana kalin, ha?!" tanya Mbok Minah menyeringai dan dengan suara serak.

"Masih kah Kalian tidak mau juga memenuhi permintaan Kami?" tanya Pak Sadikin dengan kaki menghantam bumi.

Sukma dan kedua orangtuanya masih terbius suasana. Mereka tidak menyangka bahwa Mbok Minah dan Pak sadikin terus mengikuti kemanapun mereka pergi. Bagi Sukma, kedua orang ini adalah mahluk jahat yang telah membunuh kedua orangtuanya. Dan sekarang Pak Sadikin meminta sesuatu yang tidak dipahaminya.

"Apa yang harus kami penuhi?" Sebuah pertanyaan hadir ke dalam hati Sukma.

"Hei....Kalian dengar tidak?!" Suara Pak Sadikin kembali mengejutkan.

"Sukma!" Bentak Pak Sadikin

"Kamu hapus semua namaku dan nama Mbok Minah dari novel terkutukmu ini.!"

Sukma terkejut.

Pak Danang dan Savitri saling menatap. 

"SEKARAAAAAANGG JUGAAAA!" Teriak suara Pak sadikin membahana sambil melemparkan sebuah naskah novel horor ke wajah Sukma.

Beruntung Sukma sempat menghindar dan naskah novel itu jatuh tepat di atas kaki Sukma.

Secepat kilat Pak Danang mengambil naskah itu dari kaki Sukma.

Kemudian bertiga mereka lari ke luar dari Rumah Sakit Jiwa tempat Sukma dirawat. Sukma sempat sekejap menoleh. Memandang bangunan Rumah Sakit yang sudah tidak berpenghuni, peninggalan zaman Belanda. Bangunannya masih kokoh, tapi beberapa jendela sudah nampak hancur. Sebagian genteng sudah hilang. Temboknyanya pun banyak yang sudah berlumut.

Bertiga mereka berlari semakin kencang. Terengah-engah. Hingga mereka terhenti di sebuah bak sampah yang menyala-nyala.

Sukma menghentikan langkahnya. Begitu juga Pak Danang dan Savitri. Mereka mengatur napas yang tersengal. Seketika Pak Danang melemparkan naskah novel itu ke dalam api yang meninggi, menjilat-jilat ranting yang menempel di dinding beton bak sampah.

Naskah setebal 500-an halaman itu perlahan-lahan mulai hangus dilumat api. Dan ketika tinggal separoh lagi, suara lolongan ke luar dari bundel naskah tersebut.

WOOOOOOOOOOOOOOO....

Seketika, kepala Mbok Minah dan Pak Sadikin ke luar dari naskah yang sedang terbakar. Meliuk-liuk. Lolongannya sangat menakutkan dan mistis. Sukma, Pak Danang dan Savitri, berdiri mematung menyaksikan apa yang sedang terjadi. Makin lama suara lolongan itu semakin mengecil suaranya. Dan ketika ke empat biji mata manusia iblis itu terbakar, terdengar suara letusan yang membuat Sukma dan kedua orangtuanya melompat terkejut.

DUAR!!!

Dan aneh. Sungguh aneh. Apipun mati seketika. Bahkan dalam bak sampah berukuran tidak lebih dari sebuah drum minyak tanah, tampak bersih. Tidak ada tanda-tanda bekas bakaran sampah. Semua lenyap!

***

Udara malam semakin menusuk. Cahaya bulan tersapu oleh awan hitam yang menutupi sebagian cahaya  purnama. Ketiga manusia ini, Ibu, Bapak dan Anak, kembali berjalan gontai menyusuri arah jalan pulang ke pemakaman. Suasana terasa hening. Tiada cakap. Tiada kata. Ketiga tubuh itu terasa ringan dan melayang. Angin semilir sesekali menerpa ketiga wajah yang semakin bersih ini. Tidak ada lagi luka, darah dan nanah yang menjijikkan. 

Dari jauh, sebias cahaya putih menerangi lokasi makam Danang, Savitri dan Sukma. Siluet batang pohon kamboja membuat lukisan hitam putih di atas ketiga makam keluarga ini. Gonggongan anjing malam, memecah kesunyian malam. Entah di alam mana ini....

***

Satu-satu penonton mulai berdiri. Meninggalkan jejeran kursi di ruang bioskop. Cahaya lampu di langit-langit mulai dinyalakan. Nampak sepasang kekasih berangkulan, masih terbawa suasana horor. Mereka salah masuk. Terbeli tiket film horor yang berjudul "TETES DARAH AKSARA"

Dari alat sound system yang ada di sudut-sudut ruang bioskop, terdengar suara musik yang menyeramkan, melepas penonton meninggalkan ruang bioskop dengan bulu roma masih berdiri. Bergidik. Terdengar irama musik horor yang diambil dari theme song Silence. You Scream. You Die. 

Aku masih berdiri tegak di depan kursiku. Penasaran ingin tahu siapa orang-orang di belakang layar film horor yang jauh berbeda dengan film horor Indonesia yang selama ini hanya aku saksikan lewat unduhan di youtube. Merasa rugi kalau harus datang dan membayar ke bioskop. Dan kali ini berbeda.

Pelan-pelan aku membaca tulisan di layar.

"Tetes darah Aksara"

Sutradara: Desol

Produser: Ahmad Maulana S.

Produksi: Fiksiana Community

Theme Song: Dead Silence. You Scream. You Die.

 

Layar sudah memutih. Suara musik pun sudah berhenti. Kuayunkan langkahku satu-satu menuju pintu ke luar. Akulah penonton terakhir yang meninggalkan ruang bioskop era modern di kotaku.

Aku menarik napas panjang. 

Lega.

Puas.

Inilah film horor Indonesia yang sesungguhnya.

 

TAMAT

 

Kuala Lumpur, 2 Desember 2015

 

NB :

-Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community:http://www.kompasiana.com/androgini/fikber-event-fiksi-bersambung-gelombang-2-3-di-kompasiana_564bf90109b0bd2205172a1f

 -Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community: https://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun