Bertiga mereka berlari semakin kencang. Terengah-engah. Hingga mereka terhenti di sebuah bak sampah yang menyala-nyala.
Sukma menghentikan langkahnya. Begitu juga Pak Danang dan Savitri. Mereka mengatur napas yang tersengal. Seketika Pak Danang melemparkan naskah novel itu ke dalam api yang meninggi, menjilat-jilat ranting yang menempel di dinding beton bak sampah.
Naskah setebal 500-an halaman itu perlahan-lahan mulai hangus dilumat api. Dan ketika tinggal separoh lagi, suara lolongan ke luar dari bundel naskah tersebut.
WOOOOOOOOOOOOOOO....
Seketika, kepala Mbok Minah dan Pak Sadikin ke luar dari naskah yang sedang terbakar. Meliuk-liuk. Lolongannya sangat menakutkan dan mistis. Sukma, Pak Danang dan Savitri, berdiri mematung menyaksikan apa yang sedang terjadi. Makin lama suara lolongan itu semakin mengecil suaranya. Dan ketika ke empat biji mata manusia iblis itu terbakar, terdengar suara letusan yang membuat Sukma dan kedua orangtuanya melompat terkejut.
DUAR!!!
Dan aneh. Sungguh aneh. Apipun mati seketika. Bahkan dalam bak sampah berukuran tidak lebih dari sebuah drum minyak tanah, tampak bersih. Tidak ada tanda-tanda bekas bakaran sampah. Semua lenyap!
***
Udara malam semakin menusuk. Cahaya bulan tersapu oleh awan hitam yang menutupi sebagian cahaya  purnama. Ketiga manusia ini, Ibu, Bapak dan Anak, kembali berjalan gontai menyusuri arah jalan pulang ke pemakaman. Suasana terasa hening. Tiada cakap. Tiada kata. Ketiga tubuh itu terasa ringan dan melayang. Angin semilir sesekali menerpa ketiga wajah yang semakin bersih ini. Tidak ada lagi luka, darah dan nanah yang menjijikkan.Â
Dari jauh, sebias cahaya putih menerangi lokasi makam Danang, Savitri dan Sukma. Siluet batang pohon kamboja membuat lukisan hitam putih di atas ketiga makam keluarga ini. Gonggongan anjing malam, memecah kesunyian malam. Entah di alam mana ini....
***